Rujak Es Krim Pak Nardi, di kawasan Pakualaman, Yogyakarta menyimpan banyak cerita sejak berdiri di tahun 1970-an. Pernah jaya, namun juga pernah melewati masa harta hilang dalam sekejap.
***
Rujak es krim yang pertama di Yogya
Bu Ismirah (58) istri almarhum Pak Nardi bercerita bagaimana Rujak Es Krim Pak Nardi masih eksis meski hampir berusia setengah abad.
Bu Ismirah tidak ingat persis usianya saat menikah dengan Pak Nardi. Yang jelas saat itu ia masih sangat muda, usia belasan. Sedang Pak Nardi di awal usia 20-an. Orang tuanya sendiri sebenarnya tidak tahu persis ia lahir tahun berapa, hanya di KTP tertulis ia lahir tahun 1963. Setelah menikah itulah ia diajak Pak Nardi merantau ke Yogyakarta untuk jualan es podeng (es puding).
“Seingat saya itu sekitar tahun 1973-1975. Kami jualan es podeng,” kata Bu Ismirah, Kamis (23/12/2021). Waktu itu, ia dan suaminya mengontrak rumah tak jauh dari Pura Pakualaman.
Es podeng merupakan hidangan pencuci mulut dari Indonesia. Es podeng berisi es puter, roti, dan jenang mutiara. Tahun 1978, penjualan es podeng Pak Nardi menurun. Pak Nardi beranggapan es podeng miliknya tidak cukup menarik pembeli. Kebetulan, di rumahnya, Klaten, sedang panen mangga.
“Saya usul pada bapak untuk menambahkan buah mangga di es podeng,” ungkap Bu Ismirah.
Usul dari istrinya diterima oleh Pak Nardi. Muncul inovasi baru bernama rujak es krim. Rupanya, inovasi Pak Nardi ini diminati oleh warga sekitar Pakualaman. Rujak es krim berisi es puter dan buah-buahan meliputi mangga, kedondong, bengkuang, pepaya, dan timun, yang diberi bumbu rujak.
Saat pertama dijual, harganya masih sangat murah, tujuh puluh lima perak. Pak Nardi berjualan dengan berkeliling mendorong gerobak.
Menurut Bu Ismirah, Pak Nardi yang pertama berjualan rujak es krim di Yogya. Karena itu, di spanduk yang terpasang di depan warung rujak es krim, tertulis “Yang Pertama,”.
Pak Nardi memilih mangkal di bawah pohon Tanjung
Pada tahun 1980, Pak Nardi memutuskan untuk mangkal di bawah Pohon Tanjung, sebelah barat tembok Pura Pakualaman. “Capek kalau harus keliling menjajakan rujak es krim,” ungkap Bu Ismirah tertawa kecil. Menurut Ismirah, suaminya sudah memiliki pelanggan tetap. Karena itu, mangkal pun tidak apa-apa, karena pelanggan akan datang dengan sendirinya.
Jalan yang dipilih Pak Nardi sebagai tempat jualan rujak es krim cukup sepi dari lalu-lalang kendaraan bermotor sehingga pembeli leluasa untuk parkir. “Bapak pintar cari tempat yang strategis, dekat dengan STIE Kerjasama dan Akper Notokusumo,” ungkap Bu Ismirah. Rujak Es Krim Pak Nardi beralamatkan di Jalan Harjowinatan, Purwokinanti, Pakualaman, Kota Yogyakarta.
Berbekal terpal berwarna biru dan lima kursi bakso, Pak Nardi menjajakan rujak es krim. Pembelinya banyak dari mahasiswa STIE Kerjasama dan Akper Notokusumo. Biasanya, karena antrean yang panjang, pembeli akan meninggalkan uang dan kembali lagi lima sampai sepuluh menit kemudian untuk mengambil rujak es krim. Dalam sehari, Pak Nardi bisa menjual dua ratus porsi. “Nanti jam satu atau setengah dua sudah habis, karena bawanya terbatas,” ungkap Bu Ismirah.
