Dandhy Laksono Menjawab: Perbudakan Modern, Sumber Dana, sampai Afiliasi Politik

Dandhy Laksono dan Tim Ekspedisi Indonesia Baru. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ketika mendengar “Sexy Killer”, kita akan teringat Dandhy Dwi Laksono (46). Lebih dikenal sebagai Dandhy Laksono, sosok satu ini memang penuh kontroversi. Dari tersandung UU ITE sampai isu ‘perbudakan modern’ yang bikin geger Twitter. Belum lagi isu pendanaan Ekspedisi Indonesia Baru serta dugaan afiliasi politik ke salah satu tokoh.

Meskipun Ekspedisi Indonesia Baru sudah berjalan, masih banyak suara miring yang menyerang Dandhy Laksono. Kepada Mojok, ia berkenan untuk angkat bicara tentang isu miring tersebut. Termasuk berbagi cerita dari ekspedisi terbaru dan sebelumnya, Indonesia Biru.

Siapakah Dandhy Laksono sebenarnya? Apakah ia sekaku persona Twitter miliknya? Dan lebih penting, apakah Dandhy Laksono sudah izin istri untuk melakukan ekspedisi ini?

***

Orang yang sangat biasa dan penuh pertanyaan

Dua kali saya bertemu Dandhy Laksono. Pertama saat ia bertamu ke rumah saya, kedua saat blio bertamu ke rumah eyang saya. Pertemuan pertama ini jelas membuat deg-degan. Bagaimanapun, saya disambangi orang bermasalah dan peternak haters. Tapi lebih dari itu, saya penasaran siapa Dandhy Laksono sebenarnya.

Bersama teman ekspedisi, Benaya Ryamizard Harobu (22), Dandhy Laksono datang dengan motor Supra X hitam merah. Penampilannya pun standar mas-mas pada umumnya: berkaus, celana pendek, dan rambut awut-awutan. Kedatangan yang kedua ini adalah untuk berdiskusi perihal status Sultan Ground tempat rumah eyang berdiri.

Tidak putus-putus ia bertanya: bagaimana status tanah kami? Bagaimana sejarah keluarga kami? Apakah kami ikhlas kelak digusur? Sambil sesekali terbatuk, Dandhy Laksono menunjukkan antusiasme tentang kondisi kami sekeluarga. 

Satu jam lebih berdiskusi tentang itu, saya minta izin untuk bertanya hal lain. Dan terang-terangan meminta Dandhy Laksono menjawab berbagai isu yang viral itu. Gayung bersambut, blio berkenan untuk menjawab semua pertanyaan saya dan diterbitkan di sini.

Ingin sudut pandang baru dari ekspedisi kedua

Dandhy Laksono mengisahkan tentang latar belakang Ekspedisi Indonesia Biru, ekspedisi yang ia lakukan sebelum Ekspedisi Indonesia Baru yang tengah dilakukannya saat ini. Sebagai orang yang sudah lama bekerja di bidang media, Dandhy ingin menciptakan sebuah karya yang very personal. “Setelah 20 tahun di dunia itu, aku ingin break, ingin sabbatical,” imbuh Dandhy.

Dandhy Laksono berbincang tentang ekspedisi indonesia baru
Reporter Mojok bersama Dandhy Laksono. (Dok, Prabu Yudianto/Mojok.co)

Periode sabbatical ini menghasilkan karya yang lepas dari semua variabel dalam sebuah film. Dandhy ingin melepaskan karyanya dari kompleksitas sebuah film pada umumnya. Seperti pertimbangan market dan sponsor. “Wes rasah mikiri sing nonton piro, sing seneng piro,” ujar Dandhy sambil terkekeh. Dari Ekspedisi Indonesia Biru ini, ia memproduksi 12 karya. Salah satunya Sexy Killer.

