Mojok berbincang dengan sejumlah mahasiswa Jogja untuk mengetahui berapa uang ngopi mereka di coffee shop. Ternyata, banyak di antara mereka yang menggelontorkan dana lebih dari uang untuk makan harian. Bahkan lebih banyak ketimbang biaya sewa kamar kos sebulan.
***
Daus (25) hampir setiap hari membeli satu sampai dua cup kopi di beberapa jenama minimarket sampai coffee shop di Jogja. Ngopi buatnya memang sudah jadi kebutuhan harian.
“Bahkan primer. Aku kalau bangun tidur terus mepet jadwal kuliah ya beli kopi dulu ketimbang sarapan,” katanya.
Ke coffee shop untuk ngopi, nugas, dan nongkrong
Setidaknya ada tiga fungsi kopi baginya, pertama untuk sekadar pemenuhan kebutuhan konsumsi, kedua sebagai pendamping mengerjakan tugas kuliah dan skripsi, dan terakhir untuk menemani nongkrong bersama teman. Jika sekadar ingin minum kopi, ia biasanya mampir ke coffee shop di jejaring minimarket seperti Indomaret dan Alfamart.
Sementara jika ingin nugas dan nongkrong, tentu lari ke coffesehop. Jogja memang wilayah dengan pertumbuhan kedai kopi yang begitu pesat. Ada begitu banyak pilihan yang memanjakan kebutuhan ngopi dan nongkrong orang yang tinggal di daerah ini.
Pada 2022 lalu, Komunitas Kopi Nusantara mencatat, sebelum pandemi jumlah kedai kopi di Jogja mencapai lebih dari 1.700 kedai kopi. Selama pandemi, jumlahnya justru meningkat hingga 3.000 lebih kedai dan warung kopi.
Tak main-main, perputaran uang dalam bisnis perkopian di Yogyakarta bisa mencapai lebih dari Rp360 Miliar per tahun. Uang ngopi Daus setiap bulan adalah penyumbang kecil dari perputaran uang di dunia perkopian Jogja.
“Kalau dihitung-hitung aku beli kopi ya setiap hari. Rata-rata 3-4 kali dalam seminggu ke coffee shop dan sisanya beli di Point Coffee Indomaret atau Bean Spot Alfamart,” katanya.
Mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja ini mengaku, sekali nongkrong di coffee shop habis Rp30-50 ribu. Sedangkan jika beli di Indomaret dan Alfamart, biasanya habis Rp20-30 ribu.
“Ambil aja sehari keluar Rp30 ribu. Seminggu habis Rp210 ribu. Lumayan juga ternyata,” begitu ujarnya, sambil mengernyitkan dahi menyadari bahwa pengeluarannya untuk urusan ini cukup besar.
Uang ngopi di coffee shop lebih tinggi dari makan dan sewa kos
Daus memang suka nongkrong. Bahkan meski ketika sudah ngopi lebih dari dua kali dalam sehari, ketika ada teman yang mengajak ke coffee shop masih ia tandangi.
Ia punya kriteria untuk tempat nongkrong, konsepnya semi outdoor dan terdapat area merokok yang memadahi. Supaya nyaman buatnya sebagai perokok dan tidak mengganggu kenyamanan orang yang tidak merokok.
Salah satu coffee shop langganannya adalah Lestari Corner Coffee di bilangan Maguwoharjo, Sleman. Menu kopi di sana berkisar antara Rp15-33 ribu. Selain memenuhi kriteria tadi, tempat ini juga bukan 24 jam. Belakangan Daus memanfaatkan waktu malam hingga dini hari untuk ngebut mengerjakan skripsi.
Untuk urusan makan, ia mengaku rata-rata menghabiskan uang tidak sampai Rp20 ribu untuk sekali santapan. Ia rutin makan di warmindo, warteg, warung prasmanan, hingga penyetan pinggir jalan. Sehari, maksimal ia makan dua kali.
“Sering sekali juga. Jadi bisa dibilang pengeluaran ke coffee shop itu lebih dari uang makan harian,” terangnya.
Lebih tinggi dari uang kos bulanan
Selain itu, ternyata jika dihitung-hitung pengeluaran Daus ke coffee shop lebih banyak ketimbang ongkos sewa kos bulanan. Pasalnya, kamar kosnya hanya Rp450 ribu per bulan. Belum termasuk iuran WiFi Rp50 ribu.
Ia mengakui bahwa pola pengeluarannya terbilang agak tak lazim. Namun ini sudah menjadi kebiasaan yang sulit ia lepaskan selama tinggal di Jogja.
“Terlebih, aku dulu peminum alkohol yang cukup berat. Setahun ini sejak sering ngopi minum berkurang drastis,” curhatnya.
