Jika kamu datang ke Purwokerto dan berkunjung ke satu-satunya supermal di kota ini, cobalah menyeberang dan berdiri di depan gedung BNI. Dari sana, kamu akan melihat sebuah bangunan warung makan bernuansa merah cerah yang tampak kurang menyatu dengan background berupa gedung mal terbesar di Kota Purwokerto itu. Namanya Rumah Makan Padang Sabananyo.
***
Cuaca Purwokerto siang itu mendung. Ramalan cuaca memprediksi seharian penuh akan terjadi hujan. Suasana kedai lengang. Ernita sedang membereskan sesuatu di meja, seorang lelaki paruh baya bolak-balik ke dapur, seorang nenek-nenek memasak, dan seorang lelaki muda duduk di meja pojok menghadap laptop.
Telinganya disumpal headset. Belakangan saya tahu bahwa lelaki paruh baya itu adalah adik Ernita, nenek yang sedang memasak itu adalah ibunya, dan lelaki muda di depan laptop adalah anak bungsunya.
RM Sabananyo, pernah jaya di Pantura
Ernita Munar (56) tidak ingat persis tahun berapa RM Sabananyo ini dibangun. Yang ia ingat, kedai ini dibangun sebelum ia menikah, karena merupakan usaha almarhum suaminya. Ia menikah pada tahun 1982. Sebelum menempati lokasi yang sekarang, rumah makan ini berdiri di dekat Jembatan Kali Kranji, kira-kira 300 meter dari lokasi yang sekarang, berdekatan dengan SMPN 1 Purwokerto. Setelah menikah, barulah mereka memindahkan rumah makan itu ke lokasi yang sekarang.
Pada masa itu, di belakang RM Padang Sabananyo berdiri Bioskop Garuda, salah satu rujukan remaja dan dewasa Purwokerto untuk menonton film kala itu. Sekitarnya masih berupa perkampungan. Secara administratif, tempat itu masuk wilayah Pereng, Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Permukiman Pereng sudah cukup padat kala itu. Karena terletak di seberang alun-alun dan dikelilingi wilayah perkantoran serta sekolah-sekolah, lokasi ini memang sangat strategis untuk berdagang. Perhitungan ini tidak lepas dari kejelian mata Ernita dan suaminya.
Ernita bisa memasak karena neneknya punya restoran. Sementara itu, suaminya telah merantau beberapa tahun di Australia, diawali dari liburan yang kemudian berlanjut menjadi pekerjaan—juga di industri FnB—kemudian pulang ke Indonesia setelah mengumpulkan cukup modal untuk membuka kedai sendiri. “Kebetulan ada keluarga di sana (Australia),” kata Ernita.
Setelah pulang ke Indonesia, sang suami mencoba membuka usaha rumah makan. Setelah mencari tempat ke sana ke mari, termasuk sampai ke Cilacap, pilihan mereka jatuh ke tempat yang sekarang, karena ada saudara di Purwokerto. Mereka tidak salah pilih. Sebab di kota yang terkenal karena mendoannya inilah semua kesuksesannya dimulai.
Pada masa kejayaannya, RM Padang Sabananyo ini memiliki empat cabang di Jalur Pantura, tepatnya di jalur Tegal – Pemalang. Ernita dengan bangga mengisahkan bahwa ‘peak season’ untuk kedainya yang berada di Jalur Pantura itu biasanya terjadi pada waktu sebelum dan sesudah lebaran. Ada 15 hari termasuk hari-hari puncak arus mudik dan arus balik di mana pendapatan rumah makannya mencapai Rp10 juta/hari/kedai. Totalnya Rp40juta untuk empat kedai. Kalikan lima belas, cukup untuk membeli rumah minimalis di pinggiran Kota Yogyakarta sekarang. Padahal waktu itu baru tahun 2006.
Kejayaan itu berlangsung lama. Usaha rumah makannya berjalan lancar sampai kemudian ada pembangunan mal di kota ini. Saat itu suami Ernita masih hidup. Mereka memang tidak pernah berniat menjual rumah makan tersebut. Ernita menyebut, usaha itu adalah passion-nya bersama suami. Selain itu, lokasinya juga sangat strategis sehingga sayang untuk dilepas. Namun, sebagai seorang ibu, pertimbangan Ernita bukan semata pada letak strategis dari kacamata bisnis. Ernita juga mempertimbangkan lokasi sekolah anak-anaknya yang dekat dari rumah makan sekaligus rumah tinggalnya itu.
