Skena musik Jogja seolah tak ada matinya. Komunitas dan konser tak pernah sunyi di kota ini. Pagebluk menghantam pun, generasi baru musik Jogja mencoba terus berbunyi.
***
Malam itu, Selasa (30/5/2023) saya bertemu dengan Aji Wibowo, vokalis band The Kick, di sebuah GOR di bilangan Caturtunggal. Kala itu, pria yang kerap disapa Jiwe ini sedang menonton pertandingan temannya yang mengikuti lomba badminton bertajuk Kretek Cup.
Pada hari itu Jiwe baru saja pulang dari sebuah konser di Bekasi. Sejak pandemi mulai mereda, Jiwe mengaku jadwal panggungnya semakin padat. “Pernah dalam satu hari itu ada dua panggung,” tutur Jiwe.
Meskipun cukup melelahkan, Jiwe mengaku senang menjalani itu semua. Barangkali, adrenalin yang menyusuri tubuh ketika menyanyi di atas panggung membuatnya lupa dengan rasa capek itu. Saya pun mengajaknya mengingat-ingat persinggungan pertamanya dengan musik Jogja.
Sejak SMP, Jiwe mengaku sudah sering menonton konser musik, utamanya festival. Dan setiap menonton konser musik kala itu, sebuah pertanyaan selalu menghantuinya. “Ada momen aku mikir, sudut pandang dari atas panggung melihat penonton tuh kayak bagaimana sih?”
Pertanyaan itu tak kunjung terjawab hingga 2016, ketika Jiwe dan beberapa temannya membentuk The Kick.
The Kick kala itu masih sering meng-cover lagu dari band lain, utamanya band-band punk rock yang mereka gemari seperti Ramones. Permainan musik The Kick terbilang ekspresif. Hingga akhirnya, menurut penuturan Jiwe, seorang kenalan berkata: “Sampai kapan cover terus? Orang daripada nonton The Kick mending nonton Ramones.”
Mereka pun menulis lagu pertamanya pada 2018 dengan modal nekat. Rilis bersama video klip. Lagu pertama itu berjudul “Tak Jelas”.
Begitulah The Kick memproduksi lagunya. Dari single ke single hingga menjadi album pada September 2020. Sayangnya, momen perilisan album bertajuk Suburban Terror tersebut bertepatan dengan pembatasan-pembatasan karena pandemi. “Ketika pandemi di Jogja, aku cuma berharap albumku bisa hibur orang-orang di rumah aja,” kata Jiwe.
Pandemi bikin antiklimaks
Tak hanya The Kick, pandemi mempengaruhi skena musik di Jogja secara menyeluruh. Terutama pada band generasi baru. Pandemi seolah membuat antiklimaks. Beberapa dari band baru tersebut adalah The Bunbury, Impromptu, Lor, Nood Kink, Liburan Dirumah, The Melting Minds dan lain-lain.
Dalam rentang waktu 2020 hingga 2021, band-band tersebut baru saja merilis album pertamanya. Tanpa konser dan lampu sorot panggung, mereka mendistribusikan musiknya bermodal media sosial dan platform digital.
Untungnya, band-band tersebut memanfaatkan platform paling “purba” dan mengakar di skena musik Jogja: komunitas. Ini terbukti ampuh.
The Kick, misalnya, sejak awal kelahirannya sudah kerap bermain dari satu gigs ke gigs lain, dari satu kolektif ke kolektif lain. Kelar manggung, menurut penuturan Jiwe, The Kick selalu mendapatkan pendengar baru. “Jadi tiap kami manggung, pasti ada sekitar 20 followers baru,” terang Jiwe.
Selain itu, kolektif-kolektif musik di Jogja, menurut Jiwe, telah mengajari The Kick banyak hal menyoal pendistribusian musik. Dari beberapa kolektif, misalnya, Jiwe akhirnya tahu bahwa press release merupakan bagian penting dalam penyebaran rilisan musik terbarunya. Lewat kolektif dan komunitas, Jiwe juga bisa kenal dan berkawan dengan media musik di Jogja.
Kompilasi ‘Fresh Meat’
Alhasil, tak adanya pagelaran musik tak meredam suara-suara pelaku musik Jogja tersebut. Usaha bahu membahu untuk terus membunyikan musik Jogja pun muncul.
Salah satunya datang dari Koloni Gigs, kolektif musik asal Jogja. Di tengah pandemi, mereka merilis album kompilasi dari generasi baru musik Jogja berjudul Fresh Meat.
Album tersebut memuat 14 nama: The Kick, The Bunbury, SMSTR10, Liburan Dirumah, Bias, The Melting Minds, Impromptu, Infinite Siennas, Nood Kink, Haszh, Lor, Circle Fox, Krans dan Stationary.
Kala saya wawancarai secara terpisah, Bayu mengaku perilisan Fresh Meat pada mulanya sekadar itikad untuk memetakan generasi baru musik Jogja.
“Karena menarik aja semakin sadar dengan band-band baru, banyak juga yang potensial. Sukanya di Jogja tuh selain bandnya bagus, mereka pengennya bikin lagu, bukan cover. Walaupun band baru, minimal mereka punya keinginan kuat buat rilis EP,” jelas Bayu pada Minggu (28/5/2023).
Dan perilisan album itu ternyata punya dampak. Ketika pandemi mulai mereda, The Kick akhirnya kembali manggung di Festival Hegemonia. Mereka mengalami momen ecstatic.
