Satu Kata yang Jadi Penanda Warung Soto Enak di Yogya

Satu Kata yang Jadi Penanda Warung Soto Enak di Yogya

Plakat keterangan jam buka Soto Kadipiro.

Warung soto di Yogya tidak menggunakan kata “tutup” saat selesai berjualan, justru menggunakan kata “habis”. Jika dilihat secara ilmu semiotika, ada tanda atau kode tersembunyi dari salah satu usaha kuliner paling populer di kota ini. 

***

Saya datang ke Warung Soto Pak Slamet di Mejing Kidul, Ambarketawang, Gamping, Sleman sekitar pukul 14.00. Suasana sudah sepi. Hanya ada dua meja yang terisi. Satu meja diisi tiga orang yang sepertinya mereka satu keluarga, mungkin memilih hari Minggu sebagai waktu untuk makan bersama.

Satu meja di bagian pojok diisi dua orang pria paruh baya yang tengah ngobrol. Saya bertanya ke salah seorang pelayan, kapan Soto Pak Slamet berdiri. Pertanyaan tidak sempat dijawab pelayan, justru oleh pria paruh baya berkemeja kotak-kotak di pojokan yang sebelumnya tengah ngobrol. “Tahun 1982!”

Pelayan yang masih belum beranjak pergi dari hadapan saya kemudian mengatakan kalau bapak yang bersuara itu adalah Pak Slamet (62), pemilik Warung Soto Pak Slamet. Usai memesan soto tanpa nasi, saya bertanya ke Pak Slamet tentang sejarah soto yang tak jauh dari rel kereta api ini. 

“Yang mendirikan bapak saya, dulu namanya Soto Karya Manunggal karena nunut tempat di pabrik. Terus pindah di sebelah utara rel kereta. Biar lebih komersial dinamakan Soto Pak Slamet, karena bapak saya namanya Pak Slamet,” katanya. 

Sambil menuang kecap Sarico, saya bertanya, jadi nama asli sosok di depan saya siapa kalau nama soto itu berasal dari nama bapaknya. “Nama saya juga Slamet, bapak mertua saya juga namanya Pak Slamet,” kata pemilik nama lengkap Slamet Wibowo ini menjelaskan. 

Melihat suasana sudah sepi, saya bertanya, apakah Soto Pak Slamet ikut aliran soto-soto di Yogyakarta yang memasang penanda bertuliskan kata “habis” setiap kali akan mengakhiri hari jualannya. “Jelas, belum dipasang karena masih ada tamu,” katanya melirik satu keluarga yang sedang menikmati soto. 

Pak Slamet di depan warung sotonya dengan plakat tulisan “habis”. Foto Agung P./Mojok.co.

Menurut Pak Slamet, kata “habis” sudah ada sejak zaman bapaknya. Apakah ada makna kenapa menggunakan kata “habis” bukan menggunakan kata “tutup”. ”Wong Jogja kalau cen habis ya habis. Kalau ‘tutup’ itu digunakan kalau hari libur. Misalnya tutup sehari, dua hari,” katanya. 

Pak Slamet mengajak saya ke ruang belakang dan menunjukan satu tulisan. Saya memintanya untuk bergaya di pintu masuk. “Pasti habis, cuma kalau PPKM sekarang ya waktunya molor, biasanya jam 2 sudah habis, ini paling jam setengah tiga,” katanya.

Pemilihan kata “habis” menurut Pak Slamet sudah umum digunakan oleh warung soto di Jogja. Entah di daerah lain. “Kalau sotonya habis kan artinya enak, Mas,” katanya.

Sebelum ke Warung Soto Pak Slamet saya terlebih dulu ke Warung Soto Pak Sholeh, Tegalrejo. Ternyata tulisan “soto habis” sudah menempel di pohon depan warung itu. Di hari yang sama, saya juga datang ke Soto Pak Marto Tamansari. Pintu tertutup tanpa ada tanda-tanda kalau warung soto itu buka. Saya bertanya ke tukang becak yang mangkal di depan warung. “Sudah habis, Mas. Karyawannya lupa masang tulisannya,” katanya ketika saya tanya kenapa tidak ada tulisan “habis” seperti biasanya.

Saya tidak lapar sebenarnya, malah bisa dibilang kenyang karena sebelumnya saya datang ke Soto Kadipiro Asli. Kata asli itu merujuk pada Soto Kadipiro di Jalan Wates No 33 Yogyakarta atau utara jalan yang menjadi pionir soto-soto lain yang menggunakan kata Kadipiro. Di Google Maps Anda bisa mengetikan Soto Kadipiro Asli untuk mencari tempat persisnya.

