Seporsi Sego Godog Pak Pethel untuk Mengusir Masuk Angin

Resepnya dibagi gratis

Sego Godog Pak Pethel untuk masuk angin

Pak Slamet dan Bu Suratinem pemilik Sego Godog Pak Pethel

Warung Sego Godog Pak Pethel ternyata berawal dari makanan yang dibuat untuk mengusir masuk angin. Orang yang mempopulerkannya dengan senang hati berbagi resep kepada siapa saja yang ingin membuat.

***

Konon katanya, kuliner ini dapat menghangatkan tubuh yang disajikan dalam porsi yang super besar. Namanya, Sego Godog Pak Pethel. Berbekal mobil Suzuki Carry, saya membelah jalan Ring Road Selatan yang terpantau lenggang. Setelah berulang kali memastikan jalan melalui Google Maps, saya akhirnya sampai juga di rumah kecil yang dikelilingi oleh perkampungan dan area persawahan. 

Jika dari Jalan Bantul, menuju ke Sego Godog Pak Pethel ini memang harus melewati jalan kecil kurang lebih satu kilometer. Tepatnya menuju ke Jalan Sewon Indah Raya, Bandung, Pendowoharjo, Sewon, Bantul.

“Jalan ini sekarang ramai. Coba dulu, sebelum ada warung ini (Red: Sego Godog Pak Pethel), sepi, orang lewat saja takut,” ungkap Bu Suratinem (50), istri pemilik Sego Godog Pak Pethel saat ditemui Mojok.co, Selasa (4/1/2022). Bahkan, jika Sego Godog Pak Pethel tidak berjualan, warung kelontong yang ada di depannya pun memilih tutup lebih awal, yang biasanya pukul sepuluh malam, maka hanya sampai pukul delapan malam karena sudah tidak ada orang lewat.

Nama Pak Pethel berawal dari spanduk gratis

Sego Godog Pak Pethel berdiri sejak 1986. Pendirinya adalah Pak Slamet (54), yang sampai sekarang pun masih menjadi koki satu-satunya. “Sebenarnya dulu warung ini tidak punya nama, lalu sekitar tahun 2013, ada orang yang menawarkan membuatkan spanduk gratis, saya mau, lalu diberi nama Sego Godog Pak Pethel,” ungkap Pak Slamet tertawa. Usut punya usut, Pethel memiliki arti rajin, yang menurut orang terdekat sesuai dengan kepribadian Pak Slamet.

“Sebenarnya, tahun 1986 belum ada menu sego godog,” ungkap Pak Slamet yang memiliki hobi memasak sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di tahun 1986 itu, Pak Slamet masih kelas dua SMA dan memilih untuk membuka warung bakmi untuk mengisi waktu senggangnya. Jualannya seperti nasi goreng, bakmi goreng, bakmi godog, magelangan, selayaknya warung bakmi pada umumnya. Namun, seingat Pak Slamet, paling laku adalah nasi goreng.

Lulus dari SMA, Pak Slamet memilih melepas masa lajang, menikah dengan Bu Suratinem. “Saya memang asli Bantul. Tempat kelahiran saya di Jalan Subarjo, hanya dua ratus lima puluh meter dari sini,” ungkap Pak Slamet menunjuk ke arah jalanan.

Menu sego godog ada sejak sekitar tahun 1990. Sego godog ini bermula dari paman Pak Slamet. “Jadi Pak Lek itu kalau masuk angin selalu buat sego godog dan bisa sembuh. Lalu, saya ikut-ikut minta diajari,” ungkap Pak Slamet tertawa. Setelah mencoba membuat dan menemukan takaran bumbu yang sesuai, Pak Slamet mencoba memasukkan ke dalam menu warung bakminya.

Seporsi sego godog dengan cita rasa pedas. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

“Kok ya ndilalah banyak orang yang suka,” ungkap Pak Slamet. Pada waktu itu memang belum ada yang berjualan sego godog. Harganya pun masih Rp125 rupiah. Jika tambah minum, maka hanya menambah Rp25 rupiah.  Karena  itulah, bisa dibilang Sego Godog Pak Pethel ini merupakan pelopor sego godog di Yogya.

Sekitar tahun 1992, Pak Slamet memilih berhenti berjualan dan menjajal menjadi pegawai. “Saat itu bekerja di perkebunan, pergi ke Sumatra, kurang lebih lima tahunan,” ungkap Pak Slamet. 

Namun, rupanya Pak Slamet tidak betah menjadi pegawai. Tahun 1997 ia memutuskan pulang ke Yogya dan pindah di rumah yang ia tempati sekarang ini untuk kembali membuka warung bakmi. 

