Jika kamu dari Jogja menuju Semarang atau sebaliknya melalui jalur darat maka akan melintasi deretan warung berwarna hijau di wilayah Ambarawa. Ya, deretan warung tersebut menjajakan penganan spesial khas Ambarawa: Serabi Ngampin.
***
Puluhan warung berwarna hijau tampak berjajar rapi di sepanjang Jalan Mgr. Soegijapranata, Ngampin, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Warung-warung yang tak pernah sepi dari pengunjung ini ditandai dengan nomor urut 1 hingga 70.
Deretan warung berwarna hijau itu tak lain merupakan penjual Serabi Ngampin, penganan legendaris khas Ambarawa, Kabupaten Semarang. Para pengguna jalan yang melintas di jalan utama Semarang-Yogyakarta atau sebaliknya kerap kali menyempatkan diri mampir ke warung serabi ini.
Siang itu, Kamis (12/10), saya menyempatkan diri mampir di salah satu warung Serabi Ngampin nomor warung 02 milik Sari. Kepulan asap tipis tampak menyapu wajah seorang perempuan muda berbaju oranye. Peluh keringat mengalir dari dahinya turun ke pelipis mata.
Sari tengah sibuk memasak adonan serabi dan menuangnya di atas tungku yang di bakar menggunakan kayu. Terdapat tiga deret tungku yang digunakan Sari untuk memasak serabi. Dengan cekatan, tangan Sari mengayunkan kipas rotan agar api yang ada pada arang kayu tak lekas padam.
Tak lama, semerbak harum aroma manis khas gula aren dari Serabi Ngampin menyeruak dan menusuk hidung. Sari (31), merupakan generasi ketiga penjual Serabi Ngampin Ambarawa. Sebelumnya, neneknya yakni almarhum Mbah Karminah merupakan generasi pertama penjual serabi sejak tahun 1970.
Nama Serabi Ngampin sendiri diambil dari nama desa, tempat para penjual serabi menjajakan dagangannya. “Ngampin itu nama daerah disini,” tutur Sari.
Sari lantas bercerita, sekitar tahun 70-an Serabi Ngampin dijajakan hanya setiap satu tahun sekali, yakni pada bulan Sa’ban atau satu bulan menjelang puasa. Pada bulan tersebut warga Desa Ngampin dan sekitar Ambarawa kerap melakukan prosesi tahunan yakni padusan atau mandi di sendang yang berada di sekitar Desa Ngampin.
Usai padusan, biasanya orang-orang berjalan kaki dan membeli serabi di sepanjang jalan menuju sendang sekaligus mencari jodoh. Dari salah satu penjual serabi di sepanjang Jalan Ngampin, ada Mbah Karminah, nenek dari Sari, yang bisa disebut sebagai generasi pertama penjual Serabi Ngampin pada era itu.
“Dulu itu mbah saya namanya Karminah, jualan serabi hanya satu tahun sekali sebelum bulan puasa, kalau dari cerita mbah yang jualan dulu cuma beberapa orang aja,” tutur Sari.
Resep Serabi Ngampin, diturunkan mbah Karminah ke anaknya yakni Ristanti (53) generasi kedua yang tak lain adalah ibu dari Sari. Menurut Sari, ibunya mulai meneruskan menjual Serabi Ngampin sekitar tahun 90-an.
Kala itu, penjual serabi mulai menjamur, ada sekitar puluhan penjual serabi di sepanjang Jalan Raya Ngampin. Jalan Raya Ngampin merupakan jalur utama kendaraan umum yang menuju arah Yogyakarta ke Semarang atau sebaliknya.
“Kalau zaman si mbah bisa diitung jari yang jual, tapi pas ibu jualan mulai banyak orang yang ikut jualan,” ucap Sari.
Serabi Ngampin sendiri berbeda dengan Serabi Solo. Serabi Solo berdiameter besar sekitar segenggam tangan, tebal dan tanpa kuah. Sedangkan ciri khas Serabi Ngampin adalah bertekstur lembut, berdiameter lebih kecil dan tipis.
Selain itu, penyajian Serabi Ngampin juga cukup unik yakni disiram dengan kuah santan yang diberi campuran gula aren. Sehingga membuat warna santan menjadi cokelat dan lebih wangi. Selain itu juga ditambah dengan tape ketan.
“Kalau serabi Ngampin itu ditambah kuah dan lebih kecil,” kata Sari.
Resep rahasia Serabi Ngampin
Sari menjelaskan rahasia resep terun temurun yang diwariskan neneknya dalam membuat adonan serabi. Serabi Ngampin harus berbahan dasar dari tepung beras segar, yang dimaksud segar yaitu tepung beras berasal dari beras yang ditumbuk hingga halus sebelum dijadikan adonan.
Seiring berjalannya waktu, kini cara menghaluskan beras untuk sampai menjadi tepung beras tak lagi dengan cara manual seperti ditumbuk. Saat ini Sari telah menggunakan alat penggilingan padi atau mesin selep untuk menghaluskan beras. Sehingga lebih menghemat waktu dan tenaga.
“Dulu waktu zaman si mbah dan ibu sebelum bikin adonan, beras harus dihaluskan dulu dengan cara ditumbuk. Tapi sekarang sudah ada mesin selep jadi lebih cepat,” jelas Sari.
