Ladang Tembakau Siluk: Teman, Rumah, dan Nyawa bagi Petani Srunggo-Kalidadap Imogiri, Tak Menanam akan Menyesal

Ilustrasi - Tembakau Siluk: rumah, teman, dan nyawa bagi petani Srunggo-Kalidadap Imogiri, Bantul. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ladang tembakau menjadi ruang yang sudah diakrabi kebanyakan warga Dusun Srunggo II dan Kalidadap II. Dua dusun di Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, yang sudah terkenal sebagai penghasil tembakau Kedu Sili alias Siluk.

Pada akhirnya, ladang tembakau Siluk tidak hanya sebatas ladang. Tapi juga menjadi teman, rumah, bahkan nyawa bagi mereka.

***

Dengan tekun, Nurwiyadi (74) mengintip satu persatu tanaman tembakaunya. Untuk memastikan, apakah ada telur-telur ulat yang berpotensi merusak. Jika ada, ia akan langsung membersihkannya.

Saya dan dua teman dari Komunitas Kretek menemui Nurwiyadi di tengah kegiatannya tersebut pada Kamis (7/8/2025) sore di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. Ia dengan ramah dan antusias mempersilakan kami meriung di tengah ladangnya, di sela-sela tembakau Siluk yang menunggu panen tersebut.

“Saya setiap hari ke ladang. Pagi jam 7 sampai 11. Pulang istirahat. Terus sorenya ke ladang lagi sampai Magrib,” ujar Nurwiyadi. Rutinitas itu dilakukan demi menjamin ladangnya menghasilkan tembakau Siluk kualitas terbaik.

Tembakau Siluk: teman dan nyawa bagi petani Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul

Nurwiyadi hanya tamatan SD. Sejak kecil dia sudah diakrabkan oleh orangtuanya dengan ladang tembakau Siluk. Karena memang simbah-simbahnya pun juga bertani tembakau.

Persinggungan dengan ladang tembakau Siluk sejak kecil lambat-laun membuatnya mengerti, bahwa tembakau asal Imogiri, Bantul, itu sekalipun tidak dipasarkan di pabrikan, tapi punya daya jual tinggi di kalangan pelinting.

Sejak SD Nurwiyadi sudah mulai ikut membantu di ladang. Awalnya hanya sekadar siram. Lalu belajar pepel (mencabut daun-daun tak berguna), memetik bunga, hingga merajang. Beranjak dewasa, ia lantas menjadi petani tembakau Siluk sendiri.

“Tembakau itu ibarat teman bagi saya. Mau tumandang (mengerjakan) apa saja harus melinting dulu. Kalau belum tuwuk (jenak) melinting, nanti saya jadi nglentruk. Tembakau juga pasti ada di kantong saya, ke manapun. Jadi seperti teman sendiri,” ujarnya disertai tawa.

Nurwiyadi, petani tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul MOJOK.CO
Nurwiyadi, petani tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek/Mojok.co)

Lebih dalam, sejak kecil hidup Nurwiyadi memang lebih banyak di ladang tembakau. Hingga kini, hari-hari juga ia habiskan di sana. Sehingga, rasa-rasanya tembakau Siluk sudah seperti temannya sendiri.

“Tembakau itu juga jadi nyawa saya,” sambungnya. Sebab, tembakaulah yang menghidupi keluarganya turun-temurun.

Nurwiyadi punya empat anak dan tujuh cucu. Dulu, empat anaknya bisa sekolah hingga SMK juga karena hasil dari tembakau. Kini pun, anak keempatnya juga ikut menggantungkan hidup dari tembakau.

Wajar saja. Tembakau Siluk memiliki harga jual tinggi dengan peminat yang besar pula. Terutama dari Gunung Kidul dan Kulon Progo. Dari dua petak ladang masing-masing 500 meter, Nurwiyadi mengaku bisa mendapat 40 anjang dalam satu kali panen. Setelah dirajang, harga tembakaunya bisa sampai Rp100 ribuan perkilogram.

Bertani karena suami

Dari Dusun Srunggo II, sore lusanya, Sabtu (9/8/2025) kami menuju Dusun Kalidadap II, Imogiri, Bantul.

