Sate Sapi Karang Pak Prapto: Langganan Presiden, 40 Tahun Jualan di Lapangan Karang

Warung Sate Sapi Karang Pak Prapto jadi warung sate paling terkenal di Kotagede, Yogyakarta. Nama ‘karang’ merujuk pada tempat dimana warung sate ini berada yakni Lapangan Karang. Sate ini sudah jadi langganan presiden dari era SBY sampai Jokowi.

***

Saya menatap langit sembari mengangkat tangan meraba hujan dan memastikan hujan deras tidak turun lagi. Namun, ketika hendak memacu motor lagi-lagi hujan deras mengguyur tanpa aba-aba. Saya terus berharap supaya intensitas hujan menurun. Sepertinya hujan malam ini tidak akan sepenuhnya reda.

Hari itu Selasa (25/1), pukul 20.10 WIB, dengan jas hujan yang tipis saya memacu motor dan menerobos hujan yang tidak terlalu deras menuju warung makan Sate Sapi Karang Pak Prapto. Syukur, warung belum tutup. Saya memesan seporsi sate dan dua lontong. Saya makan berdua dengan kekasih.

Bukan tanpa sebab, saya sengaja datang pada malam hari. Kedatangan kali ini adalah percobaan kedua, yang pertama saya tidak berhasil bertemu dengan sang pemilik. Biasanya pemilik warung akan datang pukul 20.00 WIB, begitulah yang disampaikan salah satu karyawan Sate Sapi Karang Pak Prapto. Malam ini kehadiran hujan membawa berkah, akhirnya saya bisa bertemu dan mengobrol dengan pemilik warung sate.

Sudah 50 tahun jualan sate

Selepas makan, saya terpaku pada sosok yang melayani pelanggan yang hendak membayar. “Terima kasih, Ibu. Semoga sehat selalu,” ucapnya pada pelanggan dengan nada ramah. Sosok itu adalah Tri Wahyono (37) pemilik warung sate, anak dari Pak Prapto. Beliau menyambut hangat tawaran saya untuk melakukan wawancara.

Mulailah kami berbincang ihwal sejarah Sate Sapi Karang Pak Prapto, menurut penuturan Tri Wahyono warung sate ini lahir pada akhir tahun 70-an. “Pada tahun 1978-1979, dalam kurun waktu tersebut bapak mulai berdagang sate, Mas,” ujarnya.

Namun dalam silsilah keluarga, Pak Prapto bukanlah yang pertama menjual sate sapi. Ia meneruskan usaha sang ayah yakni Mbah Karyo. Mbah Karyo berdagang sate pada masa sisa-sisa invasi jepang di Indonesia. Kisaran tahun 1948. Akan tetapi pada saat itu belum fokus jualan sate, sebab sebagai masyarakat lokal Kotagede, beliau juga berprofesi sebagai perajin perak.

“Simbah dan bapak dulu sempat menjadi perajin perak, tapi menyambi berdagang sate,” katanya.

Tri Wahyono saat ditemui Mojok di warungnya. (Nikma Al Kafi/Mojok.co)

Dahulu Pak Prapto menjajakan satenya dengan berkeliling menggunakan gerobak pikul, ia berkeliling di sekitar wilayah Kotagede. Menggunakan gerobak pikul agaknya memang lebih menguras tenaga, kemudian  pada saat itu Pak Prapto beralih menggunakan gerobak dorong, wilayah pasarannya juga masih sama di sekitar Kotagede.

Di tahun 1980, di daerah Karang, tepatnya di kawasan Taman Karang Jl. Nyi Pembayun, Prenggan, Kapanewon Kotagede, Yogyakarta. Pak Prapto mulai menjajakan sate sapinya dengan konsep kaki lima bongkar pasang. Saat itu Taman Karang merupakan lahan luas yang masih kosong. Baginya wilayah tersebut cukup strategis karena bisa dijangkau para pelanggannya di sekitar Kotagede. Warung sate inilah yang akhirnya bertahan hingga kini. Terhitung sudah 41 tahun berjualan di Lapangan Karang. Namun, jika dirunut lagi ke belakang, maka sate sapi Pak Prapto sudah 50 tahun lebih eksis berjualan sate.