Setiap makan di warung Soto Kadipiro, duduk di depan meja yang digunakan meracik adalah pilihan. Selain karena mudah kalau mau tanduk, aroma kuah soto ayam yang dimasak dengan arang memberikan aroma yang sedap. 

Di bagian dinding sebelah utara, terpampang tulisan Soto Kadipiro tidak buka cabang, di Jakarta dan kota lainnya. Di bawah tulisan itu ada plakat “Buka jam 7.30 s/d sehabisnya”.

“Kemarin, mohon maaf kalau banyak yang kecelik, kami nggak ngira yang datang banyak. Jam 12 sudah habis,” kata Sri Sundari (63) salah satu pengelola Soto Kadipiro tertawa saat saya tanya, Minggu (22/8/2021). Soto Kadipiro saat PPKM yang biasanya habis pukul 14.00-an. Namun, di hari itu tiba-tiba banyak tamu yang datang yang membuat sotonya cepat habis. 

Sri Sundari mengatakan, tulisan Soto Habis itu sudah ada sejak zaman ayahnya. Ia tidak tahu persis apakah kata tersebut sudah dipakai di masa kakeknya. 

“Ya karena habis saja, Kenapa habis? Ya karena enak dan bahannya memang berkualitas, kami nyembelih sendiri, masak hari ini untuk dijual hari ini,” kata Sri Sundari. Menurut Sundari, kenapa tidak buka sampai sore padahal banyak orang-orang yang datang. 

“Ah nggak juga, kalau kami habis siang hari kan juga memberi kesempatan, orang-orang datang ke warung saudara-saudara saya,” kata Sri Sundari. Warung-warung soto lainnya yang menggunakan nama Kadipiro di sekitarnya masih merupakan kerabatnya. 

“Itu anak simbah juga, Paklik. Kalau di luar sekitar ini, itu milik anaknya Pak Lik,” kata Sri Sundari. Soto Kadipiro dirintis oleh Tahir Karto Wijoyo. “Kakek lahir sekitar tahun 1921, mulai jualan soto usia 28 tahun, ya anggap saja berdiri tahun 1928,” katanya.

Menurut Sundari, banyak pelanggan-pelanggan lama yang masih datang ke Soto Kadipiro. Bukan itu saja, karyawan-karyawannya juga banyak yang sudah bekerja sejak masa ayahnya. “Sudah kami anggap seperti keluarga, makanya sedih waktu suasana PPKM seperti kemarin, kami sempat libur 14 hari. Sementara karyawan kami ada 25 orang,” kata Sri Sundari. 

Yang membuatnya sedih karena karyawannya itu sudah dianggap seperti keluarga. Soto Kadipiro tidak beroperasi berarti tidak ada pendapatan untuk karyawan-karyawannya itu. “Kami tidak ingin mem-PHK. Mereka kan juga punya buntut (keluarga) kami minta pengertian mereka kalau gajinya seperti biasanya, mereka mengerti dan sekarang tamu sudah mulai ramai lagi” kata Sri Sundari. 

Salah satu karyawannya, Pak Sakiran (63) mengaku bekerja di Soto Kadipiro sejak usia 16 tahun. Pak Sakiran mengatakan tulisan Soto Habis di tempat itu sudah ada sejak zaman dirinya awal bekerja. 

Warung Soto Pak Sholeh, Tegalrejo. Foto Agung P/Mojok.co

Semiotika warung soto 

Saya menghubungi Dr. Sumbo Tinarbuko MSn, pemerhati budaya visual dan komunikasi publik serta Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta soal pesan-pesan tersembunyi dalam kata “habis” yang ada di warung-warung soto. 

Saya memanggilnya Pak Sumbo, kadang juga akrab dipanggil Pak Guru. “Kecenderungannya, bakul-bakul soto itu menggunakan kata “habis” karena itu adalah pilihan kata yang paling sopan,” kata Pak Sumbo yang menyebut dirinya sebagai ekstrimis kuliner agraris. Soto termasuk di dalamnya dan merupakan salah satu kuliner kegemaran keluarganya. 