Ekspedisi Indonesia Biru sendiri diakui Dandhy terinspirasi dari Ekspedisi Zamrud Kathulistiwa. Dandhy yang dulu mengantar Farid Gaban (61). Dari ekspedisi Farid Gaban ini, Dandhy ingin melakukan ekspedisi sendiri, terutama bersama Farid Gaban yang diakui sebagai guru jurnalistiknya. 

Menurut Dandhy, ekspedisi kedua bertajuk “Indonesia Baru” ini lebih kompleks. Yang utama, Dandhy ingin mengamati kembali Indonesia setelah 7 tahun. Ekspedisi kedua ini ingin menawarkan solusi alternatif, sebagai contoh adalah dokumenter pertama yang berjudul Silat Tani.

Selain kompleksitas, Ekspedisi Indonesia Baru melibatkan lebih banyak orang. Ekspedisi ini melibatkan dua tim. Tim pertama adalah Dandhy dan Benaya, tim kedua adalah Farid Gaban dan Yusuf Priambodo (30).

Ekspedisi Indonesia Baru ini memiliki misi untuk menantang orang Indonesia. “Orang Indonesia apakah masih punya mimpi tentang Indonesia, atau dijalani opo anane,” tekan Dandhy.

Yang terakhir menurut Dandhy adalah perspektif baru dari anak muda. Untuk itu, Ekspedisi Indonesia Baru melibatkan dua anak muda. Sehingga Dandhy dan Farid Gaban yang sudah “tua-tua” ini tidak lagi yang mendefinisikan Indonesia. Bagi Dandhy, kini giliran Benaya dan Yusuf yang akan mengamati dan mendefinisikan Indonesia.

Meskipun memiliki perspektif baru, karya dari Ekspedisi Indonesia Baru akan beririsan dengan dua ekspedisi sebelumnya. Dari apa yang telah ditemukan Ekspedisi Zamrud Kathulistiwa dan Indonesia Biru akan memperkuat narasi di Ekspedisi Indonesia Baru. “Meskipun tidak semua rute-nya akan terikat dengan ekspedisi sebelumnya, tapi sayang banget kalau kita tidak men-capture perubahan yang terjadi,” tambah Dandhy.

Dandhy mengakui bahwa Ekspedisi Indonesia Baru ibarat “menyerahkan obor” pada generasi muda. Bagi Dandhy, model ekspedisi ini sudah saatnya dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda. Selama metode ekspedisi ini masih dipandang menarik untuk merekam isu publik. “Kalau metode ini dianggap bisa memotret Indonesia dengan sederhana, komprehensif, sekaligus murah, mudah-mudahan bisa diteruskan.”

Meskipun tidak secara langsung diharapkan, Dandhy mengakui banyak yang terinspirasi oleh ekspedisi yang ia jalani. Seperti saat Dandhy terinspirasi oleh Ekspedisi Zamrud Kathulistiwa. Jika ini menjadi snowball effect yang baik, bagi Dandhy ini adalah hal yang baik. 

Supra X menjadi pilihan 

Saya melirik dua motor yang terpakir di depan rumah eyang. Dua motor bebek yang berwarna senada, hitam dengan aksen merah. Merk kedua motor tersebut terlihat diplester dengan selotip hitam. Sebenarnya saya sudah tahu betul itu motor apa. Tapi saya klarifikasi, motor merk apa itu?

“Itu (Honda) Supra X,” jawab Dandhy sambil melirik motornya. Ketika saya tanyakan ke Benaya perkara selotip tadi, ia menjawab singkat, “isengnya teman-teman saja itu.”

Pilihan motor tersebut bukan sembarangan. Dari Ekspedisi Indonesia Biru, Dandhy mengamati motor yang biasa dipakai masyarakat. Terutama motor yang umum dipakai di daerah dengan geografis “berat” seperti pegunungan. Dari beberapa kandidat motor, Dandhy berkonsultasi dengan bengkel langganan.

Selain kekuatan motor, Supra X dipilih karena murah dan irit bensin. Berbeda dengan motor Kharisma yang dipakai di ekspedisi sebelumnya, motor kali ini tanpa modifikasi. Sehingga terlihat sangat biasa seperti motor masyarakat pada umumnya.

