Pengambil sampah di Jogja yang mengambil sampah dengan gerobak di rumah-rumah warga berhadapan dengan situasi sulit. Mereka harus memutar otak saat pelanggan terus mendesak sedangkan tempat pembuangan tidak kunjung siap.
***
Di depan Depo Sampah Gembira Loka Kota Yogyakarta, sejumlah penggambil sampah sedang mendapat giliran berjaga. Pada Minggu (13/08/2023), Depo itu hanya menerima pembuangan dari jam 08.00 hingga 10.00 karena keterbatasan daya tampung.
“Takutnya nanti ada warga dari luar Kota Yogyakarta yang buang di sini. Ini khusus untuk warga sekitar,” kata salah seorang penggerobak, Japan (55) saat Mojok temui sekitar jam 10 pagi.
Lokasi Depo yang mereka jaga berada di wilayah Kota Yogyakarta yang berbatasan dengan Kabupaten Bantul. Menurut Japan, sering ada warga dari Bantul yang buang sampah di sini. Padahal kondisi daya tampungnya terbatas untuk warga sekitar.
Ia dan rekannya Suyut (67), menjaga sampai jam 14.00 sebelum nantinya bergiliran dengan Linmas setempat. Para pengambil sampah di Jogja ini memang jadi salah satu pilar penting dalam siklus pengelolaan sampah dan turut dilibatkan untuk menjaga Depo di masa darurat sampah DIY.
Mereka bertugas untuk menjemput sampah dari rumah-rumah yang berlangganan untuk mereka antar ke Depo terdekat. Pada situasi normal mereka bisa menjemput semua limbah rumah tangga dalam sehari. Namun, di tengah krisis karena tutupnya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan, mereka harus memutar otak.
Japan misalnya, lelaki yang sudah 30 tahun menggeluti profesi penggerobak ini punya pelanggan sekitar 70 KK di wilayah Warungboto, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Mulai dari rumah tangga biasa, warung makan, hingga kos atau penginapan.
Sedangkan Suyut, pelanggannya hanya satu RT di wilayah Muja Muju, Umbulharjo. Jumlahnya sekitar 30 KK.
Warga minta terima beres, pengambil sampah putar otak
Sebagai penyedia jasa penjemputan sampah, para penggerobak mendapat upah mulai dari Rp30-50 ribu per bulan untuk setiap KK. Namun, bisa lebih tergantung volume dan jenis sampahnya.
“Kalau rumah makan itu bisa lebih karena sampahnya berat dan basah. Bisa sampai Rp100 ribu per bulan,” kata Japan. Sementara untuk kos biasanya murah karena sampahnya cenderung kering.
Sejak TPA Piyungan mengalami penutupan, Pemda maupun Pemkot telah mengimbau agar warga bisa memilah sampah. Namun, praktik di lapangan, tidak banyak warga yang tergerak dan mau melakukan anjuran tersebut.
“Di lapangan susah untuk mengajak warga memilah. Sosisalisasi dari instansi sudah sering. Biasanya penggerobak yang memilah, tapi kami juga kewalahan,” kata Japan. Suyut pun membenarkan kendala tersebut.
Ketimbang harus memilah, warga memilih membayar lebih demi sampah bisa segera keluar dari rumah mereka. Penggerobak pun memutar otak mencari cara membuang sampah cepat.
Japan akhirnya bisa berpanas lega setelah ada kenalannya yang memperkenankan lahan kosong bekas galian tambang batu untuk jadi penampungan sampah sementara. Letaknya di Pajangan, Bantul.
“Kalau cuma sekali dua kali, sementara bisa saya bawa ke sana. Itu pun dengan biaya tambahan,” katanya.
Akhirnya ia juga bisa membantu beberapa penggerobak lain yang mengalami kebuntuan. Menurutnya banyak penggerobak yang kehilangan pelanggan di tengah kondisi darurat sampah ini.
“Jadi ya kami terpaksa memungut biaya tambahan di luar uang bulanan. Tapi sementara saja sampai situasi normal,” terangnya.
Warga pun akhirnya tidak punya pilihan. Ketimbang menumpuk sampah di rumah dan menimbulkan bau, mereka memilih merogoh kocek lebih dalam.
“Teman-teman banyak yang montang-manting. Pelanggannya pada cabut, kasihan,” ujar Japan.
Baca halaman selanjutnya…
Warga masih asal buang sampah
Warga masih asal buang sampah
Suyut berujar, kondisi ini tidak akan berakhir sampai ada solusi pasti pengganti TPA Piyungan. Ia sangsi dengan wacana pembuatan tempat pembuangan sementara di Cangkringan yang bergulir dari Pemda DIY.
“Itu kan akhirnya banyak penolakan dari warga setempat. Kalau jadi pun, kepripun? Lha air minum kita dari sana masa mau dicemari sampah,” keluhnya.
Ia mengenang, TPA Piyungan yang dulu merupakan lubang galian dalam kini sudah berubah menjadi gunung. “Dulu saja kalau lihat lubangnya ngeri. Sekarang sudah jadi tumpukan tinggi,” kenangnya.
Tak jauh dari depo tersebut, di sisi timur Jembatan Gembira Loka, tumpukan sampah sempat menjadi pemandangan lazim di pinggir jalan. Seorang warga yang jadi tukang parkir tak jauh dari lokasi pembuangan mengaku tak bisa berbuat apa-apa melihat maraknya pembuangan sampah di lahan kosong itu.
“Mereka yang membuang itu dari mana-mana saja. Pada naik motor terus sampah plastikan dilempar,” keluhnya saat saya jumpai terpisah.
Berharap segera ada solusi pasti
Ia mengaku turut merasakan dampak bau tak sedap. Selain itu, beberapa orang yang membuang di sana juga membakar sampah ketika melihat tumpukan telah meninggi.
“Asapnya itu juga mengganggu. Belum lagi di dekat situ kan ada tiang listrik banyak kabel, berbahaya,” terangnya sembari minta namanya tak disebutkan dalam berita.
Saat saya tinjau ke lokasi, tumpukan sampah di pinggiran jalan sisi utara Gembira Loka memang sudah berkurang. Petugas DLH telah melakukan pengerukan menggunakan alat berat. Namun, sisa-sisa bekas pembakaran masih terlihat.
“Besok, dua hari lagi biasanya sudah menumpuk lalu ada yang membakar lagi. Dua minggu terakhir begitu terus,” jelasnya. Padahal di sekitar area itu, ada beberapa plang imbauan larangan membuang sampah.
Mengenai kondisi itu, baik Suyut maupun Japan juga turut menyayangkan. Menurut mereka, penggerobak sampah tidak sampai membuang sembarangan meski banyaknya tuntutan untuk segera membuang sampah dari pelanggan.
“Kami kalau dari dinas menyuruh menahan dulu ya kami tahan. Kami cari solusi yang tidak mengganggu warga dan sembarangan,” kata Japan.
Para pengambil sampah di Jogja ini berharap segera ada solusi pasti dan jangka panjang untuk persoalan sampah di DIY, terutama Kota Yogyakarta. Mengingat daerah kota sudah tidak punya lahan lagi untuk penampungan memadahi.
“Pas ada masalah seperti ini, kasihan penggerobak yang tidak punya solusi alternatif. Pelanggan pada keluar. Wong cilik dadi korbane,” pungkas Japan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kang Nur Menolak Sedih karena Utang Pelanggan Angkringan Berkat Lagu Iwan Fals
Cek berita dan artikel lainnya di Google News