Seingat Pak Slamet, warung bakminya pun masih di dalam rumah dan pembelinya duduk lesehan. “Awal-awal buka lagi itu memang sedikit yang beli, tapi lama-lama semakin banyak dan ramai,” ungkap Pak Slamet.

Menurut Pak Slamet, sego godog sebenarnya hampir sama dengan bakmi godog, hanya saja diberi nasi. Sehingga, sego godog isinya nasi, bakmi putih atau bihun, telur, ayam, dan sayuran. Tentu saja, proporsi nasi lebih banyak dari bihun.

“Kalau orang masuk angin makan sego godog, biasanya cari yang pedas. Nanti perpaduan panas dan pedas bikin keringatnya keluar, kemepyaar!!” ungkap Bu Suratinem.

Pak Slamet kembali berhenti berjualan pada tahun 2006, saat gempa meluluhlantakkan Yogya. Saat itu, banyak bangunan roboh di sekitar rumah sekaligus warung bakmi milik Pak Slamet. “Tiga tahunan saya berhenti, baru sekitar tahun 2009 itu berani membuka warung bakmi lagi, kontrak di Jalan Bantul, utaranya Masjid Agung Manunggal,” ungkap Pak Slamet.

Dua tahun berjalan, Pak Slamet memilih pindah ke rumahnya lagi. “Mahal kontraknya. Dulu tujuh setengah juta, terus minta naik jadi dua kali lipat,” ungkap Pak Slamet. Sekitar tahun 2012, Pak Slamet kembali menata warung bakminya. Pak Slamet memilih untuk berjualan di bagian depan rumahnya, sedangkan bagian dalam rumahnya bisa digunakan untuk makan lesehan.

Pak Slamet membangun ruangan kecil di bagian depan rumahnya sebagai tempat untuk memasak. Di ruangan kecil itulah terlihat anglo dan wajan yang digunakan untuk memasak. “Ini, beli dari orang yang jualan jus tapi sudah jeleh,” ungkap Pak Slamet menunjuk gerobak jus yang dialih fungsikan menjadi tempat menaruh sayuran dan bumbu masak. Sedangkan di sampingnya, digunakan untuk menaruh kursi-kursi dan meja yang dapat digunakan pembeli untuk menyantap makanan.

Resep dibagikan gratis

Pak Slamet tidak pernah pelit untuk berbagi ilmu. “Lupa persisnya kapan, tapi pernah ada orang Magelang minta diajari membuat sego godog,” ungkap Pak Slamet. Tidak tanggung-tanggung, orang Magelang itu juga meminta resep sego godog yang biasa dibuat oleh Pak Slamet. Dengan senang hati, Pak Slamet memberikan resepnya dan mengajari orang Magelang itu.

Begitu pula dengan beberapa penjual sego godog di Yogya ternyata berguru dari Pak Slamet. Bahkan, ada yang sampai berguru tiga bulan lamanya. “Datang saja, nanti saya ajari, saya beri resep, nggak apa-apa,” ungkap Pak Slamet. Ia meyakini meskipun mengajari dan membagi-bagikan resep, namun rasanya pasti akan beda, karena tangan yang digunakan untuk memasaknya pun beda.

Lagi pula, menurut Pak Slamet, banyaknya penjaja sego godog yang bermunculan hanya akan menambah saingan, bukan mengubah rezeki. Pak Slamet percaya rezekinya sudah diatur sama yang Maha Kuasa. 

Pembeli Sego Godog Pak Pethel lesehan di liar warung. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Setiap pagi, Pak Slamet sudah belanja di warung kelontong depan rumahnya. “Kalau di Pasar susah, nanti harus nawar segala macam,” ungkap Pak Slamet tertawa. Menurut Pak Slamet, di warung kelontong saja, ia sudah bisa mendapatkan bahan-bahan untuk berjualan.

“Ada bawang, brambang, lombok, timun, miri, semuanya lengkap,” ungkap Pak Slamet. Namun, Pak Slamet tidak asal membeli. Ia selalu memilih satu-satu bahan yang akan dibeli. Tidak boleh busuk atau pun cacat, karena akan mempengaruhi cita rasa dari masakannya. Demi kualitas bahan yang bagus, Pak Slamet tidak mempermasalahkan harga bahan baku yang lebih mahal dibandingkan harga pasaran.