Tim Ekspidisi Indonesia Baru, dari kiri, Farid, Yusuf, Benaya, dan Dandhy. (Dok. Indonesia Baru)

Ekspedisi Indonesia Baru bukan perbudakan modern

Saya melempar beberapa opini netizen saat Ekspedisi Indonesia Baru menjadi viral. Terutama perkara tuduhan Dandhy Laksono melakukan perbudakan modern. Tuduhan ini dilandasi oleh proses rekrutmen yang rumit, ekspedisi yang harus dijalani 1 tahun tanpa henti, dan tidak digaji sama sekali. Saya ingin dengar langsung, bagaimana seorang Dandhy Laksono membela diri dari tuduhan ini.

Dandhy mengenang kembali dua ekspedisi sebelumnya. Menurut Dandhy, sangat banyak orang yang ingin bergabung dalam ekspedisi ini. Bagi Dandhy, open recruitment untuk Ekspedisi Indonesia Baru ini ditujukan pada mereka yang sudah tahu betul bagaimana dua ekspedisi sebelumnya dilakukan. “Kami menganggap sedang bicara dengan penonton kami sendiri. Dan mungkin ini akan mengejutkan orang lain yang tidak mengenal,” ujar Dandhy. 

“Untuk orang yang baru tahu, ada ya orang yang mau diajak jalan setahun dan ga dibayar,” ujar Dandhy menyinggung salah satu twit yang dibagikan sampai 2.000 lebih. Bagi Dandhy, hal tersebut sangat wajar terjadi di media sosial. Bahkan menurut Dandhy, ada ‘penumpang gelap’ yang ikut dalam proses rekrutmen.

Dandhy juga sudah menjawab pertanyaan tentang sistem rekrutmen ini melalui Twitter Space. Jadi dia merasa seluruh pertanyaan perkara ‘perbudakan modern’ ini telah terjawab. “Mungkin Ben bisa ikut menjawab ini,” imbuh Dandhy terputus karena terbatuk cukup keras. Saya merasa dia memang sedang tidak enak badan. Apalagi baru saja pulang dari Karimunjawa.

Silahkan buktikan siapa afiliasi politik saya

Pertanyaan (bernada cercaan) yang juga ramai di Twitter adalah posisi politik Dandhy. Banyak yang menilai bahwa Dandhy Laksono adalah underbow dari salah satu kubu politik. Banyak yang menilai ia berafiliasi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena muatan Sexy Killers. Patut diingat, dalam dokumenter ini Dandhy terkesan menyerang kubu Jokowi dan Prabowo sekaligus.

Dandhy merasa tidak perlu membela diri atas tuduhan ini. Justru Dandhy mempersilahkan siapapun untuk membuktikan bahwa dia menjadi underbow salah satu kubu politik. Menurut Dandhy, akan sangat mudah untuk membuktikan itu jika memang benar. Karena Dandhy sendiri dengan mudah membuktikan jaring oligarki Jokowi dan Prabowo melalui Sexy Killers.

“Menyangkut hal lebih rumit saja kita bisa bongkar. Apalagi membongkar saya ini (sebagai underbow politik) apa susahnya,” jawab Dandhy enteng.

Dandhy sendiri sangat menunggu pembuktian ini. Ia penasaran darimana konklusi tersebut ditemukan. Dandhy menekankan, hal ini wajar jika orang tersebut baru saja mengetahui karyanya terutama Sexy Killers. Padahal sejak tahun 2009, Dandhy sudah melayangkan kritik tajam kepada SBY melalui buku Indonesia For Sale. Bahkan menyebut SBY sebagai Bapak Neo-liberalisme.

“Jika dulu saya sudah buat film, pasti akan seperti Sexy Killers. Tapi dulu saya baru bisa bikin buku,” imbuh Dandhy sambil kembali tergelak. Saya merasakan suasana yang jauh dari kata tegang ketika diskusi. Berbeda dengan membayangkan seorang Dandhy Laksono di media sosial.