Hasil dari penggunaan tepung beras segar, menurut Sari akan membuat serabi menjadi lebih lembut dan tipis ketika dimasak. Jika dibandingkan dengan tepung beras kemasan hasil olahan pabrik, akan menghasilkan serabi bertekstur kasar, tebal dan lebih besar.
“Sudah dari dulu pakainya tepung beras buatan sendiri, pernah coba pakai tepung beras, serabinya jadi tebal dan kasar,” ungkap Sari.
Cara memasak Serabi Ngampin juga memiliki ciri khas tersendiri dan bisa dibilang sangat tradisional. Masih menggunakan tungku kayu dan wajan serabi yang terbuat dari tanah liat.
“Cara masaknya juga masih sama seperti nenek saya dulu, pakai tungku dan wajan tanah liat. Katanya si mbah kalau pakai wajan aluminium dan kompor gas ya namanya bukan Serabi Ngampin,” kata Sari.
Mata Sari kemudian tampak menatap ke arah langit, ingatannya kembali menerawang pada masa belianya. Ia kemudian berkisah awal mula ketika dirinya mulai membantu ibunya mengolah adonan serabi.
Saat itu, ia tengah duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saban pagi sebelum berangkat sekolah Sari membantu Ristanti, ibunya, menumbuk beras untuk dijadikan tepung. Tak hanya menumbuk beras, dirinya juga memarut gula aren dan kelapa untuk dijadikan kuah santan serabi.
“Dulu sebelum berangkat sekolah selalu bangun pagi bantu ibu bikin adonan serabi sama kuah santannya,” tutur Sari sembari tersenyum mengingat masa kecilnya.
Sari mengatakan selain membantu membuat adonan dirinya juga kerap membantu ibunya berjualan tiap akhir pekan di warung. Dari situlah mental Sari digembleng. Pada akhirnya setelah menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2009 ia lalu memutuskan untuk meneruskan berjualan Serabi Ngampin dan membuka warungnya sendiri.
“habis lulus SMA sempat di tawari kuliah, tapi saya milih jualan serabi,”ungkap Sari kepada saya.
Ketika saya mencicipi Serabi Ngampin yang disajikan oleh Sari, cita rasa gurih lebih dominan dan lembutnya serabi lumer di mulut. Tak membutuhkan waktu lama untuk mengunyah Serabi Ngampin yang lembut dan empuk.
Kuah santan yang dicampur dengan gula aren membuat cita rasa semakin nikmat, dengan adanya rasa manis bercampur gurih. Tak selesai disitu, tambahan tape ketan memberikan sensasi kecut dan rasa segar di mulut.
Satu porsi Serabi Ngampin berisi lima lembar serabi yang disiram dengan kuah santan dibandrol dengan harga Rp 6 ribu. Jika ditambah dengan tape ketan cukup menambah Rp2 ribu saja.
“Satu mangkuk serabi original tanpa tape ketan harganya cuma Rp6 ribu,” ujar Sari.
Munculnya paguyuban pedagang serabi
Sari menuturkan, sejak beberapa tahun terakhir para pedagang Serabi Ngampin telah membuat paguyuban penjual Serabi Ngampin, dengan total anggota 80 pedagang yang tergabung didalamnya. Dalam paguyuban tersebut, terdapat sejumlah aturan yang dibuat seperti aturan waktu berjualan hingga pematokan harga jual satu porsi serabi.
“Kalau dulu sebelum ada paguyuban penjual serabi, tidak ada patokan harga. Jadi nanti di warung sana harganya lebih murah nanti disini agak mahal kemudian membuat pembeli lebih suka di warung sebelah,” jelas Sari.
Sementara itu, ia juga menuturkan soal aturan waktu berjualan, dalam sehari pedagang serabi hanya diizinkan membuat sekali adonan serabi atau satu shift saja. Mereka tidak diizinkan menambah adonan. Hal ini dimaksudkan agar pembeli nantinya bergantian melarisi warung yang masih memiliki stok serabi.
“biasanya bikin satu kilo adonan serabi bisa jadi 250 lembar serabi, nah nanti bisa jadi 50 porsi. Kalau udah habis ya sudah nggak boleh bikin adonan lagi,” tutur Sari.
Setiap harinya Sari biasa berjualan mulai pukul 09.00 WIB sampai sore hari. Namun, jika pada akhir pekan, dirinya mampu menghabiskan adonan tak sampai sore hari.
“Kalau Sabtu minggu itu kan ramai, belum sampai sore serabi udah ludes,” ucapnya.
Selain berjualan di warungnya, Sari juga acap kali mendapatkan pesanan Serabi Ngampin untuk acara pernikahan atau pesta-pesta lainnya.
“kalau pas dapat pesanan dari luar, warung saya tutup,”kata Sari.
Kini, hampir 15 tahun Sari mengelola warung serabi miliknya, sebagai generasi ketiga penjual serabi khas Ambarawa, Sari tetap mempertahankan resep Serabi Ngampin legendaris, warisan mbah Karminah, neneknya.
Reporter : Anindya Putri Kartika
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Bala-bala Gengster dari Bandung, Gorengan Jumbo Pengantar Tidur dan liputan menarik lainnya di Susul.