Keberhasilan Rujak Es Krim Pak Nardi memang tidak terlepas dari peran Bu Ismirah. Bolak-balik Jogja-Klaten menjadi makanan sehari-hari Bu Ismirah. “Dulu kalau belanja masih di Pasar Beringharjo,” ungkap Bu Ismirah. Pasalnya, yang panen sendiri hanya mangga, sedangkan buah-buah lainnya harus membeli di pasar.
Setelah belanja, biasanya Bu Ismirah akan membantu Pak Nardi meracik rujak, mengupas lalu memarut buah, dan membuat bumbu rujak dari gula jawa. “Entek ra entek, ya mung semene,” ungkap Bu Ismirah mengulang kalimat yang diucapkan dulu ketika membawakan rujak es krim pada Pak Nardi untuk dijajakan.
Ketika Bu Ismirah hamil anak pertama pada tahun 1984, ia masih tetap membantu Pak Nardi berjualan rujak es krim. “Dulu, satu hari dapat lima ribu atau satu minggu dapat lima puluh ribu rupiah, sudah sugih banget,” ungkap Bu Ismirah tertawa.
Ada dua keunikan dari Rujak Es Krim Pak Nardi yang membedakan dengan rujak es krim lain. Pertama, rujak Es Krim Pak Nardi tidak menggunakan nanas. Menurut Bu Ismirah, sejak awal memang tidak menggunakan nanas. Pasalnya, pelanggan kurang suka nanas. “Akhirnya, pakai dua mangga, mangga mentah dan mangga mateng dicacah sebagai pengganti nanas,” ungkap Bu Ismirah.
Kedua, bumbu Rujak Es Krim Pak Nardi tidak menggunakan kacang. “Dulu pernah sebentar pakai kacang, tapi pelanggan tidak suka,” ungkap Bu Ismirah. Jika menggunakan kacang, pelanggan menilai bumbu rujak es krim menjadi ada tekstur kurang lembut ketika dimakan atau membuat gigi sakit. Karena itu, Bu Ismirah memilih kembali ke resep awal, yaitu tidak menggunakan kacang pada bumbu rujak es krim.
Selama ini, Bu Ismirah menekankan agar bumbu rujak terasa. Meskipun harga gula jawa mahal, Bu Ismirah lebih baik menaikkan harga rujak es krim dibanding menurunkan kualitasnya. “Yang penting murni dan asli, agar pelanggan suka,” ungkap Bu Ismirah.
Harta benda, ludes dalam sehari
Tahun 2000, menjadi masa kejayaan Rujak Es Krim Pak Nardi. “Saat itu anak ragil masih taman kanak-kanak,” ungkap Bu Ismirah. Ia mengatakan pelanggan datang tidak berhenti. Namun, masa jaya itu lenyap dalam sekejap enam tahun kemudian.
Gempa bumi pada 27 Mei 2006 yang berpusat di Bantul, membuat rumah Pak Nardi di Klaten luluh lantak. “Tersisa lantai saja,” ungkap Bu Ismirah dengan mata berkaca-kaca.
Semua yang dikumpulkan Pak Nardi selama lebih dari dua puluh lima tahun berjualan rujak es krim habis tidak bersisa. Pak Nardi tidak punya apa-apa lagi. “Bahkan saat mantu anak pertama hanya di rumah los, seperti kebon diberi pagar kain,” ungkap Bu Ismirah mengenang masa susahnya.
Beberapa bulan, Pak Nardi libur tidak berjualan rujak es krim. “Bapak takut. Tapi, saya suruh sedikit-sedikit untuk mulai lagi,” ungkap Bu Ismirah.
Keadaan membaik, Bu Ismirah mulai menata rumahnya di Klaten. Sudah menjadi kebiasaan Bu Ismirah ketika punya uang sisa akan diberikan pada anak-anaknya dalam bentuk perhiasan. Saat itu, Bu Ismirah mengumpulkan anting, gelang, kalung milik anak-anaknya.