Dandhy menemukan benang merah tuduhan ini dalam debat cagub DKI 2016. Pada saat itu, Dandhy baru saja merilis dokumenter Jakarta Unfair dan Rayuan Pulau Palsu. Kebetulan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mencatut film ini sebagai materi debat. Namun, Dandhy malah menilai hal ini sebagai sesuatu yang positif.

Sudah saatnya pejabat publik memperdebatkan isu publik

Menurut Dandhy, sudah saatnya pejabat publik memperdebatkan publikasi dan isu publik. Meskipun menurutnya ini sebuah paradoks, tetapi juga kemajuan yang luar biasa. “Daripada mereka memperdebatkan agama dan akhlak,” imbuh Dandhy.

“Misal, pada waktu itu AHY mengutip dari bukunya Pram (Pramodya Ananta Toer), apa lantas bisa dibilang Pram dan Yayasan Obor ini berafiliasi dengan AHY dan SBY?” Ujar Dandhy sambil tergelak lepas. Tapi ia memaklumi, dalam politik hal seperti ini biasa untuk menegasi sebuah isu dan argumen.

Bagi Dandhy, salah satu tujuan memproduksi publikasi atau dokumenter seperti Sexy Killers adalah agar dibahas dalam perdebatan politik. Dandhy tidak masalah jika karyanya dipakai sebagai argumen para tokoh politik. Sekali lagi, itu adalah sebuah kemajuan daripada menyibukkan diri dengan politik identitas. 

“Aneh saja kalau seseorang tidak mau karya publiknya dibicarakan dalam forum dimana kebijakan publik dibicarakan dan dipertaruhkan,” tegas Dandhy.

Melihat karyanya viral di antara aktivis sampai para investor, Dandhy sempat merasa aneh. Salah satunya adalah Samin Semen yang rilis pertama di Youtube. Dandhy membayangkan penonton dokumenter tersebut adalah para petani di berbagai daerah. Bagi Dandhy, audiens yang diharapkan sesempit itu.

“Ketika (Samin Semen) diputar di negara di mana investor semen berada, dan dikomentari gubernur, ya saya anggap itu sebagai bonus besar,” ujar Dandhy penuh kekaguman. Dandhy selalu membayangkan karyanya berakhir diputar dalam pertemuan RW dan dusun. Tapi karena kelompok “elit” ikut menonton, ini menjadi promosi lain yang membuat karya Dandhy makin dikenal khalayak luas.

Kami adalah investor ekspedisi ini

Perkara pendanaan juga sering diributkan warganet. Banyak yang menuduh Dandhy memiliki backing dari kekuatan ekonomi besar. Beberapa menilai ada NGO atau LSM yang diam-diam menjadi sponsor Dandhy. Semua tuduhan ini bermuara pada isu afiliasi politik Dandhy.

Dandhy menjawab enteng dengan, “semua dari tabungan.” Sebelum menemani Farid Gaban dalam Ekspedisi Zamrud Kathulistiwa, Dandhy sengaja mencari pekerjaan bergaji besar. Tujuannya agar bisa menabung untuk perjalanan tersebut. Setelah menabung selama 5 tahun, baru Dandhy berangkat ekspedisi.

Dandhy memaklumi bahwa apa yang dilakukan dipandang tidak normal. Menurut Dandhy, normalnya masyarakat adalah menabung untuk naik haji atau beli tanah. Tapi Dandhy memilih untuk menabung untuk keliling Indonesia dengan ekspedisi. Ia mengesampingkan keinginan S2, naik haji, atau beli rumah. “Rumah saja masih atas nama istri,” imbuh Dandhy sambil terkekeh sambil sentrup-sentrup. Bukan menangis tapi karena pilek. 

