Wonosobo, kota yang identik dengan hawa sejuknya ini ternyata pernah lekat dengan dunia premanisme. Predikat Wonosobo yang lekat dengan preman ini cukup kondang di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Pada Rabu (1/2/2024) lalu, sempat viral di X soal kasus kemalingan di bus jurusan Wonosobo – Bandung. Korban mengalami kerugian berupa laptop, iPad, hingga sejumlah uang tunai.
Selain atensi soal korban, warganet ternyata juga menyoroti Kabupaten Wonosobo. Beberapa akun X menyebut bahwa kasus kemalingan dan kecopetan saat menumpangi bus dari Wonosobo merupakan hal yang jamak terjadi.
hadeh wnsb lagi 😅
emang tempatnya sih. dan bukan rahasia 😅
tips keamanan untuk windows: aktifkan kunci bitlocker penyimpanan dan kunci bios, berguna agar hdd tidak bisa diformat dan dipasang di device lain serta tidak dapat install ulang. dan..
— 0101010110110 (@beppoou) January 31, 2024
Predikat daerah dengan banyak preman memang sempat melekat kepada Wonosobo. Anggapan itu muncul di beberapa daerah sekitar DIY – Jawa Tengah. Sebagian warga Wonosobo yang merantau ke luar kota, juga mengakui pernah merasakan anggapan itu dari orang luar daerahnya.
Bagas (25) misalnya, lelaki asal Wonosobo yang kuliah hingga bekerja di Jogja ini punya pengalaman tak terlupakan dari dosennya. Suatu ketika, saat sedang sesi pertemuan, dosen wali menanyakan asal para mahasiswa yang didampingi.
Saat Bagas menyebut Wonosobo, dosennya sontak merespons, “Oh, Wonosobo yang banyak premannya itu ya.”
“Predikat itu kaya sudah identik sama tempat kelahiranku. Padahal, di rumah nggak terlalu merasakan persoalan terkait itu,” katanya kepada Mojok, Minggu (4/2/2024).
Praktik tersebut banyak menjadi pembahasan sebelum tahun 2010-an. Bahkan, cukup banyak menarik minat peneliti untuk membahasnya.
Jejak premanisme dan konflik kekerasan di Wonosobo
Salah satu tempat di Wonosobo yang dulu identik dengan konflik kekerasan antar kelompok preman adalah Binangun dan Kalianget. Binangun merupakan sebuah wilayah di Kecamatan Kertek yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Sementara Kalianget terletak di Kecamatan Wonosobo.
Dr Yuli Utanto dalam tesisnya yang berjudul Regenerasi dan Reproduksi Kekerasan: Kajian atas Konflik Dua Desa di Wonosobo (2005) menyebut banyak warga dari dua desa itu yang dulu berprofesi sebagai kusir dokar di Terminal Pasar Induk. Kesamaan itu ternyata sempat menyulut konflik karena berebut penumpang.
“Konflik kecil gara-gara berebut penumpang itu pada perkembangannya memicu konflik yang lebih besar disertai tindak kekerasan antara penduduk. Karena pekerjaan sebagai kusir dokar diwariskan kepada anak-cucu mereka maka konflik kekerasanpun turut diwariskan pula,” tulisnya.
Selanjutnya, Yuli menyebut konflik itu berlanjut lantaran profesi yang sama juga diturunkan antar generasi warga desa. Orientasi tindak kekerasan tidak sekadar materi melainkan upaya untuk mempertahankan identias kelompok.
Selain itu, penelitian dari Agus Panuntun Sulistyo berjudul Strategi Preman untuk Memperoleh Akses dari Pemerintah (2009) menyebut bahwa preman daerah Kalianget merupakan salah satu yang dominan di Wonosobo. Bahkan, ada organisasi preman Kalianget bernama Bonavista.
Pada praktiknya, saat itu kalangan preman bahkan sampai membangun jejaring dengan pemerintah. Misalnya pada pengurusan PKL Alun-alun Wonosobo, yang praktiknya saat itu tidak menggunakan izin formal.
“Preman berisinial ‘ST’ menjadi aktor yang banyak mengambil peran. Ia mendapat lampu hijau dari oknum DPKI dan langsung menemui Bupati untuk mendapatkan hak kelola PKL alun-alun,” tulisnya.
Baca halaman selanjutnya…
Tangan dingin bupati yang mengondisikan para preman
Kisah bupati yang mengondisikan preman
Bahkan, Bupati Wonosobo 2005-2015, Kholiq Arif mengakui bahwa di awal menjabat, daerahnya identik dengan daerah yang kurang aman karena premanismenya. Kholiq pernah bercerita bahwa mendapat tips khusus dari Gus Dur untuk membuat daerahnya kondusif.
“Gus Dur menyampaikan kepada saya, ‘Kholiq kalau mau Wonosobo aman maka bikinlah kuburan-kuburan menjadi bagus’, saya waktu itu tidak berfikir ini masuk akal atau tidak. Modalnya hanya percaya,” katanya pada Rakernas Lakpesdam NU 2015 silam.
Kholiq lantas berkelakar dengan membuat kuburan orang saleh di wilayahnya menjadi bagus, preman di terminal hingga pasar berpindah ke kuburan. Cara ini, merupakan langkah kultural yang Kholiq sebut sebagai local genuine approach.
Mereka bilang ingat mati. Baru saya tahu jawabannya dari amanat Gus Dur. Boleh jadi ini tidak rasional awalanya tapi fakta empiriknya Wonosobo jadi aman. Kalau sudah empirik yah berarti rasional,” kelakarnya.
Selain itu, Kholiq punya beberapa cara cukup unik dalam rangka mengondisikan preman. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagamaan. Sebab, pada medio 2014-2010, menurut catatan Majalah Tempo, angka kriminalitas hingga kerusuhan antarkampung di Wonosobo cukup tinggi.
Namun, Kholiq memilih merangkul preman dengan cara yang manusiawi. “Mereka tidak dibuang kecuali melanggar hak orang lain,” paparnya melansir Majalah Tempo.
Kini citra Wonosobo sebagai wilayah preman perlahan berkurang. Kendati begitu, sesekali ada persoalan yang diduga melibatkan preman seperti tercatat masih terjadi.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Dieng, Dataran Tinggi Indah yang Sering Memicu Perdebatan Orang Wonosobo dengan Banjarnegara
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News