Para pengendara motor plat P merasa resah karena kerap terseret kalau motor plat M (Madura) berulah di Surabaya. Sebab orang-orang dari kedua jenis plat tersebut kadung dianggap bersaudara.
***
Plat P adalah jenis nomor motor yang juga bisa dijumpai di Surabaya. Kota ini memang jadi jujukan para perantau dari berbagai daerah. Namun, jumlahnya tentu tidak sebanyak plat S, plat W, plat AG, plat AE, apalagi plat L dan M.
Hanya saja, para pengendara motor plat P ini sering dipandang sinis di Surabaya. Bukan cuma dari kalangan orang Surabaya sendiri, tapi juga dari kalangan perantau. Hal ini seperti dituturkan oleh Ananda (27), seorang pemuda asal Jember yang pernah kuliah di Surabaya pada 2016 silam.
Motor plat P dianggap sama saja dengan plat M
Selama kuliah, Ananda mengaku tidak banyak menemukan motor dengan plat P di Surabaya. Kalau mahasiswa serumpun, tentu banyak, tapi memang banyak pula yang tidak membawa motor. Setidaknya di fakultasnya sendiri.
Untuk diketahui, motor plat P terdiri dari rumpun daerah tapal kuda. Antara lain, Situbondo, Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember.
“Orang-orang bilang plat P adalah plat M swasta (karena ada istilah, daerah tapal kuda adalah daerah Madura swasta). Tapi saya menolak. Madura ya madura. Jember ya Jember,” ungkap Ananda saat bercerita kepada Mojok.
Sebab, dengan disama-samakan, Ananda kerap menjadi sasaran ledekan oleh sejumlah teman kampusnya kalau plat M sedang berulah.
“Misalnya bilang, “Heh, itu loh saudaramu, orang-orang M, kenapa berulah terus”. Ya kan yang berulah itu plat M. Bukan motor plat P,” gerutu Ananda.
Stigma miring plat M di Surabaya, plat P ikut terseret
Kebetulan saya pernah kuliah di Surabaya. Saya juga menyaksikan sendiri, betapa orang-orang di sekitar saya (kalangan plat L, S, dan W, khususnya) menaruh sentimen terhadap pengendara motor plat M.
Saya menjaga jarak betul dengan obrolan yang menyasar plat M. Takut melewati garis rasialisme.
Namun, semakin ke sini, ternyata orang-orang di Surabaya banyak yang speak up. Merasa tak nyaman dengan kelompok plat M. Orang-orang bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kekesalan mereka di media sosial.
Saya ambil contoh di media sosial X. Misalnya ada berita-berita kriminal—terutama begal, motor hilang, parkir liar, atau perangkat besi di fasilitas umum Surabaya yang hilang—warganet langsung ramai-ramai me-mention plat M.
Mojok sendiri menerima banyak tulisan dari kontributor Surabaya bahkan dari kalangan plat M sendiri yang sama-sama meresahkan kelakuan plat M, yang katanya makin hari makin menjadi-jadi: sering melanggar lalu lintas, ada saja yang berkendara tanpa pakai helm, dan lain-lain.
Bahkan, pertengahan 2024 lalu, kanal YouTube Comedy Sunday yang dimotori Dono Pradana dan Virzha Valaza, menayangkan satu sesi roasting terhadap Eri Cahyadi yang intinya adalah meminta Cak Eri memberesi plat M yang kelakuannya dianggap meresahkan di Surabaya. Konten tersebut akhirnya di-takedown karena menuai respons tak menyenangkan dari pihak-pihak yang disinggung dalam konten.
“Sialnya, plat P selalu terseret. “Mau plat M atau plat P, mereka serumpun. Sama-sama meresahkan.” Aku bahkan pernah dengar selentingan semacam itu. Padahal, motor plat P di Surabaya ini nggak banyak. Ya nggak macem-macem juga,” ucap Ananda.
Isu menjajah dan kriminalitas
Sepanjang yang Ananda bisa simpulkan, motor plat M di Surabaya selalu identik dengan dua terma di atas. Pertama, pasalnya, hampir di setiap sudut daerah Surabaya ada komunitas masyarakat plat M.
Mereka bahkan membentuk perkampungan sendiri. Dan itu sering dikaitkan dengan terma “penjajahan”.