Dengan menabung, Dandhy juga ingin menunjukkan mudahnya mencari investor untuk produksi film dokumenter. Bagi Dandhy, lebih susah menciptakan film sesuai keinginan sendiri dan tanpa investor.

Tapi dengan kenekatan sebesar ini, Dandhy tidak menilai dirinya punya privilese. Bagi Dandhy, privilese atau hak istimewa adalah sesuatu yang diperoleh tanpa mengusahakan. Sedangkan ia harus mengorbankan banyak hal serta keinginan lain untuk ekspedisi ini. Tapi Dandhy mengakui, pengorbanan yang dilakukan sama seperti masyarakat yang naik haji.

Watchdoc sebagai badan usaha privat juga ikut menyokong biaya ekspedisi. Karena berhak untuk komersil, maka Watchdoc memiliki surplus yang digunakan dalam pembiayaan Ekspedisi Indonesia Baru. Watchdoc juga memberikan cuti setahun bagi Dandhy dan tetap mendapat tunjangan. Selain itu, adanya koperasi ikut membantu pendanaan ekspedisi ini.

Terlepas dari sumber dana di atas, setiap anggota ekspedisi juga mengeluarkan biaya tidak langsung. “Misal Ben, dia rela bekerja selama setahun tanpa dibayar. Menurut saya ini juga nominal yang tidak sedikit,” tegas Dandhy. Jika dikalkulasi, total gaji yang seharusnya mereka peroleh dengan “pekerjaan” ekspedisi ini bisa bernilai milyaran rupiah. Bagi Dandhy, 4 orang anggota ekspedisi adalah investor. 

Tapi Dandhy mengakui ada sumber dana lain, terutama saat darurat. Yaitu utang dari istri. 

Istri dan keluarga merestui

Banyak yang tidak menyangka bahwa Dandhy Laksono sudah berkeluarga. Maka banyak pula yang mempertanyakan apakah Dandhy sudah mendapat izin istri. Saya pribadi sering membandingkan: izin untuk mancing saja susah, apalagi izin untuk ekspedisi keliling Indonesia selama 1 tahun.

Dandhy langsung tergelak atas pertanyaan ini. Menurutnya, pertanyaan ini sangat klasik. Tapi Dandhy menegaskan bahwa sebelum berangkat ia telah berbuat sesuatu yang positif bagi keluarga.

“Yang tidak diketahui orang, perbuatan baik apa yang sudah kulakukan hingga dapat izin istri untuk ekspedisi. Bahkan sampai dua kali,” ujar Dandhy. Karena jika hanya berpolos-polos ria, menurut Dandhy akan mustahil untuk mendapatkan izin dari istri.

Selama 7 tahun mempersiapkan ekspedisi kedua ini, Dandhy juga tidak berpangku tangan. Dia tetap memastikan rumah tangganya tetap berjalan dengan baik selama ekspedisi. Bagi Dandhy, ini juga menjadi investasi tersendiri dalam ekspedisi. Investasi ini juga berbuah dukungan dari istri. Seringkali Dandhy harus berutang pada istri saat situasi darurat.

Dandhy juga memberi petuah kepada orang-orang yang terinspirasi melakukan ekspedisi sendiri. Terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Dandhy mengingatkan, orang yang keliling Indonesia bukanlah orang tidak bertanggung jawab. “Gila aja dikira keliling Indonesia itu lari dari tanggung jawab. Ini malah mendatangkan tanggung jawab baru,” ujar Dandhy nyaring, sampai ayam di rumah eyang saya ikut berkokok.

Dandhy Laksono melibatkan anggota tim anak muda dengan harapan program dokumenter yang dibuatnya bisa terus ada. (Prabu Yudianto/Mojok.co)

Dandhy mengingatkan bahwa lebih berat keliling Indonesia daripada hidup bersama keluarga. Sehingga ia menekankan, jika tidak bisa bertanggung jawab lebih baik jangan keliling Indonesia. Sehingga bagi Dandhy penting untuk bertanggung jawab penuh pada keluarga serta ekspedisi yang diinginkan. Dan bagi Dandhy, posisi direstui dan didukung ini bukan privilese. Tapi seluruhnya adalah pilihan.