“Saya kan kebetulan anak-anak sekolah dekat, ada yang di SMAN 1 Purwokerto, (anak) yang nomor 2 di TK Al-Irsyad. Kalau ibu-ibu, kan, gitu pikirannya. Beda sama laki-laki, ya. Pokoknya begitu. Rumah sakit dekat, pasar dekat. Intinya strategis, jadi nggak pernah terpikir untuk pindah ke tempat lain,” ungkap Erlina.
Bertahan dari bujukan
Tahun 2006, proses pembangunan mal dimulai dengan pembebasan lahan. Sedang peletakan batu dilakukan empat tahun setelahnya. Saat itu beredar selentingan rumor di masyarakat harga tawar dari pihak mal untuk menebus RM Padang Sabananyo antara Rp 10 – 30 miliar. Sungguh harga yang sangat fantastis bagi masyarakat dengan gaji UMR di bawah dua juta rupiah. Ketika saya tanyakan kebenarannya, Ernita bilang, “(Harga tawarnya) nggak sesuai. Kalau M-M-an (miliaran) ya pasti, karena lokasi ini memang pasarannya sudah M-M-an. Kurang lebih Rp 5 miliar mereka menawarnya. Di bawah (5M) itulah (Rita) menawarnya.”
Berdasarkan hitungan bisnis, angka tersebut tidak termasuk menguntungkan baginya. Ia sebenarnya berharap bisa membeli dua properti dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dari situ dengan uang hasil penjualan kedai miliknya—apabila benar-benar sampai dilepas.
Di lain waktu, pihak bank menaksir rumah makan dan rumah tinggal Ernita senilai 10 M jika dilepas untuk urusan utang piutang. Seorang pengusaha dari Semarang bahkan memperkirakan bangunan milik Ernita bernilai minimal 30 M.
“Karena saya nggak niat jual, ya suka-suka dong, gitu kan, kita menawarkannya Rp 20 M atau Rp 25 M. Kenapa begitu? Karena pernah ada seorang pengusaha asal Semarang mampir ke sini. Katanya, minimal Rp 30 M (untuk bangunan) ini baru bisa dilepas.”
Usaha keluarga itu mulai mengalami penurunan ketika suami Ernita meninggal dunia pada tahun 2010. Ernita dan keluarga berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kedai mereka yang ada di Pantura. Upaya itu berakhir pada tahun 2013, saat periode kontrak bangunan habis. Ernita tidak memperpanjang kontrak kedai-kedainya di Pantura.
Ia beralasan waktu itu anak-anaknya masih sekolah, ada yang masih duduk di bangku SMP dan SMA sehingga membutuhkan kehadiran orang tua di rumah. Karena suaminya telah tiada, ia merasa bertanggung jawab penuh untuk anak-anaknya, dan itu dilakukannya dengan cara berfokus di satu tempat, yakni RM Padang Sabananyo yang ada di Purwokerto ini.
“Kalau ibu harus ke sana ke sini seminggu sekali, waduh, anak-anak terbengkalai, dong,” kata Ernita.
Selama pembangunan supermal berlangsung, Ernita mengaku bahwa omzet kedainya menurun, karena bangunannya sempat tertutup oleh pagar proyek selama beberapa waktu. Karena bangunannya kecil jika dibandingkan luas keseluruhan proyek, maka waktu itu kedainya kurang terlihat dari jalan raya. Namun, semua itu kembali ketika mal itu mulai beroperasi pada tahun 2016. Omzetnya cukup untuk menyekolahkan anak-anak sampai sarjana, ungkap Ernita.
“Ketiga anak-anak saya sudah sarjana, cuma tinggal satu itu doang (menunjuk anak yang sedang menghadap laptop) yang masih SMA. Cuma mereka itu kebanggaan saya,” katanya, klasik, seperti kalimat hampir semua ibu di dunia.
Setelah suaminya meninggal, semakin banyak pihak yang gencar menawar kedainya untuk dijual ke mal tersebut. Ernita menduga, orang-orang yang menawar itu berpikir ia akan mudah goyah karena telah kehilangan pemimpin, dalam hal ini suaminya. “Saya nggak gitu. Saya terus pertahankan agar anak-anak bisa sekolah.”
Bertahan dari kerusakan bangunan
Selain persoalan tawar menawar, Ernita menghadapi permasalahan lain berkaitan dengan pembangunan mal di belakang kedainya. Selama periode pembangunan bertahun-tahun lamanya—kebisingan, debu, dan kerusakan telah menjadi teman akrab. Kerusakan separah apapun tidak pernah mendapatkan ganti rugi.
