Royal Plaza adalah salah satu mal di Surabaya yang memotret jurang antara si kaya dengan si miskin dengan sangat kentara. Sebab, Royal Plaza Surabaya berdiri di wilayah yang dipadati oleh perantau luar daerah dan kelas pekerja.
***
Royal Plaza berdiri di Jalan A. Yani, Wonokromo, Surabaya Selatan. Memang bukan mal besar. Tapi bagi orang-orang di Surabaya Selatan, mal ini sudah menjadi kemewahan tersendiri.
Mengingat, Surabaya Selatan bisa dibilang sebagai kawasan menengah ke bawah di Ibu Kota Jawa Timur tersebut. Namun, berdirinya Royal Plaza di Surabaya Selatan justru membuat jurang antara si kaya dan si miskin makin kentara.
Di satu sisi tampak orang-orang menikmati hidup dengan belanja dan menyantap makanan enak di dalam mal. Sementara di sisi lain lebih banyak orang-orang yang berjibaku dengan panas, hujan, dan kemacetan Surabaya demi pundi-pundi rupiah.
Tawa di atas kemiskinan
Dari pengalaman beberapa kali keluar-masuk Royal Plaza, ada satu sudut yang paling saya sukai. Sudut yang, bagi saya, paling ideal untuk merenung dan menampar diri sendiri agar tidak henti-hentinya bersyukur.
Yakni smoking area di parkiran mobil atas yang tidak jauh dari musala mal. Sebab, dari area tersebut, saya bisa melihat sisi lain di balik gemerlapnya Royal Plaza Surabaya.
Dari atas (smoking area), tampak rumah-rumah kecil, reyot, dan padat berderet di seberang rel kereta untuk arah Stasiun Wonokromo.
Pemandangan yang paling sering saya lihat adalah segerombolan anak-anak kecil yang tertawa-tawa sambil menyisir rel. Dan tak kalah sering adalah bapak-bapak tengah mengolah sampah rongsokan yang kemungkinan akan ia bawa pada pengepul.
Bahkan, sempat satu kali saya melihat pemandangan yang nyaris membuat saya meneteskan air mata. Yakni pemandangan seorang bapak-bapak duduk di sofa rongsokan yang lusuh. Sembari menyesap-embuskan rokok, pria itu seperti mematung, tatapannya kosong.
Saya nyaris menangis bukan karena merasa kehidupan saya lebih baik dan merasa iba. Tapi lebih karena terhenyak dengan kesadaran, betapa selama ini saya masih kurang bersyukur atas apa yang Tuhan kasih: bisa tidur di kos yang lumayan nyaman, tapi masih sering merasa kurang.
Ironisnya, saat orang-orang di bawah bergumul dengan kekosongan dan serba kekurangan, di atas (Royal Plaza) tampak orang-orang saling tertawa. Sepasang kekasih dengan gaya kekinian bergandeng tangan begitu manja, juga anak-anak yang sejak kecil sudah akrab dengan kemewahan.
Potret kelas pekerja di sisi lain Royal Plaza
Pendapat serupa juga Dodik (25) tuturkan. Seorang teman yang sempat kuliah sambil menjadi driver ojek online (ojol) di Surabaya. Dodik menjadi satu dari beberapa driver ojol yang sering mangkal di depan Royal Plaza.
“Jalan A. Yani itu penghubung Surabaya-Sidoarjo. Setiap pagi dan sore, pemandangan yang terlihat tentu kesemrawutan orang-orang berangkat atau pulang kerja,” ujar Dodik saat aja ngobrol lewat telepon, Rabu, (13/3/2024) sore WIB.
Dodik sendiri sambil menunggu penumpang nyantol, sering kali menatap iri orang-orang bermobil yang keluar-masuk Royal Plaza. Dari jalanan sudah tak kepanasan atau kehujanan (sebab pakai mobil).
Lalu di dalam Royal Plaza pun mereka juga tak akan kepikiran bakal kehujanan atau kepanasan. Barang kali yang ada di benak mereka justru adalah senang-senang: mau makan apa yang enak, mau belanja apa yang mahal.
“Jadi ya benar jika adanya Royal Plaza ternyata membuat jurang antara si kaya dan si miskin makin kentara,” ujar Dodik.
Yang melintas di depan Royal Plaza, seperti kata Dodik, adalah kelas-kelas pekerja dari Surabaya dan Sidoarjo. Selain driver ojol, ada pula sopir angkot, pedagang pasar, buruh, dan sederet profesi yang masuk kategori kelas menengah ke bawah.
Belum lagi pemandangan di Jalan Ketintang di sebelah Royal Plaza. Setiap sore hingga jam delapan malam, jalanan tersebut seolah menjadi arena pertunjukan pertarungan para pekerja berebut jalan.
Baca halaman selanjutnya…
Pemandangan yang tidak ada di mal lain
Pemandangan yang tidak ada di mal lain
Potret jurang si kaya dan si miskin di mal-mal lain di Surabaya bisa dibilang tak sekentara di Royal Plaza. Begitu pendapat dari Dodik, yang sedikit banyak saya amini.
Dodik lantas menyebut beberapa nama mal besar, di antaranya Pakuwon Mall, Tunjungan Plaza, hingga Grand City.
“Mal-mal itu terletak di titik-titik metropolis Surabaya. Jadi orang-orang yang tinggal di sekitar mal-mal itu bisa dipastikan dari kalangan ekonomi atas,” ucap Dodik.
Tidak seperti di Royal Plaza yang di belakang dan seberang jalannya saja terpampang jelas deretan rumah-rumah kumuh, kecil, dan padat penduduk.
Lebih-lebih, selama ini Royal Plaza juga erat dengan stereotip sebagai jujukan bagi orang eknomoi pas-pasan yang mau merasakan sensasi ngemal. Sebab, akses dan budget untuk ngemal di Royal Plaza jauh lebih ekonomis ketimbang mal-mal lain yang Dodik sebutkan di atas.
“Orang seperti saya kalau masuk TP (Tunjungan Plaza) misalnya, langsung ketahuan katrok dan miskinnya. Satu, bingung karena itu mal gede banget. Dua, TP itu isinya crazy rich-crazy rich. Jadi sekali ada orang dengan perawakan seperti saya, pasti langsung mendapat tatapan aneh,” ungkap Dodik.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News