“Jadi ekspedisi ini sudah SNI ya mas, sudah nanya istri,” tekan saya. Dandhy kembali tergelak dan menjawab singkat, “dia yang ngutangin!”

Makin susah semenjak terkenal

Dandhy mengakui bahwa situasi pada ekspedisi kali ini sangat berbeda. Semenjak Sexy Killer, Dandhy merasa lebih banyak yang mengenal dirinya. Bahkan ketika mendatangi daerah dalam jalur ekspedisi, ada saja orang yang mengenal. Bagi Dandhy, ini seperti pisau bermata dua.

“Enaknya sekarang aku sudah tidak perlu terlalu banyak berkenalan. Selain itu, trust dari masyarakat yang kudatangi lebih tinggi,” ujar Dandhy.

Tapi ada sisi buruk dari terkenalnya seorang Dandhy Laksono. Ia makin susah untuk menemui beberapa pihak terutama dari pemerintahan. “Kadang aku harus full tertutup saat pertama ketemu mereka,” ujar Dandhy sambil menunjukkan buff yang biasa ia pakai. Buff abu-abu bercorak merah itu terlihat sudah lusuh. Tapi saya maklum, Dandhy terlihat sangat santai dalam urusan busana. 

Dandhy tidak ambil pusing perkara dirinya yang makin terkenal. Ia pun enggan membahas lebih jauh. Kebetulan, Dandhy ada janji bertemu dengan beberapa kolega di sebuah tempat makan. Hanya 10 menit dari rumah. Segera Dandhy mengemasi barang-barang dan berpamitan.

“Ini sekaligus perpisahan ya, Mas,” ucap saya saat bersalaman. Dandhy hanya tertawa dan segera mengenakan buff abu-abu tadi. Lambaian tangannya menjadi salam terakhir kami yang entah kapan bertemu kembali.

Seleksi berat, ekspedisi berat, tapi tidak diperbudak

Benaya masih tinggal di rumah eyang saya. Selain karena saya memang minta waktu sejenak untuk ngobrol, ia juga ingin ngaso sejenak. Pemuda Sumba ini terlihat sangat lelah. Ia mengaku baru ini beristirahat setelah seharian sibuk merekam konten dokumenter. Apakah kelelahan ini menjadi tanda bahwa ekspedisi yang ia jalani berat?

“Awalnya saya masih berat ya. Tapi ibaratnya gini, bisa ga sih saya ikut (ekspedisi) Mas Dandhy dan Mas Farid,” ungkap Benaya. Ia merasa masih sangat muda dan tidak ada tanggungan seperti istri. Benaya juga menjelaskan, sejak SMP ia sudah terbiasa merantau dan hidup mandiri. 

“Tapi karena sudah terbiasa dan didukung keluarga, saya tidak merasa berat,” imbuh Benaya. 

Bagi Benaya, pekerjaan sebagai wartawan di sebuah media terasa lebih berat. Tapi dengan tetap bisa melakukan liputan, gaji sebagai karyawan bisa dikirimkan kepada orang tua. Saya langsung terpukau. Ternyata di tengah ekspedsi ini, Benaya masih memikirkan orang tua. 

Menanggapi isu perbudakan modern, Benaya tidak sepakat. Sebagai pihak yang dinilai “diperbudak”, Benaya merasa beruntung. Terutama karena bisa lolos seleksi. Dengan berbagai tes seperti membuat esai dan wawancara. Ia dan Yusuf Priambodo merasa menjadi orang yang sangat beruntung.

Benaya mengingat Master Class, sebuah kursus jurnalistik yang diadakan Dandhy Laksono dan Farid Gaban. Jika menjadi peserta, Benaya harus membayar dua juta rupiah untuk kursus dua hari. Sedangkan sebagai bagian Ekspedisi Indonesia Baru, ia bisa menyerap ilmu dari keduanya gratis selama setahun. Bagi Benaya, ini adalah salah satu keberuntungan yang tadi dimaksud.