Sebelumnya, Nurwiyadi sendiri mengakui kalau selain Srunggo II, Dusun Kalidadap II juga termasuk salah satu dusun di Desa Selopamioro yang menghasilkan tembakau Siluk unggulan.

Berbeda dengan Srunggo II yang kebanyakan petaninya adalah laki-laki, di Kalidadap II nyaris setiap ladang yang kami lewati justru diurus oleh perempuan. Salah satunya Restianti (40).

Pukul 16.00 WIB, Restianti tengah memetik bunga-bunga tembakau di ladangnya. Itu adalah upayanya agar tembakau cepat tua, lalu bisa lekas dipanen.

“Saya sebenarnya dari kecil bukan petani, Mas. Saya juga awalnya kerja di toko-toko. Baru 10 tahun terakhir ini saya menjadi petani, setelah menikah,” ungkap Restianti.

Restianti, petani tembakau Siluk asal Dusun Kalidadap II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek)

Restianti awalnya tak tahu-menahu soal bertani. Khususnya tembakau. Namun, karena ia sering diajak suami ke ladang, ia akhirnya belajar banyak soal merawat tanaman.

“Akhirnya bagi tugas, Mas. Suami ngurus tanaman lain seperti bawang merah dan cabai. Saya ngurus tembakau,” katanya.

Mensyukuri anugerah Tuhan, tak menanam akan menyesal

Restianti asli Srunggo II. Jadi sebenarnya ia sudah tahu kalau tembakau Siluk punya potensi besar di pasar lintingan. Hanya saja, di Srunggo II, perempuan bertani tembakau bukan merupakan kelaziman.

Kini, setelah belajar banyak dari suami, Restianti akhirnya tahu bagaimana cara merawat tembakau Siluk agar menjadi tembakau unggulan.

“Pokoknya pupuknya harus baik. Kalau ada rumput liar di bawah ini harus dicabut karena akarnya bisa mengganggu rasa tembakau.” Setidaknya pengetahuan dasar itu sudah Restianti pahami.

Bedanya dengan Dusun Srunggo II dan ladang-ladang di Kalidadap II bagian bawah, ladang di area atas seperti milik Restianti memiliki tanah hitam. Tanah tersebut, kata Restianti, membuat ganda (aroma), rupa (bentuk), dan rasa (rasa) tembakau Siluk makin mantap.

Tembakau Siluk di ladang Restianti. (Komunitas Kretek)

Ladang tembakau yang Restianti kelola memang kecil. Hanya 100 meteran. Biasanya ia dan suami akan menjual tembakau hasil rajangan di harga paling rendah Rp65 perkilogram.

“Kalau dibilang cukup, ya cukup. Tapi harus ada sambilan lain. Tanam lain. Tapi saya menikmati dan mensyukuri menjadi petani, termasuk bertani tembakau,” ujar Restianti.

Bagi Restianti, bertani tembakau merupakan bagian dari melanjutkan apa yang dilakukan leluhur. Selain itu, tanaman tembakau merupakan anugerah dari Tuhan yang kalau dikelola sebaik-baiknya pasti memberi hasil yang sama baiknya.

“Kalau nggak tanam kadang malah merasa menyesal, Mas,” tuturnya.

Ladang tembakau Siluk: seperti rumah bagi petani Kalidadap II, Imogiri, Bantul

Kami pun menyempatkan singgah di area ladang bagian bawah. Di area tugu bertuliskan “Kalidadap II”.

Di sana, kami bertemu dengan keluarga Kisutoro (53). Sore itu, di tengah embusan angin semilir, Kisutoro dan istrinya, Sukmini (36) sedang sibuk menyiram tembakaunya yang masih kecil-kecil. Karena memang baru tanam di bulan Juli.

Saat kami menyapa mereka di tengah ladang, kami agak kaget karena nyaris melangkahi tubuh anak mereka yang tidur tengkurap di tanah ladang. Nyenyak sekali. Sukmini butuh waktu agak lama untuk membangunkannya.

“Ladang itu sudah ibarat rumah. Saya asli Gunung Kidul, dari kecil hidupnya di ladang. Sekarang anak saya ini (usia 5 tahunan) juga suka di ladang. Ya begini, tidur di ladang begini sudah biasa,” ungkap Sukmini. “Tapi saya senang.”

