Di balik hiruk-pikuk wisuda UGM, ada kisah para sopir yang setia menunggu para orang tua yang sedang berbahagia menemani anaknya yang baru menjadi sarjana. Kebahagiaan itu sudah terasa sepanjang perjalanan.
***
Selepas menempuh perjalanan jauh dari luar kota sejak dini hari, para sopir pengantar keluarga biasanya menunggu di kantong-kantong parkir sekitar Grha Sabha Pramana (GSP) UGM. Sambil menunggu, mereka saling berinteraksi dan berkenalan dengan orang-orang dengan profesi sama. Banyak di antara keluarga yang menyewa mobil termasuk para sopirnya agar lebih praktis.
Pemandangan itu saya saksikan saat mengunjungi wisuda UGM pada Rabu (21/2/2024). Setelah berkeliling mewawancarai berbagai kalangan yang ikut menikmati serenomi kelulusan ini, saya duduk di pinggiran lapangan untuk merokok. Kebetulan, di samping saya terdapat tiga orang lelaki yang tampak sedang asyik berbincang.
Hal yang menarik perhatian saya, mereka ngobrol berbahasa Jawa dengan dialek ngapak. Bicara soal pengalaman berkendara ke berbagai kota di dalam dan luar Pulau Jawa.
Ketika saya mencoba nimbrung dan memperkenalkan diri berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah, mereka langsung antusias. Salah seorang di antara mereka, Sugito (46), ternyata datang dari Purbalingga.
“Wah, Banjarnegara itu sekarang jalannya halus banget. Enak Mas,” ujarnya membuka obrolan. Ia juga langsung menyebut mantan Bupati Banjarnegara, Budhi Sarwono yang baru meninggal Rabu ini.
Gito lantas menunjuk lelaki di depannya, namanya Darto (46) yang ternyata juga berasal dari kota tetangga yakni Cilacap. Sementara satu sopir lainnya yakni Triono (40) asal Boyolali.
Gito sudah beberapa kali mengantar pendamping wisuda ke UGM. Sementara Triono dan Darto baru pertama kalinya.
“Ini kampusnya luas. Tapi nggak enaknya tempatnya panas, paling enak nunggu di UNNES Semarang karena banyak tempat berteduhnya,” kelakar Gito.
Ketiganya merupakan sopir dengan pengalaman belasan tahun. Saat ini, mereka sama-sama menyopiri mobil sewaan.
Kebanggaan orang tua yang anaknya wisuda UGM berkat beasiswa
Gito langsung bercerita bahwa sepanjang perjalanan suasana di mobil terasa membahagiakan. Ia berangkat sekitar jam 3 pagi dari Purbalingga. Menurutnya, setiap mengantar orang tua menuju wisuda UGM pasti mendapat banyak cerita.
“Pokoknya kalau ke UGM pasti orang tua bangga. Apalagi, yang saya antar ini anaknya beasiswa penuh sejak awal kuliah. Hidupnya prihatin,” terangnya.
Menurutnya, rata-rata orang tua yang datang dari jauh rela menyewa mobil memang bukan dari kalangan berada. Mereka rela nabung, merogoh kocek agak mendalam tanpa ragu demi wisuda anaknya.
Darto langsung menimpali, ternyata ia juga membawa orang tua yang anaknya mendapat beasiswa. Situasinya sama, sepanjang perjalanan ia mendengar cerita bahwa anak tersebut selama kuliah hidupnya serba irit.
“Tapi meski begitu ya Mas, orang tua yang mau ngantar anaknya wisuda nggak pernah banyak nego harga. Mereka udah siap-siap jauh hari. Jadi saya sebagai sopir ya senang rasanya kalau antar wisuda,” terangnya.
Darto baru pertama kali mengantar wisuda ke Jogja. Biasanya, ia mengantari dari Cilacap ke Purwokerto atau kampus terdekat lainnya.
Pernah suatu ketika ia mengantar orang tua yang anaknya wisuda di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Selepas acara selesai, saat anak masuk ke mobil, tiba-tiba tangis haru pecah.
“Saya spontan saja, bercandaan bilang bahwa nggak perlu nangis. Harusnya senang, nangis itu kalau belum lulus tapi tiba-tiba sudah punya anak,” kelakarnya.
Ia ingat betul, tangis di mobil itu tiba-tiba berubah menjadi tawa lepas. Momen seperti itu menjadi kekhasan tersendiri saat mengantar rombongan menuju wisuda.
Baca halaman selanjutnya…
Mimpi sopir kuliahkan anaknya di kedokteran yang pupus di tengah jalan
Mimpi sopir kuliahkan anak di kedokteran yang tertahan realita
Sementara itu, Triono mengaku belum punya banyak pengalaman karena pertama kali mengantar ke wisuda. Namun, di pengalaman pertama ini ia juga mengamini bahwa suasana kebahagiaan orang tua tak bisa tertutupi.
“Sepanjang jalan, walaupun capek dan berangkat dari pagi buta, sudah banyak cerita soal anaknya,” kelakarnya.
Para sopir ini mengaku senang, melihat mimpi-mimpi yang terwujud dalam acara semacam ini. Gito lantas curhat bahwa ia juga pengin menguliahkan anaknya di UGM. Namun, mimpi itu baginya cukup sulit untuk tercapai.
“Anak itu dari dulu pengin jadi dokter. Pengin masuk UGM. Tapi saya tahu realitanya itu susah. Meski dapat beasiswa, kebutuhan lain-lainnya itu mahal. Saya sarankan untuk ambil jalan lain di jurusan perawatan,” curhat bapak dua anak ini.
Anak pertama Gito memang baru duduk di bangku SMP. Namun, pikirannya sudah jauh ke depan tentang masa depan perkuliahan anak.
“Baca berita anak sopir bisa jadi sarjana itu senang Mas. Jadi semangat kerja,” kelakarnya.
Sambil menanti prosesi wisuda UGM rampung, para sopir ngobrol terkait apa saja. Mulai dari kebingungan mereka soal kekalahan Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah sampai pengalaman berkendara ke luar jawa.
Darto misalnya, cerita pengalamannya dilempari batu saat membawa mobil di Lampung. Menurutnya, itu momen paling menegangkan selama menjadi sopir sejak 2006 silam.
“Di Lampung bisa seharian muter-muter, kesasar, sudah gitu malah kena lempar batu dari orang nggak jelas,” kenangnya.
Hari semakin terik, lelah para sopir tampak dari mata mereka yang memerah. Gito lantas pamit, mau terlelap sejenak di dalam mobil. Darto dan Triono, melanjutkan perbincangan. Perjalanan mereka masih panjang, menemani kebahagiaan di hari wisuda yang membanggakan bagi keluarga.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nekat Pakai Joki Seleksi SNBP Demi PTN Impian, Bisa Lolos tapi Ketahuan Dosen dan Berakhir Keluar
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News