The Kick yang dulu hanya tampil di depan kenalan dan kawan, kini tampil di hadapan manusia yang menyemut di Lapangan Firdaus, Fakultas Filsafat UGM. Para penonton sing along ketika The Kick memainkan deretan lagu dari album Suburban Terror.
Tradisi komunitas
Media sosial dan layanan streaming musik memang menjadi platform ampuh dalam pendistribusian musik. Namun, ia bukan platform satu-satunya. Hal tersebut diungkapkan oleh Desta Wasesa, founder media Musik Jogja.
“Berapa juta artis sih yang bikin lagu? Berapa musisi yang ngeshare di platform digital? Terus berapa yang menjadikan media sosial sebagai kapal untuk menyebarkan? Nggak sedikit. Banyak! Semuanya tempur di situ. Tanpa komunitas, gimana coba?” tanya Desta ketika saya temui pada Jumat (2/6/2023) lalu.
Bagi Desta, berkomunitas merupakan platform yang tak kalah ampuh bagi band atau musisi Jogja dalam hal distribusi maupun produksi. Sebut saja, beberapa band tersohor seperti Sheila On 7 dan Jikustik yang menyatu di Alamanda Music Corner.
Tradisi berkomunitas juga lah yang menjadikan Jogja seolah laboratorium musik sejak tahun 90-an. Pada tahun-tahun itu, berbagai genre musik menjamur, mulai dari metal, hardcore, trash punk, ska, noise, hip hop, dan sebagainya. Di genre hip hop, Jogja memiliki G Tribe. Skena ska ada Shaggy Dog. Musik noise tak kalah bising dengan kehadiran Seek Six Sick.
Desta pun yakin, tradisi berkomunitas itu bahkan lahir sebelum tahun 90-an. Pasalnya, sejak tahun 70, Majalah Aktuil mencatat kelahiran grup yang menggunakan pendekatan eksperimental dalam produksi musiknya. Grup tersebut bernama Yogyaharmonik. Mereka membikin musik dari kaleng bekas, dipadupadankan dengan unsur gamelan.
“Pada waktu itu eksperimental memang lagi naik. Orde Baru ‘kan buka keran-keran pop barat, lalu kita bisa mengakses banyak media, salah satunya musik yang eksperimen,” jelas Desta. “Disebut (pendekatan) eksperimental karena mereka ngambil unsur dari banyak kotak. Eklektik.”
Tradisi berkomunitas itu pun masih berlanjut hingga dua dekade belakangan. Kendatipun, pandemi sedikit banyak mengubah tradisi tersebut. Komunitas-komunitas di Jogja bukannya berkurang. Hanya saja, pola komunikasi yang berubah akibat pandemi membuat persilangan antara komunitas semakin jarang terjadi.
“Kayak misal, dulu tuh banyak anak metal bisa nongkrong di komunitas jazz Mben Senen, bisa ikut di Jogja Blues Forum, ikut ngejam. Entah kenapa, selama setahun ini, aku jarang lihat itu loh. Entah pastinya kenapa, tapi itu pasti berkait erat dengan pola komunikasi,” tutur Desta.
Persilangan generasi
Persilangan antara komunitas, seperti kata Desta, barangkali memang mulai jarang terjadi. Namun, itikad untuk mempertemukan kembali berbagai pelaku musik terus hadir. Cherrypop Festival, misalnya, mencoba melakukan eksperimen via festival untuk mempertemukan band Jogja dari berbagai generasi.
Untuk band yang lahir pada akhir 1990-an, Cherrypop, menghadirkan DOM 65, Seek Six Sick, Majelis Lidah Berduri (dulu Melancholic Bitch-red), dan Bangkutaman. Cherrypop juga menghadirkan sederet generasi musik tahun 2000-an seperti Jenny dan Southern Beach Terror.
Ada pula generasi musik yang lahir pada tahun 2010-an: Rabu, Jono Terbakar, NDX AKA dan Grrrl Gang.
Pertemuan lintas generasi itu menyatakan Jogja sebagai kota dengan skena yang tak pernah mati. Bahkan generasi musik yang bertumbuh bersama pandemi juga turut hadir di Cherrypop.
Beberapa nama generasi baru itu, seperti yang telah disebut di atas, ialah: The Kick, The Bunbury, Impromptu, Lor, Nood Kink, dan Liburan Dirumah. Nama-nama tersebut juga muncul sebagai pengisi album kompilasi yang dibuat Koloni Gigs.
Bayu dari Koloni Gigs menyebut band-band baru itu punya potensi besar. Selain aktif berkomunitas, mereka juga memiliki materi musik yang kuat. Terbukti, beberapa dari mereka mendapatkan kesempatan untuk manggung di Cherrypop.
Sebelum Cherrypop pun, beberapa band yang termasuk dalam daftar Fresh Meat itu juga sempat mewarnai festival musik yang tak kalah besar. Sebut saja Bias, Circle Fox, Haszh, Circle Fox, dan SMSTR 10 yang bermain di JogjaROCKarta Festival.
Generasi baru musik itu seolah membuktikan: skena musik Jogja tak pernah mati.
Penulis: Sidratul Muntaha
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Menelusuri Perjalanan Gigs Mandiri sampai Festival Musik di Jogja
Cek berita dan artikel lainnya di Google News