Ladang milik Kisutoro dan Sukmini. (Komunitas Kretek)

Rp300 ribu perkilogram bahkan di tanah yang tidak ideal

Kisutoro pun demikian. Sudah sejak lulus SD ia bertani tembakau Siluk. Dari sekadar membantu sampai akhirnya mengolah ladang sendiri.

Kisutoro mengolah ladang tembakau Siluk seluas 750 meter. Sekali panen biasanya mendapat daun sebanyak 15 anjang (berkisar 13-15 kilogram).

“Hasil rajangan itu nanti dijual bisa Rp150 ribu perkilogram. Rata-rata Rp120 ribu perkilogram. Bahkan bisa Rp300 ribu perkilogram,” jelas Kisutoro.

Kisutoro, petani di Dusun Kalidadap II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek)

Ladang Kisutoro bertanah lempung-berpasir. Ia mengakui, jenis tanah yang bagus memang tanah hitam. Tapi tanah di ladangnya juga tetap bisa menghasilkan sensasi tembakau Siluk yang nendang. Itulah daya tarik tembakau Siluk yang dicari banyak orang.

“Yang penting cara merawatnya. Pupuknya yang bagus. Jangan terlalu sering disiram. Saya biasanya tiga hari sekali baru siram. Tantangannya memang di hama ulat. Tapi kalau sering diobat nanti nggak bagus,” jelas Kisutoro.

Alhasil, caranya tradisional saja. Kalau ada ulat atau telur ulat, akan ia bersihkan. Sementara jika ada daun yang sudah terlanjur berlubang dilahap ulat, terpaksa harus dibiarkan saja. Sudah terlanjur. Artinya, daun bekas gigitan ulat itu tidak akan masuk prioritas untuk dipetik.

Metode tumpang sari juga tidak berlaku bagi Kisutoro. Ia lebih memilih menanam tanaman lain di ladang lain. Karena tumpang sari dianggap bisa merusak kualitas rasa tembakaunya.

Selain itu, setelah proses panen, ia juga tidak menggunakan campuran gula. Demi menjaga cita rasa murni dari tembakau siluk.

Tetap harus menanam tanaman lain

Baik Nurwiyadi, Restianti, Kisutoro, maupun mayoritas petani tembakau di Dusun Srunggo II dan Kalidadap II, Imogiri, Bantul, punya satu kesamaan cara pandang. Yakni tidak bergantung sepenuhnya pada tembakau Siluk meski harganya bagus dan stabil.

Mereka tetap menanam tanaman lain. Khususnya sayuran sebagai tambah-tambahan penghidupan.

Nurwiyadi selain bertani tembakau juga menanam cabai dan bawang merah. “Pernah tanam jagung dan ubi jalar, tapi habis dimakan monyet,” katanya.

“Tembakau itu dibilang cukup ya cukup. Dibilang kurang ya kurang. Tapi kalau manusia kan pasti merasa kurang. Nah, tanaman lain itu untuk sampingan lah,” sambungnya.

Sementara Restianti menanam beberapa jenis sayuran. Setiap selepas Subuh ia akan menjual sayuran di daerah bawah. Sepulangnya pada jam 10, ia akan langsung menuju ladang untuk membantu suami. Nyambung ke ladang lagi di sore harinya.

Dari hasil bertani tembakau dan sayuran tersebut, selain bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, juga bisa untuk menyekolahkan tiga anaknya. Kalau Kisutoro, ia menanam jagung, cabai, dan bawang merah untuk tambah-tambahan.

***

Saat semburat matahari meredup, setiap petani di Kalidadap II bergegas pulang. Setiap yang melintas pasti menyapa kami.  Seperti tak ada beban atau kesumpekan. Hanya senyum sumringah yang tergurat di wajah mereka.

Hidup sak madya. Sekadarnya. Lalu mensyukurinya. Rasa-rasanya itu yang membuat wajah-wajah mereka selalu cerah, kendati hari berangsur gelap.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Daun Putih yang Menjadi Pulung bagi Petani Tembakau Kedu Sili (Siluk) di Dusun Srunggo II Imogiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version