Makna pertama adalah makna denotatif, yang artinya sotonya memang sudah habis. Makna kedua, soto  yang dijual bukan nget-ngetan. Soto dibuat hari itu dan dijual hari itu. Biasanya dijual pagi dan sebelum pukul 3 sore harus habis. Karena kepercayaan orang Jawa kan, kalau jam itu sudah berganti hari. 

“Makna ketiga, bakul soto itu menggunakan prinsip berjualan orang Jawa, tuna satak bathi sanak,” ujarnya. Secara arti, peribahasa itu jadi filosofi bakul soto bahwa, untung sedikit tidak apa-apa, yang penting bisa menjalin persaudaraan dengan pembelinya. 

Menurut Pak Sumbo, kalau bakul-bakul soto itu gaspol jualan soto, maka bukan lagi tuna satak, bathi sanak, tapi murni bisnis. Para bakul itu juga menganggap bahwa rezeki hari ini maka diambil hanya hari ini, jangan sampai justru menghabiskan jatah hari esok. Maka misalnya, saat mereka mulai jualan pukul 07.00 dan soto habis pukul 10.00, mereka tidak belanja lagi atau masak lagi untuk dijual hari itu.

“Warung soto itu juga punya makna sebagai patembayatan sosial, tempat berkumpul yang nirkapitalisasi. Memang mencari keuntungan tapi yang dikedepankan bathi sanak. Sanak itu bisa teman, sahabat. Itu pemahaman semiotiknya,” katanya. Baginya, soto ayam adalah jenis makanan agraris karena nyaman untuk reriungan, ayamnya menggunakan ayam Jawa atau ayam kampung, bukan broiler. 

Sebagai penanda visual, kata “habis” memang merujuk soto yang sudah habis. Kata “tutup” atau “libur” digunakan ketika memang warung-warung soto itu tidak jualan. “Biasanya mereka melengkapi dari tanggal sekian sampai sekian libur,” katanya. Rata-rata, menurut Pak Sumbo warung soto yang menggunakan kata “habis” adalah warung-warung soto yang menurutnya  enak. 

Penanda visual lain yang menunjukkan warung tersebut enak adalah banyaknya kalender. Itu artinya ada pelanggan-pelanggan ideologis, nek ra soto kui, ora. “Keluarga kami punya beberapa langganan soto, yang abari ya seperti Soto Sawah Yu Hadi dan Soto Kadipiro,” ujarnya. 

Jogja adalah mangkok soto

Menurut Pak Sumbo, di daerah lain yang ia tahu warung sotonya menggunakan penanda dengan kata “habis” ada di Solo. Ia pernah datang ke warung soto langganan Presiden Joko Widodo di Solo Baru dan memang menggunakan kata “habis” sebagai penanda kalau jualannya habis. “Kalau kota lain saya kurang tahu,” ujarnya. 

Kreasi dari Ahmad Noor Arif di instagram Rabo Soto tentang Jogja adalah mangkok soto

 

Kata “habis” juga jadi penanda kalau soto itu berkualitas dari sisi bahan, cara memasak hingga cita rasa. “Hubungan dengan karyawan juga rata-rata pemilik warung soto menganggap mereka dudu babu, tapi batih (keluarga),” kata Pak Sumbo. 

Owner Dagadu, Ahmad Noor Arief mengatakan, sebagai penggemar soto ia menginisiasi #Rabosoto karena melihat ada hal-hal unik dan menarik dalam dunia persotoan. Salah satu yang ia temukan memang soal kata “habis” sebagai lawan kata “buka” saat sebuah warung soto memulai jualan di hari itu. Menarik karena lawan kata “buka” seharusnya adalah kata “tutup”. “Saya belum mencari tahu secara khusus tentang makna itu, tapi lebih menyikapinya dengan senda gurau. Tapi, di baliknya ada optimisme bakul soto yang dagangannya pasti habis hari itu,” katanya. 

Penggunaan kata “tutup” memang secara konotasi diartikan warung itu tidak buka lagi. Makanya warung-warung soto hanya menggunakan kata “tutup” saat mereka libur jualan dan diberi keterangan yang jelas, tutupnya sampai kapan. 

Noor Arief tidak tahu persis apakah di daerah lain, warung soto juga menggunakan penanda “habis” saat habis terjual. Yang pasti, jika Yogya adalah miniatur Indonesia, maka Yogya yang sama adalah mangkok yang menampung berbagai jenis soto dari berbagai daerah di Indonesia. 

BACA JUGA Kenangan Kencan Pertama yang Tertinggal di Semangkok Es Krim RM Moerni 78 dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version