Ketika bicara tentang akomodasi, Benaya merasa sangat tercukupi. Meskipun tidak digaji, namun kebutuhan makan dan tempat istirahat sangat tercukupi. “Dulu waktu kerja, saya makan dua kali. Sekarang saya malah makan tiga kali sehari,” jawab Benaya sambil tertawa.

Benaya juga buka-bukaan tentang gaji. Jika dikalkulasi, gaji Benaya selama sebulan tidak akan cukup menutup biaya akomodasi ekspedisi ini tiap bulannya. Tapi lebih dari itu, Benaya bisa merasakan apa yang diidamkan. “Menjadi jurnalis merdeka,” jawab Benaya.

Seleksi yang lebih berat dari CPNS 

Benaya mengenang bagaimana ia bisa menjadi bagian dari Ekspedisi Indonesia Baru. Awalnya Benaya mengetahui info rekrutmen ekspedisi ini dari cuitan akun Twitter Dandhy pada awal tahun 2022. “Gila parah sih ini,” ujar Benaya mengenang antusiasme saat melihat pengumuman ini.

Pada awalnya, Benaya sangat pesimis. Tapi ia mencoba dengan mengirim esai dan portofolio. Sempat terjadi gap waktu antara seleksi awal dan selanjutnya. Tapi Benaya sendiri tidak optimis. Meskipun ingin, ia merasa belum cukup mampu menjadi bagian dari Ekspedisi Indonesia Baru. “Jadi aku ga berharap lebih. Tapi kaget juga akhirnya bisa ikut wawancara online,” imbuh Benaya.

Tim Ekspedisi Indonesia Baru seperti Benaya tidak merasa menjadi ‘budak modern’. Justru ia menikmatinya dan mendapatkan banyak hal. (Dok. Ekpedisi Indonesia Baru)

Benaya pun melakukan wawancara.”Tapi bukan bersama Mas Dandhy. Wawancara bersama Mbak Rumi sebagai koordinator dan Mas Farid,” kenang Benaya. Ia merasa tahap wawancara ini sebagai bagian paling mendebarkan. Banyak pertanyaan yang berat bagi Benaya, tapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut. 

Dari 10 orang yang diwawancara, hanya 4 yang tersisa untuk mengikuti boot camp. Benaya merasa tahap ini yang paling berat. Salah satu yang diingat adalah tidur dengan satu sleeping bag. “Padahal waktu itu Dieng baru dingin-dinginnya,” ujar Benaya. Tapi tes fisik ini tidak keterlaluan bagi Benaya.

Pada 3 hari pertama, peserta mendapat tes tentang pengetahuan literasi. Kemudian dilanjutkan dengan tes menulis. Yang ketiga adalah tes tentang skill yang dimiliki, terutama audio dan visual. Kemudian setelah itu, mereka mengikuti Master Class. 

“Mana yang lebih susah, ikut rekrutmen kerja biasa atau ekspedisi ini?” Tanya saya.

Bagi Benaya, tes rekrutmen kerja masih sangat mudah. Terutama karena tes ekspedisi ini memakan waktu berbulan-bulan. Sedangkan tes melamar kerja hanya butuh waktu beberapa hari. “Bahkan lebih susah tes ini daripada tes CPNS,” ujar Benaya sambil tergelak. 

Dengan mengikuti ekspedisi, bisa menjadi jurnalis yang baik

Benaya mengakui bahwa keputusan ini sempat tidak disetujui orang tua. Ia memaklumi, orang tuanya tidak akan rela melihat sang putra hidup luntang-lantung selama setahun. Meskipun demikian, menjadi jurnalis adalah cita-cita orang tua Benaya juga.