Persiapan membuka Sego Godog Pak Pethel dimulai sejak pukul dua siang. “Mulai racik-racik bumbu, masak nasi,” ungkap Pak Slamet. Dalam sehari, Pak Slamet menanak lima sampai tujuh kilogram beras. Sego Godog Pak Pethel baru akan melayani pembeli pada pukul tujuh malam atau setelah isya.

Menurut Pak Slamet, selama tiga puluh enam tahun berjualan, belum pernah buka di siang hari. Menurutnya, membuka Sego Godog Pak Pethel di malam hari menjadi waktu yang pas, karena seluruh pekerjaan rumah sudah selesai. “Kalau siang kan masih harus cari makan ternak,” ungkap Pak Slamet tertawa.

Tidak perlu menunggu pembeli datang. Telepon genggam milik Bu Suratinem yang berbunyi sejak siang hari, menjadi tanda banyaknya pesanan yang masuk. “Biasanya, siang-siang sudah ada yang SMS, pesan untuk nanti malam disertai jamnya,” ungkap Bu Suratinem.

Bukan tanpa alasan, banyaknya SMS dan telepon yang masuk di telepon genggam Bu Suratinem lantaran Sego Godog Pak Pethel selalu antre pembeli. Selain itu, membuat sajian ini juga memerlukan waktu yang lama. “Satu jam cuma bisa jadi dua belas mangkok,” ungkap Pak Slamet. Jika dihitung dengan tiga anglo dan wajan yang saat ini tersedia untuk memasak, maka satu mangkok berkisar lima belas menit. “Mungkin di tempat lain bisa satu jam dapat dua puluh mangkok atau langsung banyak, tapi kalau saya nggak mantap,” ungkap Pak Slamet. Maka dari itu, Pak Slamet memilih untuk memasak satu-satu ditemani dengan suara radio yang mengalunkan tembang lawas. Harga satu porsi masakan ini adalah Rp13 ribu.

Pak Slamet menjelaskan bagaimana ia membuat sego godog. Pertama, ia akan memasukkan racikan bumbu dan membuat telur rebus. “Membuat telur ini dibilang paling susah, karena kalau salah masukannya bisa amis,” ungkap Pak Slamet. Telur rebus di Sego Godog Pak Pethel ini memang khas, bentuknya bulat rapi, tidak berceceran, dan kuning telurnya pun matang.

Setelah mendidih barulah masuk pada tahap kedua, yaitu memasukkan nasi dan sayuran. Selama menunggu nasi dan sayuran itu mendidih, Pak Slamet dibantu Bu Suratinem akan mengipasi tiga anglo agar baranya tetap menyala. Setelah mendidih lagi, barulah terakhir dimasukkan bihun.

Sebelum dituang pada mangkuk Pak Slamet akan mencicipi sego godog yang sudah dimasak terlebih dahulu. “Dulu pernah nggak dicicipi, dikomplain, ternyata lupa nggak dikasih garam,” ungkap Pak Slamet tertawa.

Porsi besar

Mangkuk yang digunakan Pak Slamet memang berukuran lebih besar dibanding mangkuk pada umumnya. Terdapat dua ukuran, satu digunakan jika pembeli tidak meminta tambahan, sedangkan yang lebih besar jika pembeli meminta ditambahkan kepala, ceker, atau rempela-ati.

Mangkuk keramik rupanya digunakan untuk menjaga agar makanan yang disajikan tetap hangat dari awal disajikan sampai habis. “Saya masih ingat, beli mangkuk ini satu lusin di Toko Progo,” ungkap Pak Slamet.

Dikenal memiliki porsi jumbo, Pak Slamet mengatakan sekarang ini sudah berkurang porsinya dibanding saat dulu masih di Jalan Bantul. “Tapi ya masih saja kadang ada yang tidak habis,” seloroh Bu Suratinem. Biasanya yang tidak habis adalah yang terbiasa makan dengan porsi kecil.

Pembeli bisa memesan setengah porsi nasi jika tidak yakin bisa menghabiskannya. “Nanti, yang setengahnya diganti dengan ayam. Harganya tetap sama,” ungkap Pak Slamet. Tidak jarang, ada pembeli yang saat diantarkan pesanannya ke meja langsung kaget dengan porsi yang disajikan, katanya banyak sekali.

Jika ada yang tidak habis, namun juga banyak yang berhasil menghabiskan Sego Godog Pak Pethel, bahkan sampai tambah. “Pernah ada cewek, ke sini, habis dua porsi, satu sego godog pakai kepala, satunya nasi goreng,” ungkap Bu Suratinem yang selalu mencatat lengkap pesanan pembeli, termasuk ciri-cirinya.  