“Saya tanya, pilih punya rumah atau perhiasan. Anak-anak pilih punya rumah,” ungkap Bu Ismirah. Dari sisa-sisa itu, Bu Ismirah membangun rumah sederhana dengan prinsip sing penting iso nggo ngeyup.
Bu Ismirah meneruskan rujak es krim
Kesehatan Pak Nardi menurun. Tahun 2010, Pak Nardi sakit stroke. Bu Ismirah mengambil alih berjualan rujak es krim. “Sampai sekarang ini sudah berjalan sebelas tahun,” ungkap Bu Ismirah.
Selama Pak Nardi sakit, Bu Ismirah membagi waktunya berjualan rujak es krim dan mengurus Pak Nardi. Bu Ismirah harus bolak-balik Jogja-Klaten. “Kalau saya di Jogja hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, nanti Minggu sore sudah balik Klaten,” ungkap Bu Ismirah. Anak-anaknya pun turun tangan membantu. Anak pertamanya membantu merawat Pak Nardi di Klaten. Sedangkan, anak kedua dan anak ragilnya membantu berjualan rujak es krim.
“Montang-manting merawat Pak Nardi,” ungkap Bu Ismirah dengan raut wajah sedih. Pak Nardi meninggal tahun 2020. Di tahun yang sama, usaha rujak es krim sedang menurun akibat Pandemi Covid-19. “Dua tahun yang lalu itu pindah di rumah ini,” ungkap Bu Ismirah menunjuk bawah Pohon Tanjung yang semula tempat berjualan Rujak Es Krim Pak Nardi. Kata Satpol PP sudah tidak boleh berjualan di pinggir tembok Pura Pakualaman.
“Bisa pindah karena kebaikan hati Ndoro yang punya rumah ini. Sekarang sudah jadi milik sendiri,” ungkap Bu Ismirah. Pembeli Rujak Es Krim Pak Nardi tidak bisa makan di tempat. Pembeli hanya bisa membawa pulang rujak es krim. Bersyukur, tiga bulan belakangan ini mulai membaik. Sejak vaksin Covid-19 menjadi syarat untuk bepergian, wisatawan mulai masuk ke Jogja.
“Mulai rame, ada yang dua tahun belum ke Jogja, sekarang mampir. Kemarin juga ada pesanan dari hotel lima puluh porsi,” ungkap Bu Ismirah tersenyum.
Es krim dibuat manual untuk mempertahankan rasa
Pembuatan es puter Rujak Es Krim Pak Nardi masih manual menggunakan tangan. Demi membuat es puter, Bu Ismirah rela bangun pagi. “Subuh sudah keceh es,” ucap Bu Ismirah tertawa.
Bahan yang diperlukan untuk membuat es puter antara lain gula pasir, maizena, dan santan. Tiga bahan itu dijadikan jenang. “Kalau di luar alat nanti pakai es batu, tapi kalau di dalam pakai air matang, supaya higienis,” ungkap Bu Ismirah. Setelah itu, barulah alat diputar menggunakan tangan kurang lebih selama satu jam.
Es puter berbeda dengan es krim pabrikan. Pasalnya, es krim pabrikan yang ada di pasaran menggunakan susu. Meskipun memutar alat es puter itu berat, namun Bu Ismirah tidak mau mengganti es puter dengan es krim pabrikan. “Rasanya beda,” ungkap Bu Ismirah. Bahkan untuk mengganti menggunakan mesin listrik, Bu Ismirah masih memikirkan modal yang harus dikeluarkan dan mempertimbangkan kualitas agar rasa tidak berubah.
Bu Ismirah kerap menemui pelanggannya sejak tahun 1980. “Mereka bilang rasa Rujak Es Krim Pak Nardi tidak berubah,” ungkap Bu Ismirah. Ada rasa senang ketika pelanggannya puas dan mau kembali lagi untuk menikmati Rujak Es Krim Pak Nardi. Biasanya, pelanggan lama datang untuk nostalgia ketika bertempat tinggal di sekitar Pakualaman atau menempuh pendidikan di STIE Kerjasama dan Akper Notokusumo.