“Kalau ada yang bertanya Pak Prapto di mana, beliau sudah berpulang tahun 2003,” kata lelaki yang disapa Tri tersebut.

Tri lantas berkisah saat masih kecil dirinya juga kerap membantu bapaknya berdagang. “Sepulang sekolah aku dulu sering membantu bapak, Mas. Tapi saat bapak wafat aku masih ganti-gantian jaga warung dengan 2 saudaraku yang lain. Saat kuliah aku juga nyambi jaga warung,” jelasnya.

Ia melanjutkan, setelah ayahnya tiada warung sate ini kemudian dikelola bersama dengan saudara-saudaranya. Namun, akhirnya saudaranya memilih bekerja sesuai dengan keinginan mereka sendiri. “Ada yang jadi PNS dan ada yang jadi Arsitek,” ucap Tri.

Tri tak ingat kapan ia memulai mengelola secara mandiri warung satenya. Karena menurutnya warung sate tersebut warisan keluarga turun-temurun yang harus dijaga bersama-sama. “Kalau aku juga bertekad meneruskan usaha warisan simbah sama bapak ini,” ucap beliau.

Tak ada resep rahasia

Suasana warung Sate Sapi Pak Prapto di malam hari. (Nikma Al Kafi/Mojok.co)

Rintik hujan yang jatuh menimpa terpal terdengar nyaring. Warung Sate Sapi Karang Pak Prapto sudah bersiap akan tutup. Waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Beberapa karyawan sibuk bekerja di bagiannya masing-masing. Ada yang memindahkan gerobak, mencuci piring, dan disusul ada yang menggulung terpal. Warung benar-benar akan tutup.

“Jujur tidak ada resep rahasia, Mas,” ucap Tri

Ia berkisah, selama ia menjaga warung makan tak sedikit media yang meliput secara langsung. Mulai dari tv swasta nasional hingga pakar kuliner Bondan Winarno. Pada saat itu ia menunjukan cara mengolah dan membuat bumbu sajian sate tersebut, tak ada yang dirahasiakan. Menurutnya, ia yakin bahwa bumbunya sama dengan sate pada umumnya.

“Tapi kalau urusan takaran dan penanganan mengolah makanan setiap orang pasti beda-beda ya,” ucap Tri. “Kalo ada yang mau tanya bumbunya monggo,” imbuhnya

Seperti halnya penyeduh kopi, antara tangan satu dan tangan penyeduh yang lain pasti memiliki keunikan dan kekhasan rasa masing-masing. Barangkali begitulah maksud dari cara penanganan dan takaran yang dijelaskan oleh Tri.  Bahkan Tri pun sampai bingung jika ditanya rasanya kok bisa khas banget, ia pun mengatakan bahwa inilah yang dimiliki warung Sate Sapi Karang Pak Prapto. Memang tidak ada resep rahasia, akan tetapi soal rasa yang unik dan khas memang sulit untuk ditiru dan diduplikasi.

Sate sapi langganan Presiden

“Kalau itu banyak, Mas,” jawab Tri setelah saya tanya siapa saja publik figur dan tokoh berpengaruh yang datang kemari. Bibir Tri merekah saat menjawab. Menurutnya kedatangan mereka ke warung sate murni untuk dahar alias makan. Memang tidak sedikit dari atlet, musisi, menteri, dll.

“Siapa saja, Pak, boleh disebut?” tanya saya.

“Atlet bulu tangkis, Mas, tapi saya lupa namanya. Menteri Pendidikan, tapi bukan yang sekarang. Seinget saya Bu Puan Maharani putri Bu Mega juga pernah. Untuk dari musisi itu Pas Band. Kalau yang sering itu Eros Candra Sheila On 7 bersama keluarganya. Kalau bar-baru ini Uya Kuya, Mas,” jawab Tri.