Kedua, isu-isu kriminalitas cenderung sering melibatkan plat M. Paling banter adalah motor hilang dan besi hilang. Dari pemberitaan yang beredar, saat Satpol PP Surabaya melakukan operasi, kebetulan maling besinya adalah dari kalangan plat M. Lalu dari penyisiran Kepolisian Surabaya, sering kali motor hilang selalu mengarah ke Bangkalan.
“Kenapa saya ingin memisahkan antara plat M dan plat P? Karena di Jember, banyak orang Jember juga yang meresahkan kelakuan motor plat M di sana. Apa memang di setiap daerah selalu begitu? Saya nggak tahu,” ucapnya.
Tapi plat M tak selalu buruk
Perantau Surabaya dari rumpun plat P lain, Umi (26), sebenarnya menyadari betapa stigma terhadap plat M makin memburuk dari waktu-waktu. Dan sialnya, plat P yang dianggap bersaudara dengan plat M selalu ikut terseret.
“Aku asli Banyuwangi. Padahal Banyuwangi ini suku aslinya adalah Oseng. Tapi kini lebih dikenal dengan suku Madura karena makin banyak orang berbahasa Madura di Banyuwangi,” ungkap Umi.
Jengkel, tentu iya. Kadang Umi berpikr, sebagai orang yang merantau dan menumpang hidup di kota orang, kenapa nggak hidup normal-normal saja? Biasa-biasa saja. Nggak arogan apalagi berbuat kriminal.
Namun, meski begitu, dia merasa ada banyak juga teman-temannya dari rumpun plat M yang jauh dari stigma itu. Bahkan, Umi memiliki kekaguman tersendiri dalam konteks spiritualitas dan etos kerja orang-orang Madura.
“Kalau bulan Maulid misalnya, di sana sudah seperti lebaran Idulfitri. Itu bukti cintanya mereka sama Nabi (Muhammad),” ujar Umi.
“Aku nggak tahu datanya. Tapi di Surabaya kan nggak mesti yang kriminal itu plat M. Mereka pun di mataku adalah orang-orang yang selalu survive. Buka toko kelontong 24 jam, buka warung-warung makan, yang kerja halal banyak, walaupun informal,” sambungnya.
Kondisi yang memaksa menyambung hidup di daerah lain
Antropolog Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Dr. Mohammad Adib, pernah membuat analisis kenapa orang-orang rumpun plat M terkesan menjamah daerah mana-mana di seluruh Indonesia, hingga akhirnya muncul terma “penjajah”.
Masalahnya begitu kompleks. Persoalan pertama, tanah di Madura tidak bisa jadi harapan untuk sektor pertanian karena sangat sulit ditanami.
Menyadari pertanian tak akan mampu menghidupi mereka, maka para perantau Madura itu pun kemudian berburu rezeki di daerah-daerah lain.
“Faktor ekologi seperti tanah yang tidak subur itulah yang memaksa mereka untuk merantau mencari mata pencaharian di daerah lain,” beber Adib.
Persoalan kedua, kuantitas atau jumlah orang Madura tidak berimbang dengan luas Pulau Madura itu sendiri. Populasi yang besar membuat Madura terasa sesak. Sehingga, terang Adib, sebagian besar orang Madura memilih keluar: merantau.
“Tapi tak serta-merta Suku Madura saja yang merantau karena wilayah tak mencukupi. Ini juga berlaku bagi semua suku yang kuantitasnya banyak,” sambungnya.
Dulu mereka—orang-orang Madura—harus hidup dalam situasi tak menguntungkan itu tanpa punya banyak pilihan. Sebab, kondisi Pulau Madura sendiri terbilang terisolir.
Sampai akhirnya Jembatan Suramadu diresmikan pada 2009. Orang-orang Madura punya harapan hidup lebih baik dengan merantau ke berbagai daerah.
Potensi yang harus dikembangkan
Adib menilai, orang Madura punya potensi besar untuk bekerja di sektor-sektor formal. Sebab, tidak sedikit orang Madura yang sukses di sektor tersebut. Misalnya yang paling kentara adalah sosok Mahfud MD.
Bagi Adib, orang Madura adalah komunitas masyarakat pekerja keras dan tangguh. Nah, kerja keras tersebut akan menjadi lebih optimal jika disertai dengan modal intelektual (pendidikan).
“Tingkatkan pendidikan. Utamakan pendidikan, membongkar kultur informal. Merantaulah dengan skill, tidak hanya sebagai tenaga kasar,” tegas Adib.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Nasib Pengendara Motor Plat AG: Nggak Neko-neko tapiJadi Bahan Ledekan di Surabaya dan Malang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan