4 Renungan jika Ingin Jadi Driver Ojol, Pekerjaan Sampingan yang Tak Semudah Bayangan

4 Hal yang Harus Diperhatikan Jika Mau Jadi Driver Ojek Online (Ojol). MOJOK.CO

Ilustrasi - 4 hal yang harus dicatat sebelum jadi driver ojek online (ojol). (Ega Fansuri/Mojok.co)

Iming-iming jam kerja fleksibel jadi salah satu daya tarik yang ditawarkan platform ojek online (ojol) dalam mencari driver. Tak dapat dielak, itu memang tawaran menarik, utamanya bagi mahasiswa yang perlu pemasukan namun tak bisa terikat waktu kerja secara penuh. Di Surabaya, saya punya banyak teman dari kalangan mahasiswa yang punya rencana menjajal profesi ini sebagai profesi alternatif.

Misalnya lagi dari kalangan orang yan sudah tidak punya pekerjaan tetap di pabrik atau perusahaan. Entah karena resign atau karena PHK. Maka untuk menyambung hidup, ojol lah profesi yang mereka pilih.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya mencoba mengajak berbincang para driver ojol di Jogja. Saya ingin tahu sudut pandang mereka, agar punya gambaran perihal profesi sebagai driver ojol yang memang jadi pilihan alternatif banyak orang.

#1 Jadi driver ojol kalau kecelakaan tanggung sendiri!

“Ojol itu sistemnya mitra, ya, Mas?” tanya saya membuka obrolan dengan ojol pertama saya, Kamis, (8/8/2024). Sebut saja Adi. Kami berbincang dalam perjalanan pendek dari Tegal Mindi menuju halte Wedangan Kampoeng yang terletak di tepi Jalan Kaliurang km 12,5.

“Betul, Mbak. Jadi, ya, sebenarnya saya tidak diakui sebagai pegawai,” jawabnya.

Laki-laki sekitar umur 30 tahun itu sudah menjadi driver ojol sejak 2019. Ia mengeluhkan sistem kemitraan yang membuatnya tak terlindungi jaminan kesehatan, jaminan minimal gaji, upah lembur dan pesangon, hingga hak cuti.

“Ya, (soal keamanan) pada akhirnya driver sendiri yang nyiapin, Mbak. Jadi misalkan, amit-amit kecelakaan, ya kita yang mesti nanggung sendiri,” ucap Adi dengan tawa kecut.

#2 Jadi driver ojol kerap nombok

Karena tak ada jaminan gaji, pendapatan ojol bergantung sepenuhnya pada jumlah orderan yang masuk ke mereka hari itu. Driver kedua saya, sebut saja Eka, berbagi cerita soal ini. Ia mengantar saya dari Pasar Beringharjo menuju Ngaglik. Kami berbincang cukup panjang dalam kesempatan tersebut.

Sebelum bekerja sebagai ojol, ia adalah seorang penyedia jasa antar di sebuah lembaga laboratorium di Jogja. Ia bekerja dalam sistem outsourcing.

“Tapi waktu itu, saya nggak bisa diangkat jadi pekerja tetap karena minimal harus D3 dulu. Rombongan yang lain diangkat jadi pekerja tetap, padahal saya yang lebih dulu bekerja di situ,” ceritanya. Karena merasa tidak fair, ia dan sekelompok pekerja lain memutuskan keluar.

“Saya memutuskan pindah jadi ojol aja, Mbak. Toh kerjanya sama-sama di jalan, kan,” tambah Eka. Ia pun menggeluti ojol sebagai profesi utama sejak 2018.

Ia menjelaskan pada saya, bahwa nominal yang masuk dalam kantongnya hanya 80% per-orderan. Sedangkan 20% sisanya masuk ke aplikasi.

Sebab bersistem prosentase, makin jauh jarak tempuh maka potongan uang yang diterimanya juga makin besar. Pendapatan yang telah terpotong itu pun mesti dipangkas lagi dengan biaya makan dan bensin yang tak turut ditanggung perusahaan. Bener-bener apes!

“Saya kalau sehari dapet Rp150 ribu, itu yang Rp50 ribu buat makan dan bensin. Kalau sehari dapet Rp100 ribu, wah, rugi banget saya,” keluhnya.

Pada hari-hari ketika orderan sepi, mau tak mau ia harus memanjangkan waktu kerjanya demi menutup target pendapatan hari itu.

“Kemarin sebelum ospek, Mbak, kan mahasiswa lagi pada libur semester. Itu orderan saya sepi. Saya jadi narik sampai Subuh. Padahal Jogja lagi dingin-dinginnya,” keluh Eka lagi.

Selain sulit cari untung, driver ojol makin buntung sebab kerap kali nombok. Di awal narik, ia ditodong mesti beli atribut jaket dan helm seharga Rp280 ribu. Nominal yang tak kecil baginya.

Meski pembelian lewat aplikasi tak memintanya membayar kontan, tapi saldonya dipotong secara berkala oleh aplikasi sebagai biaya cicil. Mendengar cerita Eka soal ini, saya cukup terkejut. Sebab, pikir saya jaket dan helm adalah hak driver yang seharusnya diberikan secara gratis.

Biaya parkir juga jadi momok “tombok” yang lain.

“Mungkin banyak driver lain yang minta ke costumer buat mengganti uang parkir, ya, Mbak. Tapi kalau saya nggak tegelan (tegaan) orangnya. Meskipun seribu dua ribu, saya nggak pernah minta ganti,” ungkap Eka.

