Mama Siti (52) adalah satu dari ratusan perempuan adat Papua sekaligus petani yang menjalankan tradisi pengelolaan pala dan menjaga kelestarian hutan. Berkat kerja keras mereka, komoditas pala lokal berkembang pesat, hingga menembus industri parfum dunia yang dilirik oleh brand internasional seperti Chanel dan Hermes.
Pala adalah keajaiban bagi perempuan adat Papua
Mama Siti selaku pemimpin petani perempuan di sana mengatakan, jumlah pohon pala di hutan desa Dusun Pala, Desa Pangwadar, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat amatlah banyak. Pohon pala sendiri adalah warisan leluhur mereka.
“Pohon pala Tomandin bukan sekadar pohon bagi kami. Ini adalah warisan dari nenek moyang kami yang hidup dari generasi ke generasi untuk memberi kami kehidupan. Saya hanya bisa mengatakan bahwa pala Tomandin adalah keajaiban bagi kami,” tutur Mama Siti, melalui keterangan resmi Kaleka, dikutip Selasa (6/5/2025).
Bagi masyarakat adat Papua Barat, pohon pala melambangkan kehidupan itu sendiri. Ia dianggap sebagai “penjelmaan perempuan” dan berperan penting dalam menopang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat setempat melarang penebangan pohon pala.
Dengan merawat dan mengolah pohon pala, berarti menunjukkan rasa hormat antara masyarakat dengan alam. Hal itu juga memunculkan tradisi unik saat panen. Biasanya, laki-laki bertugas memanjat pohon dan mengambil buah yang sudah matang. Sedangkan, perempuan bertugas mengolahnya.

“Sejauh ini sudah ada 118 wanita yang membersihkan buah pala, memisahkan daging dan bijinya, lalu menjemurnya di bawah sinar matahari,” ujar Mama Siti.
Dua bulan sebelum musim panen, masyarakat adat akan duduk bersama dan berdiskusi alias “wewowo”. Dalam kurun waktu tersebut, mereka melakukan upacara simbolis dengan memakaikan kebaya kepada pohon pala. Kebaya ini merupakan pakaian tradisional yang biasanya dikenakan oleh perempuan.
Pemakaian busana tersebut mendandakan bahwa tidak ada yang bisa memanen pala muda atau mereka biasa menyebutnya kera-kera. Kemudian, tepat sebelum panen, kebaya yang dipakaikan ke pohon pala dilepas.
Pelepasan kebaya tersebut memungkinkan masyarakat untuk memulai panen pala. Setelah itu, mereka meninggalkan lahan untuk pulih secara alami.
Inovasi mengembangkan pala jadi parfum
Sayangnya, harga jual pala di Papua terbilang rendah. Siklus panennya pun hanya dua kali dalam setahun. Kondisi tersebut membuat banyak petani kesulitan secara ekonomi. Alhasil, banyak di antara mereka memiliki pekerjaan musiman dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Harga pala seringkali fluktuatif dan tidak menentu tergantung musim. Ketika harga turun, pendapatan dari pala hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat musim panen berakhir, banyak dari kami terpaksa harus beralih profesi untuk menunjang kebutuhan keluarga masing-masing.” jelas Mama Siti.
Tak sedikit akal, Mama Siti pun berusaha membalik nasib mereka dengan mengubah pala menjadi komoditas bernilai tinggi. Mama Siti dan ratusan perempuan adat lainnya dibantu oleh Kaleka–organisasi nirlama Indonesia yang bergerak di bidang lingkungan, lewat program Wewowo Lestari.

Program itu bertujuan meningkatkan nilai tambah pala Papua, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Melalui berbagai pelatihan dan pendampingan, perempuan petani diajarkan teknik pengolahan pala yang lebih baik.
Asisten Badan Eksekutif Kaleka, Venticia Hukom berujar orang biasanya menghiraukan pala Papua karena oil extraction rate yang sangat rendah. Namun, berdasarkan penelitian lembaganya bersama laboratorium Association Francaise des Dieteticiens Nutritionnistes (AFDN) asal Prancis, ada cara untuk meningkatkan oil extraction rare pala Papua.
“Jadi yang tadinya 1 persen menjadi 3,5 persen, sehingga bisa dikembangkan menjadi produk turunan lain seperti parfum dan kosmetik,” jelas Venticia Hukom.
Penemuan tersebut membuktikan bahwa pala Papua dapat dikembangkan menjadi prototipe produk parfum. Venticia berniat mengajukan produk tersebut ke perusahaan ternama dunia seperti Hermes dan Chanel.
Penghasilan masyarakat adat Papua meningkat
Venticia berujar lembaganya telah menerapkan SOP yang baik dalam setiap tahap produksi, mulai dari pengumpulan buah hingga pengeringan pala menggunakan solar dryer. Dari proses tersebut, pendapatan penjualan pala meningkat sekitar 13 hingga 40 persen.

Upaya tersebut juga berdampak pada peningkatan pendapatan petani, serta memberikan kontribusi positif bagi lingkungan. Koperasi Mery Tora Qpohi–badan usaha yang didirikan dari dan untuk petani pala mencatat penghasilan petani meningkat sebesar 11 hingga 40 persen, sesuai dengan jenis dan kualitas pala yang dijualbelikan.
Jumlah itu lebih tinggi dibanding pendapatan yang didapatkan petani jika menjual pala ke pengepul atau tengkulak lokal. Pemanfaatan seluruh bagian pala, seperti kulit dan biji juga menghasilkan produk turunan F&B yang baru seperti sirup, manisan untuk supermarket dan cafe di Fakdak. Ada juga produk kosmetik seperti minyak atsiri.
“Dibantu oleh Kaleka, kami terus berupaya memanfaatkan semua bagian dari pala untuk meminimalisir sampah dari penggunaannya yang biasa menumpuk saat difungsikan menjadi bahan masak. Saat ini, kami sudah menjual kurang lebih 500 botol sari buah yang berbahan dasar daging buah pala yang selama ini hanya ditinggalkan di bawah pohon pala sampai membusuk,” tutur Siti.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sukses Tuntaskan S1 Peternakan di UGM, Saya Pilih Abdikan Diri “Mengurus” Sapi di Papua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.