Fenomena kenabian jadi hal yang dimunculkan dalam novel Tangan Kotor di Balik Layar (2024). Fenomena tersebut sekaligus menjadi gambaran bagaimana politik di Indonesia hari ini berjalan.
***
Politisi punya banyak cara buat meraih kekuasaan. Bisa dengan cara memperkuat akomodasi, melalui blusukan, atau minta restu ke tokoh yang dianggap punya pengaruh. Cara terakhir, dalam konteks politik Indonesia, adalah yang paling sering dipakai.
Namun, “tokoh berpengaruh” yang dimaksud tadi tak semata-mata orang yang tajir melintir, punya duit tak berseri. Misalnya pengusaha, miliarder, atau juragan.
Memang, sosok berduit tersebut tetap didekati para politisi jelang tahun politik. Tapi kebanyakan politisi di Indonesia lebih senang datang ke tokoh yang dianggap punya tuah, memiliki magis.
Meminjam teori sosiolog kondang Max Weber, Dosen Sastra Prancis UGM Ari Bagus Panuntun menyebut perilaku tersebut sebagai “fenomena kenabian”. Maksudnya, dalam sistem masyarakat yang masih percaya dengan nilai-nilai irasional, sosok nabi–atau setidaknya orang yang punya sifat kenabian–dianggap menjadi figur paling berperan dalam hal meraih kekuasaan.
“Orang-orang yang dianggap punya tuah, magis, seperti kyai, tokoh agama, dan sejenisnya, selalu menjadi ‘buruan’ politisi. Melalui tuahnya, mereka dianggap mampu memberi jalan kemenangan bagi politisi tersebut,” kata Bagus, saat membedah buku Puthut EA berjudul Tangan Kotor di Balik Layar (2024), di Warung Sastra, Karangwaru, Jogja, Jumat (10/5/2024).
Dalam acara bertajuk “Malam Buku” itu, Bagus menilai kalau fenomena kenabian memang masih menyelimuti realitas politik di Indonesia. Pesan inilah yang menurut Bagus ingin disampaikan Kepala Suku Mojok dalam karya terbarunya tersebut.
Pilpres 2024 penuh dengan fenomena kenabian
Buku Tangan Kotor di Balik Layar, yang dibedah oleh Bagus, menceritakan tentang jurnalis muda bernama Hammam yang ditugaskan meliput sebuah padepokan misterius. Padepokan yang dimiliki seorang tokoh bernama Mas Ikhsan itu, selalu ramai didatangi oleh politisi. Terutama oleh politisi yang sedang berebut kuasa di tahun politik.
Rumor beredar kalau Mas Ikhsan punya “sesuatu” yang bisa memberikan kekuasaan pada politisi yang datang. Misteri inilah yang pada akhirnya membawa Hammam ke dalam teka-teki misterius yang melibatkan penguasa dengan padepokan.
Melalui premis tersebut, Bagus menilai bahwa Puthut EA, sang penulis, berusaha menyelipkan fenomena kenabian dalam buku yang ditulis selama 21 hari itu. Misalnya, ini kelihatan dari tokoh seperti Mbah Carik, seorang politisi kondang yang selalu sowan ke Mas Ikhsan karena menganggap pemilik padepokan itu bisa memuluskan jalannya meraih kekuasaan.
Fenomena kenabian, seperti yang dilakukan tokoh bernama Mbah Carik, juga diamini oleh Dosen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar. Dalam kesempatan yang sama, lelaki yang akrab disapa Uceng ini bahkan menegaskan kalau fenomena kenabian dalam buku itu gamblang terlihat sepanjang Pilpres 2024 kemarin di Indonesia.
“Fenomena mendatangi tokoh-tokoh yang dianggap punya sifat kenabian, seperti dalam buku, menjadi hal yang jamak kita jumpai sepanjang pilpres kemarin,” kata Uceng.
“Misalnya, capres A datang ke kyai tertentu, sowan untuk meminta dukungan. Begitu juga dengan capres lain, tak mau kalah mendatangi kyai yang lain berharap tuahnya,” sambungnya.
Cara politisi gunakan sisi mistis buat memenangkan kontestasi
Lebih lanjut, Uceng menjelaskan bahwa dalam fenomena kenabian, orang-orang yang mencari kuasa umumnya melakukan dua hal. Pertama, ia akan “mendompleng” mistifikasi seseorang.
Artinya, kalau ada seseorang yang dianggap punya magis, orang-orang bakal datang kepadanya dengan berharap ketularan magisnya.
“Ini ‘kan kelihatan, misalnya, para kyai dianggap punya tuah. Makanya, para capres sampai rebutan siapa dekati kyai siapa karena mereka berharap ketularan magisnya. Mendompleng mistifikasinya,” jelas Uceng.
Sementara yang kedua, orang-orang biasanya bakal memproduksi mistifikasi. Maksunya, orang akan menebar cerita tentang sisi magis seorang politisi sehingga para pemilih yakin bahwa tokoh tadi layak buat dijadikan pemimpin.
“Dalam kisah raja-raja Jawa, mistifikasi diproduksi melalui penggambaran bahwa seorang pemimpin biasanya meraih kekuasaannya melalui hal-hal mistis dan tak masuk akal,” ungkapnya.
“Bahkan, sepanjang Orde Baru pun kita dikasih unjuk bagaimana mistifikasi diproduksi melalui mitos-mitos kesaktian Suharto sehingga dapat meraih kekuasaannya dan bertahan 30 tahun lebih. Fenomena kenabian bekerja selama Orde Baru.”
Pada akhirnya, Uceng sampai pada kesimpulan bahwa di balik kekuasaan terdapat lapisan-lapisan yang tak terungkap. Di balik keberhasilan para politisi meraih kuasa, masih ada orang-orang di belakang layar yang punya andil tak kecil.
“Buku ‘Tangan Kotor di Balik Layar’ ini seolah ingin menyampaikan, bahwa apa yang dikatakan media soal kekuasaan kita, soal politik kita, ternyata masih ada lapisan-lapisan lain di belakangnya. Ada tangan-tangan lain yang lebih punya kuasa.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News