Ada pula satu orang namun membeli nasi goreng, mie goreng, dan sego godog, semua habis. Namun, menurut Bu Suratinem, biasanya jika laki-laki datang berdua membeli tiga porsi.

Pak Slamet menyiapkan tiga anglo untuk memasak sego godog maupun menu lainnya. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

“Kalau anak kos, anak sekolah, anak kerja, pasti habis,” ungkap Pak Slamet. Menurutnya, sasaran Sego Godog Pak Pethel ini memang mahasiswa. Pasalnya, sering kali didapati mahasiswa dari UGM, UNY, dan ISI Yogya datang membeli sego godog bersama dosennya.

Pembeli Sego Godog Pak Pethel tidak hanya orang Yogya saja. “Kemarin itu ada orang Tuban, datang bersama istrinya yang lagi hamil ngidam sego godog di sini. Anaknya dua, ngidamnya selalu di sini,” ungkap Pak Slamet. 

Ia juga mengatakan, sebelum pandemi Covid-19 kemarin, ada artis yang datang untuk mencicipi Nasi Godog Pak Pethel yaitu Agus Ringgo beserta keluarganya. Menurut pembeli di Sego Godog Pak Pethel, bumbu dari sego godognya memang terasa rempah-rempahnya.

Meskipun demikian, kadang-kadang ada pembeli yang merasa jengkel karena harus menunggu terlalu lama, bahkan bisa sampai dua jam. “Sebelum Covid-19 kemarin bisa habis delapan puluh sampai sembilan puluh piring, sekarang ya hanya sekitar enam puluh piring,” ungkap Pak Slamet.

Tak ada minuman dingin

Ciri khas dari warung Sego Godog Pak Pethel ini tidak menjual minuman dingin. Saya sempat mengira, di sekitar warung Pak Pethel tidak ada warung yang menyediakan es batu. Namun, dugaan saya salah. “Ngawur, ya banyak di sini yang jualan es batu, tapi memang warung ini nggak pernah jual minuman pakai es batu,” ungkap Pak Pethel tertawa.

Menurutnya, perpaduan sego godog yang panas dengan minuman dingin akan membuat gigi cepat rusak. “Ada juga, orang Jawa zaman dahulu bilang kalau panas sama dingin nggak boleh disatukan, marakke anyang-anyangen,” ungkap Bu Suratinem.

Selain itu, ciri khas lain dari Sego Godog Pak Pethel adalah semua minuman menggunakan gula batu. Saya sempat kaget ketika jeruk panas yang datang di hadapan saya ternyata juga menggunakan gula batu. Rupanya, Pak Slamet memang tidak pernah membeli gula pasir.  “Kopi saja pakai gula batu,” seloroh Bu Suratinem.

Teh di warung Pak Pethel dibuat dengan spesial.  Teh dibuat satu-satu. Selain itu untuk memasak teh, Bu Suratinem memilih menggunakan anglo. “Kata pecinta teh, rasanya jadi lebih enak, nasgitel (red : panas, legi, tur kentel)” ungkap Bu Suratinem.

Agar tidak ada pesanan yang tertukar, Bu Suratinem rajin mencatat pesanan dari pembeli. “Ini bukunya,” ujar Bu Suratinem menunjukkan buku kecil penuh tulisan. Bahkan, Bu Suratinem mencatat lengkap dengan tempat duduknya dan juga pakaian atau ciri-ciri pembeli, misal menggunakan topi warna merah atau menggunakan kaos lorek-lorek.

Duduk berhadapan dengan pembeli lain, membuat saya menyempatkan diri ngobrol ringan dengan mereka. Rudi (23), mahasiswa ISI Yogya asal Semarang yang datang bersama dua kawannya mengatakan ia pertama kali mencoba Sego Godog Pak Pethel ini saat masih menjadi mahasiswa semester satu karena diajak oleh temannya, sekitar tahun 2018. “Sudah biasa makan di sini, harganya murah, porsinya banyak,” ungkap Rudi tertawa. 

Awalnya Rudi bingung untuk memakan sego godog. “Aneh to, mosok nasi direbus, tapi kok enak, jadi ketagihan,” ungkap Rudi. Karena itu, Rudi jadi sering mempromosikan Sego Godog Pak Pethel ini ke teman-teman kuliahnya dan bahkan mengajak keluarganya untuk mencicipi ketika berkunjung ke Yogya, tiga bulan yang lalu.

Reporter : Brigitta Adelia Dewandari
Editor     : Agung Purwandono

BACA JUGA Gua Selarong, Balung Londo, dan Makam di Atas Bukit 
dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version