“Ayah pernah berpesan, jadilah jurnalis yang baik. Dan dengan ini (mengikuti ekspedisi) saya menjadi jurnalis yang baik,” ujar Benaya yang terlihat menerawang. Bagi Benaya, menjadi jurnalis merdeka dengan mengikuti ekspedisi ini adalah cara memenuhi keinginan ayahnya. 

Benaya mengingat masa kecilnya. Dahulu ia sangat membenci berita. Alasannya sederhana: Benaya harus mengalah dengan ayahnya saat ingin menonton film kartun. Ayah Benaya memang sangat menyukai berita. Kesukaan ini yang menjadi latar belakang dukungan sang Ayah agar Benaya menjadi jurnalis.

Setelah memberi pemahaman, keluarga Benaya akhirnya memberi restu. Dan Benaya bersyukur atas restu ini. Pada akhirnya, ia bisa menjadi jurnalis yang baik seperti yang diharapkan orang tuanya.

Meskipun baru sebulan, Benaya merasa telah dibukakan matanya. Dari dokumenter pertama berjudul Silat Tani, Benaya baru sadar tentang dekatnya isu agraria dengan dirinya. Namun, selama ini dia tidak pernah menyadari. Benaya mengaku ada kekaguman tersendiri dengan mereka yang terekam dalam Silat Tani.

Benaya mengaku terinspirasi dengan ekspedisi ini. Dan muncul keinginan untuk menciptakan karya sendiri setelah ekspedisi berakhir.

Ada sisi Dandhy Laksono yang tidak diketahui banyak orang

Benaya juga menemukan hal menarik dari dalam tim ekspedisi. Ia mengakui, rentang usia antar tim memang terpaut jauh. Dengan perbedaan usia, Benaya merasa mereka saling mengisi satu sama lain.

“Mas Farid adalah sosok guru besar di situ,” ujar Benaya penuh kagum. Ilmu yang menurut Benaya baru diperoleh setelah membaca ratusan buku, ia peroleh dari Farid Gaban dalam waktu singkat.

Tentang Dandhy Laksono, Benaya melihat ada dua karakter. Karakter pertama adalah sosok pekerja keras. Ia merasakan Dandhy memiliki integritas penuh dalam ekspedisi ini. “Karena ini kerja tim, sifat pekerja keras Mas Dandhy ikut terasa pada saya,” imbuh Benaya. Dan menurut Benaya, karakter ini sama dengan apa yang muncul di media sosial Dandhy: keras dan penuh tanggung jawab.

Namun, ada karakter yang menurut Benaya tidak banyak diketahui orang. Dandhy Laksono adalah seseorang yang sangat perhatian. Benaya mengakui bahwa Dandhy dan Farid menjadi sosok ayah, ketika Yusuf Priambodo menjadi sosok kakak.

“Mas Dandhy sampai memaksa aku ke rumah sakit saat tidak enak badan kemarin,” imbuh Benaya. Berbagai sikap perhatian Dandhy ini menurut Ben tidak banyak diketahui orang. Terutama karena Dandhy selalu tampil sebagai pribadi yang keras dan teguh dalam pendirian.

Tidak terasa hampir satu jam kami ngobrol berdua. Benaya sendiri diminta menyusul Dandhy di tempat makan yang dikunjungi. Saya menawarkan diri untuk mengantar Benaya. Ia mengakui masih belum hafal Jogja. Apalagi ini kali pertama Benaya menginjakkan kaki di Jogja.

Setelah berpamitan, saya mengamati dua motor mereka. Motor Supra X yang terlihat biasa ini akan menghantarkan mereka pada jutaan kisah. Diam-diam saya mendekati motor milik Dandhy, dan membuka selotip di bagian body motor. Siapa tahu ada sesuatu di balik selotip hitam itu.

“Oh, beneran Supra X,” ujar saya dalam hati.

Reporter: Dimas Prabu Yudianto
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Anak yang Bercita-cita Membuat Wangi Bau Sampah TPST Piyungan

 

Exit mobile version