Hal serupa jika diakui oleh Fauzan (24) yang ke coffee shop tiga sampai lima kali sepekan. Mahasiswa semester akhir di sebuah perguruan tinggi swasta ini sudah bekerja sampingan sehingga memerlukan tempat yang nyaman untuk berlama-lama membuka laptop.
“Jadi aku ke coffee shop seringnya memang buka laptop. Jarang banget yang cuma nongkrong,” katanya.
Menurut Fauzan, uang ngopi sekali ke coffee shop, rata-rata Rp60-80 ribu. Kadang nominal itu sudah termasuk membeli camilan atau makan di tempat tersebut.
Namun jika ada hari ia ke coffee shop, namun ingin mengisi perut di luar, maka pengeluarannya untuk makan ia batasi. Hanya Rp15-25 ribu untuk sekali atau dua kali makan. Ada subtitusi yang ia lakukan agar perputaran kas tetap aman. Kalau sedang tidak ke coffee shop jumlah pengeluaran itu bisa dua kali lipat.
Ngopi sudah jadi kebutuhan penting
Bagi Fauzan, keberadaan coffee shop telah menjelma menjadi hal yang penting. Ia mengaku sulit untuk bekerja atau mengerjakan tugas di kamar kosnya.
“Aku sering penat kalau di kamar jadi butuh suasana baru. Kerja di luar rumah sudah jadi bagian dariku,” terang Fauzan yang bekerja di bidang kreatif ini.
Urusan pemilihan tempat ia juga punya kriteria spesifik. Masalah tempat duduk misalnya, kursi ideal baginya yang tidak terlalu rendah sehingga kakinya nyaman. Posisi meja dan kursi juga proporsional. Tinggi meja ideal menurutnya sekitar 70 centimeter.
Selain itu, keberadaan colokan juga penting. Jika perkara-perkara itu sudah terpenuhi, baru ia memikirkan tingkat keramaian kafenya. Keramaian kerja dengan orang nongkrong baginya sangat berbeda.
“Aku jadinya prefer milih yang memang konsep coworking space. Misalnya seperti Kolektif dan Kronika,” katanya.
Senada, Wildan (19) juga mengaku menjadikan coffee shop sebagai andalan untuk melakukan beragam aktivitas. Mulai dari berkumpul dengan teman sampai mengerjakan tugas. Seperti Fauzan, Wildan juga mengaku tipikal orang yang sulit mengerjakan tugas di kamarnya.
Mahasiswa UNY ini mengaku bisa 7-10 kali ke kafe dalam sepekan jika beban tugas kuliah sedang banyak. Setiap kunjungan, ia biasanya menghabiskan Rp15-25 ribu. Ia membatasi hanya untuk membeli minuman saja.
Siasat hemat
Meski tren semakin masif, kebiasaan lebih dari tiga kali dalam sepekan mengunjungi coffee shop tentu tidak dilakukan oleh semua kalangan mahasiswa. Ada sebagian yang benar-benar melakukan perhitungan detail soal uang ngopi di kafe.
Salah satunya Siska (22), mahasiswa UTY ini mengaku sangat jarang ke kafe untuk nongkrong. Jika mengerjakan tugas pun, terbatas pada tugas kelompok yang melibatkan banyak orang sehingga perlu tempat berkumpul.
“Pokoknya ke kafe harus jelas tujuannya. Antara nugas, skripsian, atau ada kerjaan sampingan. Kalau nggak ya di kos saja,” katanya.
Saat ke kafe, ia juga biasanya sangat memperhatikan menu yang dipesan. Ia kerap memesan menu non coffee lantaran menurutnya harganya lebih murah.
Ia mengaku, uang saku bulanannya tidak mencukupi jika rutin ke kedai kopi. Ia dapat jatah Rp1,1 juta per bulan untuk hampir segala kebutuhan selain menyewa kamar kos. Sehingga, pergi ke coffee shop pun perlu pertimbangan yang matang.
Pesatnya pertumbuhan coffee shop di Jogja sebenarnya memberikan banyak pilihan. Ada kedai-kedai kopi yang menawarkan harga terjangkau seperti Basa-Basi Kopi, Mato Kopi, hingga Bento Kopi dengan tempat luas dan harga minuman di bawah Rp20 ribu.
Namun umumnya, kedai kopi dengan konsep modern dan coworking space di Jogja membanderol harga minuman rata-rata Rp20-35 ribu. Biasanya didukung dengan tempat nyaman berpendingin ruangan dan koneksi internet yang cepat.
Hal yang jelas, mahasiswa merupakan salah satu motor penggerak perputaran uang pada bisnis-bisnis kedai kopi di Jogja. Pada 2021 lalu BPS mencatat jumlah mahasiswa di Jogja mencapai 400 ribu orang. Jumlah yang sangat mungkin menggerakkan ribuan kedai kopi untuk terus bertahan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Coffee Shop di Jogja, Benarkah Jadi Ruang Pamer Fashion yang Mengintimidasi?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News