Stasiun Wonokromo: Bangunan Bersejarah yang Menyimpan Cerita Kelam Kehidupan Warga Surabaya

Stasiun Wonokromo Surabaya. MOJOK.CO

ilustrasi - Stasiun Wonokromo di Jalan Jagir, Surabaya. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Stasiun Wonokromo tak lagi terkenal sebagai bangunan yang punya nilai sejarah. Bangunan yang terletak di Jagir, Wonokromo, Surabaya itu kini menjadi tempat langganan muda-mudi bermesraan, hingga sekitaran stasiun yang terkenal sebagai tempat prostitusi.

Tak sengaja melihat adegan asusila

Renita Aulia atau yang akrab dipanggil Rain (27) sudah tak kaget melihat tenda-tenda di sekitaran rel Stasiun Wonokromo saat kereta api yang ditumpanginya melintas dari arah Surabaya ke Malang. 

Ia tidak pernah mengawali atau menghentikan perjalanannya di Stasiun Wonokromo, tapi Kereta Api Dhoho Penataran  yang ditumpanginya kerap berjalan melambat saat berhenti di stasiun tersebut. Momen itulah yang membuat pikirannya fokus memperhatikan “kehidupan” di sekitar rel Stasiun Wonokromo.

Sama seperti pemandangan di sekitar area stasiun kereta api biasanya, banyak permukiman padat penduduk di sekelilingnya. Hanya saja, Rain jadi terheran karena ada banyak tenda yang berdiri atau alas berupa tikar atau koran yang tergelar. 

Mulanya, perempuan asal Surabaya itu berpikir jika tenda-tenda tersebut sengaja didirikan warga untuk menikmati pemandangan kereta api yang melintas. Semacam penggemar kereta api atau railfan. Tak jarang, seorang ayah atau ibu menggendong ibunya anaknya dan melambai-lambaikan tangan ke arah kereta.

Atau kalau tidak begitu, warga sengaja mendirikan tenda tersebut untuk tempat tinggal sementara. Sebab tak jauh dari sana, sedang ada proyek pembangunan. Namun, Rain mengakui jika pikirannya terlalu naif. 

“Saya pernah lihat mereka ‘main’ di semak-semak. Saat itu, posisi saya di gerbong paling belakang sehingga tak sengaja lihat dari dalam kaca jendela,” ucap Rain.

Dari sana, ia baru sadar jika tenda tersebut sengaja didirikan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk melakukan praktik prostitusi atau tindakan asusila. Tentu, pemandangan itu membuatnya risih.

“Ya memang mereka judulnya cari uang, tapi tidak harus merendahkan harga diri apalagi di depan umum,” ujar Rain.

“Masih sangat lebih terhormat mengamen di lampu merah, apabila tidak memiliki keahlian untuk bekerja,” lanjutnya.

Dugannya itu diperjelas saat ia mengikuti materi kuliah dari dosen dramaturgi yang membahas kasus prostitusi di Surabaya, termasuk yang ada di Stasiun Wonokromo. Dosennya menjelaskan jika lokalisasi di Stasiun Wonokromo masih termasuk kasus level rendah, tidak seperti di Dolly. 

Muda-mudi yang bermesraan di Stasiun Wonokromo

Berdasarkan jurnal penelitian berjudul Penegakan Hukum Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 terhadap Lokalisasi Ban Sepur Wonokromo, tempat prostistusi yang terletak di sebrang timur Stasiun Wonokromo tersebut tergolong sebagai tempat lokalisasi kelas bawah. Di mana, perempuan pekerja seks komersialnya berasal dari desa dengan pendidikan rendah dan tidak memiliki pengalaman kerja. 

“Wanita pekerja seks komersial tersebut sengaja menjajakan diri untuk menutupi hutang, serta mencukupi kebutuhan hidup,” tulis Audy Clara Puspita dan Emmilia Rudiana selaku peneliti jurnal tersebut yang dikutip pada Sabtu (19/3/2025).

Lokalisasi yang ada di sekitaran Stasiun Wonokoromo itu sebetulnya sudah berkali-kali mengalami razia oleh Satpol PP maupun polisi, tapi bagai mencincang air, perbuatan itu tak serta merta hilang hingga sekarang.

Tak hanya tindakan asusila di sekitaran rel, banyak pengguna kereta api yang mengeluhkan muda-mudi asyik bermesraan di Stasiun Wonokromo. Mojok pernah mewawancarai penumpang yang mengaku risih karena pemandangan tersebut.

Misalnya, Fani* (25) yang sering pergi-pulang Surabaya-Jombang menggunakan kereta lokal di Stasiun Wonokromo. Ia jengkel saat melihat sepasang kekasih bermesraan di kursi tunggu penumpang. 

Sebetulnya, ia tak masalah jika seorang kekasih mengantar dan menunggu pacarnya sampai jam tiba keberangkatan kereta. Bahkan ia maklum jika mereka memanfaatkan waktunya sebelum berpisah. Asal, kata dia, tidak perlu berlebihan seperti menggelendot atau bersentuhan fisik secara intens.

“Maksudku, di area luar itu juga banyak anak-anak yang lagi nunggu kereta bareng orang tuanya. Jadi kurang pantes aja adegan semacam itu terjadi di hadapan anak-anak,” kata Fani. 

Cerita Fani dapat dibaca selengkapnya di sini

Stasiun Wonokromo, bangunan cagar budaya

Sejatinya, Stasiun Wonokromo merupakan bangunan cagar budaya yang sudah beroperasi sejak tahun 1878 dan memiliki nilai histrori. Salah satunya, peristiwa Gerbong Maut yang terjadi pada 23 November 1947.

Ketika zaman penjajahan, Marinir Belanda mengawal pemindahan tawanan dari Bondowoso ke Surabaya menggunakan kereta api dengan angkutan gerbong yang tertutup rapat. 46 tawanan dari 90 orang tewas saat kejadian tersebut.

Mereka menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai macam profesi, seperti tentara, polisi, pamong praja, dan rakyat. Seorang pemandu dari Surabaya Urban Track (Subtrack), Ahmad Zaki Yamani, mengungkapkan nasib para tawanan itu berujung tidak pasti.

“Namun, sebuah asumsi mengatakan jenazah mereka dibuang di sungaii Jari dari jemabatan Kereta Api Wonokromo,” ucapnya dikutip dari laman komunitas Begandring Soerabaia–peneliti sejarah pada Sabtu (29/3/2025).

Di balik cerita dari pejuang kemerdekaan Indonesia, tak semestinya nama Stasiun Wonokromo tercoreng dengan berbagai kasus asusila baik di dalam maupun di sekitarnya. Sebab, stasiun itu menjadi saksi bisu para pejuang di Kota Pahlawan.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Sisi Gelap Stasiun Gubeng yang Merupakan Jantungnya Perkeretaapian di Jawa Timur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version