Rujak Es Krim Pak Nardi menjadi favorit bule maupun artis yang berkunjung ke Pakualaman. Bu Ismirah menyebut nama seperti, Butet Kartaredjasa dan Ryana Dea yang pernah mencicipi kesegaran Rujak Es Krim Pak Nardi.
Sekarang, di Pakualaman sudah banyak yang berjualan rujak es krim. Namun, Bu Ismirah tidak ambil pusing. Bu Ismirah yakin rezeki ada jalan masing-masing. “Semua itu modalnya sabar,” ungkap Bu Ismirah. Seperti saat masih berjualan di bawah pohon menggunakan terpal, Bu Ismirah merasakan ketika hujan, Rujak Es Krim Pak Nardi akan sepi pembeli. Namun, setelah pindah di warung kecil depannya, meskipun hujan, tetap ramai pembeli.
Anak bungsu Bu Ismirah sudah lima tahun belajar berjualan rujak es krim. “Kemarin setelah lulus kuliah, katanya pilih berjualan rujak es krim,” ungkap Bu Ismirah. Hal itu lantaran jika dikerjakan sendiri Bu Ismirah merasa tidak kuat, sudah tidak kuat.
Ia tidak terpikir membuka cabang. “Melatih orang susah karena berjualan rujak es krim rekoso, apalagi belum punya pelanggan,” ungkap Bu Ismirah. Ia pernah mencoba melatih saudaranya yang ada di Klaten untuk berjualan rujak es krim. Namun, saat modalnya habis, saudaranya berhenti usaha rujak es krim dan memilih usaha lain yang lebih mudah.
Lahirkan tiga sarjana dari jualan es krim
“Matur nuwun kalih sing Kuasa, diberikan kekuatan mendampingi anak bungsu meneruskan Rujak Es Krim Pak Nardi. Tahun depan rencana dibesarkan ruangannya,” ungkap Bu Ismirah. Rujak Es Krim Pak Nardi saat ini buka mulai pukul 09.00 WIB – 16.00 WIB. Harganya ramah di kantong, satu porsi hanya 8.000-, saja.
Dari Rujak Es Krim Pak Nardi, Ibu Ismirah bisa menyekolahkan tiga anaknya sampai sarjana. Bahkan, hasil rujak es krim Pak Nardi bisa digunakan untuk membantu menyekolahkan cucunya yang berjumlah empat orang. “Matur Nuwun Gusti, berjualan rujak es krim jadi punya tiga rumah dan bisa ditempati oleh anak-anak, sehingga saya tinggal menumpang,” ungkap Bu Ismirah yang memegang prinsip kesel ora digawa kesel.
Linda (30), penggemar Rujak Es Krim Pak Nardi yang kini tinggal di Surabaya mengaku sudah jadi pelanggan sejak berusia 10 tahun. Waktu kecil ia sering diajak oleh orang tuanya menikmati Rujak Es Krim Pak Nardi sepulang sekolah. Linda dan orang tuanya akan duduk di bawah tenda biru dan makan rujak es krim sambil mengobrol. Rumah Linda berada di sekitar Jalan Suryopranoto atau sekitar 700 meter dari Rujak Es Krim Pak Nardi.
Sudah tiga tahun Linda tidak berkunjung ke Jogja. “Hari ini disempatkan mampir Rujak Es Krim Pak Nardi untuk nostalgia,” ungkap Linda. Menurutnya, rasa Rujak Es Krim Pak Nardi tidak berubah. Sangat cocok bagi orang yang tidak suka terlalu manis seperti dirinya. Selain itu, jika kurang pedas, pembeli bisa menambahkan kuah rujak pedas dari wadah yang disediakan di atas meja.
“Kebetulan ini lagi ramai, tidak ada tempat duduk. Jadi, mau makan rujak es krimnya di mobil saja,” pungkas Linda tertawa sembari menunjuk mobil putihnya yang terparkir di bahu jalan.
BACA JUGA Fotografi Miniatur: Bonanza Memotret Objek Mini yang Hasilkan Cuan dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
Reporter : Brigitta Adelia Dewandari
Editor : Agung Purwandono