Sesekali, obrolan kami terhenti oleh ibu Ernita yang meminta Ernita menyicipi masakannya, juga kurir dan tamu rumah makan. Ibu Ernita, meskipun terlihat sudah sepuh, masih aktif memasak. Berjalannya cepat. Garis wajahnya meronakan kecantikan yang panjang usianya. Matanya belok dan berbinar, bibirnya tipis. Ia mengenakan setelan rok dan blus berwarna salem dan kethu untuk menutupi kepalanya. Sayang, saya lupa memotretnya.
Ernita lalu bercerita bahwa bangunan RM Sabananyo itu ternyata terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar berada satu tingkat dengan basemen mal, lantai 1 sebagai rumah makan, dan lantai 2 sebagai rumah tinggal. Ketika saya tanya mengapa Ernita tidak menuntut ganti rugi, kata dia, “Udah capek, Mbak. Nggak ada. Udah minta. Mungkin karena nggak ada pemimpinnya, ya. Ya, kalau perempuan kan dianggap sepele. Lagian seperti itu juga kan butuh dana, butuh kekuatan untuk bisa menggandeng orang-orang yang punya jabatan. Kan, negara kita kayak gitu. Kalau nggak ada uang ya nggak jalan, Mbak,” keluh Ernita dengan wajah tertekuk.
Salah satu dampak terbesar yang dirasakan adalah kerusakan di lantai dasar. Penanaman fondasi basemen mal mencapai 15 meter di dalam permukaan tanah. Wilayah serapan air yang sebelumnya merupakan rumah-rumah penduduk tertutup beton. Apabila hujan turun, meminjam kalimat Ernita—sudah seperti bak mandi, kondisi lantai dasarnya.
Beberapa harta bendanya yang berada di lantai dasar juga hilang saat proses pengeboran air tanah oleh pihak mal. Pengeboran itu mencapai kedalaman 200 m. Baru sampai kedalaman 120 m, air sudah keluar seperti air bah. Kejadiannya pukul delapan malam. Saat itu Ernita sekeluarga sedang menonton TV di lantai 1. Tahu-tahu air di lantai bawah sudah setinggi pusar, padahal mereka menggunakan lantai bawah untuk tidur dan bersantai. Ijazah-ijazah, foto-foto keluarga, kasur, perabotan: semua terendam. Sampai sekarang, lantai bawah tidak dapat dihuni kembali.
Tak hanya menolak rumah dan kedainya dibeli, Ernita juga menjadi satu-satunya orang yang tidak mau menandatangani IMB mal tersebut. Ia hanya akan mau menandatanganinya apabila mereka mau bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi selama proses pembangunan. Ia ingin rumahnya diperbaiki atau dibangun seperti semula dan semua itu harus tertuang di atas kertas. Hitam di atas putih.
“Jadi kalau ada gosip-gosip, yang katanya (rumah makan) ini ditawar sampai 10 M, bahkan ada yang bilang 25 M, itu bullshit, bohong,” kata Ernita, mengklarifikasi rumor yang dulu santer beredar, bahkan mungkin hingga kini tak banyak yang tahu kebenarannya.
“Buat ibu pribadi kan rumah ini betul-betul punya story ya. Story anak-anak, usaha ini, hidup dengan suami dulu. Jadi historinya banyak buat kita. Kesannya banyak,” lanjutnya.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya pada pemerintah daerah setempat, yang menurutnya tidak bisa melihat rakyatnya yang dizalimi. “Cuma janji-janji mulu,” kata dia.
Beberapa pejabat pemerintah mendatangi rumah makannya untuk survei dan bertanya mengapa masih bertahan, apakah tidak takut tinggal di rumah yang kemungkinan besar akan terdampak pembangunan gedung besar di belakangnya. Ernita sebenarnya takut, apalagi waktu itu ada peristiwa crane yang jatuh di Mekah sehingga siang malam ia khawatir akan terjadi sesuatu yang mirip, menimpa rumahnya.
Dalam beberapa kunjungan survei tersebut, Ernita sempat berkata kepada para pejabat pemerintahan,” Pak, mau sampai kapan bapak ke sini, saya capek jadi guide di rumah saya sendiri.” Menjadi guide yang dimaksud adalah menunjukkan titik-titik kerusakan rumah kepada orang-orang yang survei, berupa pejabat yang diikuti wartawan. Ia harus menghentikan kegiatan masak-memasaknya untuk meladeni mereka.