“Dari pelanggan-pelanggan itu yang paling berkesan siapa, Pak”?

“Presiden sih, Mas” ucapnya sambil terkekeh.

Tri menuturkan warung Sate Sapi Karang Pak Prapto sudah diundang ke Istana Negara di Yogyakarta sebanyak tiga kali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selanjutnya di era Jokowi sekali ia dipanggil ke Istana Negara di Yogyakarta. Selain itu ia juga mendapat tawaran sewaktu-waktu untuk datang ke istana negara Jakarta. “Tentu senang, Mas, diundang negara dan makanan olahan kami digemari presiden,” jelasnya.

Ciri khas Sate Sapi Pak Prapto

Seporsi sate sapi Pak Prapto ditemani lontong sayur dan teh hangat. (Nikma Al Kafi/Mojok.co)

Keberadaan sate sapi di Yogyakarta memang tidak sedikit, dan setiap warung tentu saja memiliki ciri khasnya masing-masing. Tri menjelaskan ciri khas rasa yang dimiliki warung satenya.  “Kalo yang ada di sini itu rasanya cenderung manis, Mas. Seperti halnya dengan kuliner Jogja yang identik manis,” jelasnya.

Kendati identik dengan rasa manis. Di warung Sate Sapi Karang Pak Prapto juga menyediakan cabai untuk menambah selera bagi yang menyukai pedas. Lebih dari itu yang menjadi kesan bagi pelanggan adalah tekstur daging sapi yang empuk.

“Yang kerap aku dengar dari kesan pelanggan soal sate di sisni itu empuknya,” ungkap Tri.

Kualitas daging yang segar dan empuk di warung Sate Karang Pak Prapto memang memberi sensasi makan yang nikmat. Menurut Tri, daging sapi yang digunakan merupakan daging kualitas pertama.

“Daging sapi lokal kualitas nomor satu, Mas,” ucapnya. Selain daging kualitas pertama, daging yang dipakai adalah daging has dalam, yaitu daging yang memang empuk.

Perbedaan yang sangat mencolok dibanding dengan warung sate yang lain yaitu di Sate Sapi Karang Pak Prapto penyajiannya menggunakan lontong sayur tempe. Konsep ini juga sudah ada sejak dulu. “Lontong sayur dengan kuah santan yang tipis, sehingga berbeda dengan opor,” terang beliau.

Sebagai orang yang pernah menikmati Sate Sapi Karang Pak Prapto, saya akan memberi testimoni: selain dagingnya tidak alot, bumbunya juga sangat meresap. Dalam satu tusuknya terdiri 4-5 potong daging yang diiris pipih dan memanjang. Rasanya cocok di lidah saya. Memakan sate dengan lontong sayur merupakan pengalaman baru bagi saya. Ya, rasanya memang nikmat dan segar. Warung Sate Karang Pak Prapto buka pukul 17.00-21.00 WIB. Seporsi sate beserta lontong sayurnya seharga Rp36.000.

Selama saya berada di warung sate, saya melirik keberadaan pelanggan-pelanggan yang lain. Saya mendatangi pelanggan yang telah usai makan, ia datang berkeluarga. Pak Amo (51) ia pelanggan lama dari warung Sate Sapi Pak Prapto. Ia berasal dari Aceh, menurutnya olahan sate di sini seperti dendeng, sehingga ketika ia memakan sate seakan ingat kampung halamannya. “Kebetulan jarang ada warung sate sapi di Jogja yang kusebut seperti dendeng, dan rasanya sangat cocok di lidahku,” ucap Pak Amo dengan nada mantap.

Reporter: Nikma Al Kafi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Menikmati Mie Ongklok Longkrang, Mie Ongklok Tertua di Wonosobo dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version