Memilih rumah jadi abu daripada menjualnya
Selain terancam karena rumahnya bisa saja runtuh sewaktu-waktu akibat terdampak pembangunan mal, Ernita juga mengalami rentetan kejadian yang membuatnya merasa tidak nyaman. Seminggu setelah anak keduanya wisuda pada 22 September 2010, lantai bawah rumahnya nyaris terbakar.
Waktu itu, Ernita akan menjemput anaknya di sekolah pukul tiga sore. Ia menitipkan kedai kepada ibunya. Karena ibunya sering keliru memberikan kembalian, Ernita berinisiatif memilah pecahan dan meninggalkan sedikit di bagian kasir. Sisanya ia simpan di kamarnya di lantai bawah yang saat itu kosong karena karyawan rumah makan berada di lantai 1 beserta sementara anak-anak masih di sekolah atau les.
Saat Ernita sedang pergi, ada pengunjung rumah makan yang kebetulan membutuhkan banyak kembalian. Ibu Ernita turun untuk mengambil kembalian di kamar.
Ketika hendak kembali ke lantai satu, barulah ia melihat gorden jendela yang sudah terbakar. Api sudah naik sekitar 70cm. Spontan, ia mengambil karpet, membasahinya di kamar mandi dan langsung melemparkannya ke jendela. Api padam. Polisi menemukan gulungan plastik yang berisi puntung rokok. Gulungan itu diduga dimasukkan melalui celah kusen jendela yang telah berlubang oleh gigitan tikus. Kecurigaan Ernita mengarah pada tukang-tukang yang berseliweran di situ, tapi ia tak pernah bisa membuktikannya dan polisi juga tidak mengusut siapa pelaku pembakaran.
Polisi hanya menawarkan penjagaan 24 jam selama satu minggu di RM Sabananyo yang juga jadi tempat huniannya. Jauh sebelum peristiwa itu terjadi, Ernita yang sering bangun dini hari sekitar pukul dua atau tiga kerap mendengar langkah-langkah kaki di tangga yang menuju ke lantai bawahnya. Dahulu, tangga ini merupakan pintu masuk ke rumah makan dari arah Jalan Jenderal Sudirman. Tangga itu hanya untuk akses keluarga, agar jika pulang dari bepergian tidak perlu melewati warung untuk masuk ke rumah. Sekarang, tangga itu sudah tidak ada, berganti jalan sempit yang berdempetan langsung dengan tembok mal.
Kepada keluarga Ernita, aparat desa mengatakan demi keamanan Ernita dan keluarganya, mereka membujuk agar mau melepaskan rumahnya. “Mungkin kalau rumah ini sudah hangus terbakar, mereka berpikir Ibu Ernita akan menyerah,” kata Ernita menirukan omongan aparat desa.
Namun, Ernita tetap teguh pada pendiriannya. “Kalau sampai rumah habis ini jadi abu, saya tetap tidak mau jual. Lebih baik saya jadikan kuburan keluarga,” katanya tegas. Saya merinding waktu mendengar kalimat ini.
Belum reda kecemasannya akibat kebakaran itu, kabar buruk kembali datang pada 12 Oktober 2010. Saat itu, suaminya sedang meninjau usahanya di Tegal. Suaminya tertabrak pengendara motor saat menyeberang. Menurut keterangan saksi mata, kronologinya bermula ketika suami Ernita pergi ke minimarket di seberang jalan. Saat menyeberang kembali ke rumah makan, sudah sampai di trotoar, tiba-tiba ada motor yang menabraknya.
Selepas kepergian suaminya, meskipun usahanya mengalami penurunan, Ernita melihat ada sesuatu yang berubah pada diri anaknya yang kedua dari yang sebelumnya ‘anak mami’ menjadi lebih dewasa.
Di balik kegigihannya mempertahankan tempat tinggal dan tempat ia mencari nafkah, Ernita merasa keberhasilannya untuk menetap di situ hingga hari ini adalah mukjizat dari Allah Swt. Rumahnya tetap kokoh ketika bangunan lain di sekitar mal mengalami retak dinding dan lantai terbelah.
“Setiap hari kita berdoa ajalah. Alhamdulillah sampai sekarang masih bisa bernyawa,” tutup Ernita, mengakhiri obrolan kami.
Di luar, langit mendung dan Gunung Slamet hilang tertutup awan. Saya pamit, bersiap kehujanan.
BACA JUGA Kisah Rumah yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja dan liputan Mojok lainnya.