Mendengar itu, kepala saya pusing membayangkan pengurangan demi pengurangan yang Eka terima; potongan untuk aplikasi senilai 20%, biaya makan, biaya bensin, biaya parkir, juga tanggungan cicilan bila ada–quintuple kill!!

Baca halaman selanjutnya…

Driver ojek online: korban akal-akalan dan rawan perseteruan

#3 Berjibaku dengan gamifikasi yang nuntut kerja terus-terusan

Status kemitraan memang menjadi iming-iming tersendiri bagi platform ini dalam menjaring calon driver. Sebab, status ini menjanjikan kelonggaran dan kebebasan berupa ”kerja sewaktu-waktu” bagi driver.

Tapi yang terjadi tidak selalu demikian. Eka mengaku tak tahu persis kapan dan bagaimana orderan masuk. Penyambungan antara driver dan penumpang tergantung pada sistem aplikasi.

Online bukan berarti kami langsung dipastikan dapat penumpang, Mbak. Kadang sedikit banget, kadang banyak. Sering harus nunggu lama dulu juga,” jelasnya.

Untuk mengakali itu, Eka sering muter-muter menjalankan motornya agar orderan nyantol. Tapi muter pun berarti bensin ikut surut.

“Kalau lagi nggak rajin (jarang narik), biasanya orderan jadi sepi, Mbak. Yang masuk sedikit, dan itu pun sering dari titik jemput yang jauh jaraknya,” ucapnya.

Memang driver memiliki jam kerja fleksibel, tapi sistem aplikasi secara tak langsung menuntut driver untuk terus-terusan aktif kalau tak mau orderan seret atau bahkan terkena sanksi.

Contohnya, salah satu kawan Eka menerima penonaktifan akun karena lama nggak narik.

“Padahal kalau nggak salah cuma dua minggu loh itu, Mbak,” kenangnya.

“Jadi, ya, kalu saya sebisa mungkin rajin, ramah, dan nggak pilih-pilih order, biar nggak kena sanksi,” kata Eka.

Driver ojek online: buruh yang tidak terpenuhi haknya

Devita Aditya dalam Jurnalnya yang terbit dalam CALATHU: Jurnal Ilmu Komunikasi berjudul Gamifikasi Sistem  Kerja dan Siasat Pengemudi Ojek, mengungkap kerja pengemudi ojek online tidak sesederhana memberikan tumpangan, tapi juga permainan matematika.

Pengemudi harus terus mengkalkulasi poin, bonus, persentase kinerja, dan rating agar mendapatkan penghasilan/upah yang diinginkan. Sistem kerja yang menggunakan misi, target harian, bonus, dan rating seperti ini membuat alur kerja serupa bermain game. Yang, secara tak langsung, memaksa ojol untuk memeras keringat lebih lama dan sangat giat untuk bertahan.

Mahasiswa sekolah pascasarjana UGM itu berpendapat bahwa sistem gamifikasi ini berpotensi membuka masalah ketika dibarengi dengan status kemitraan.

Pasalnya, gamifikasi yang dapat mengakomodasi aturan kerja fleksibel seolah menciptakan sistem kerja “tanpa ada paksaan”. Padahal, sebenarnya banyak peraturan yang mengikat dan menuntut. Alhasil, pengemudi tak sadar dirinya tengah berada di posisi eksploitatif yang tak adil.

Sistem mitra sendiri  pada dasarnya menawarkan hubungan yang adil dan setara antarpelaku kerja sama, berdasarkan prinsip saling memerlukan dan menguntungkan. Sistem yang seperti ini, seharusnya melibatkan seluruh pihak dalam merumuskan suatu peraturan kerja sama.

Tapi nyatanya dalam konteks hubungan kemitraan ini, pengambilan keputusan kerja didominasi oleh platform aplikasi ojol. Terjadi kedudukan yang berat sebelah.

Para ojol hari ini berstatus sebagai mitra, tapi hubungan kerja yang terjalin layaknya buruh-pengusaha. Buruh yang tak terpenuhi hak-haknya karena perusahaan berlindung dibalik status kemitraan palsu.

#4 Selalu berseteru dengan ojek pengkolan

Selain harus bertahan dalam ketidaksetaraan posisi dengan perusahaan platform yang menimbulkan bermacam tuntutan, pemotongan, dan ketiadaan penjaminan tadi, ojol juga masih berhadapan dengan sentimen ojek pengkolan. Di Jogja yang notabene adalah kota wisata, eksistensi ojek pengkolan masih ramai dijumpai.

Mulai menjadi ojol di tahun 2018, Eka termasuk ke dalam angkatan awal. Sebab, kala itu baru tiga tahun platform ojol menjamur di Jogja. Di tahun-tahun awal itu, ia masih waswas tiap kali ketemu ojek pengkolan, karena sentimen yang ada masih cukup kuat.

“Dulu tuh suka diusirin saya, Mbak, kalau nggak sengaja ketemu sehabis nurunin penumpang,” kenangnya. Kini, ternyata sentimen itu masih ada meski tak sebanter sebelumnya.

“Mbak pernah pesen ojol dari Stasiun Lempuyangan?, tanya Eka.

Menjawabnya, saya menerangkan pengalaman pertama saya tiba di Jogja yang mesti jalan ke daerah flyover untuk mencari ojol. Sebab driver ojol menyuruh saya menunggu di sana. Kala itu saya sempat kebingungan, kenapa harus seperti itu dulu baru bisa order ojol?

Di tengah kebingungan itu, saya dapati banyak pula di antara penumpang yang baru turun kereta, berjalan menuju flyover. Itu mengisyaratkan pada saya, titik jemput ojol memang bertempat di sana. Ke arah kiri dari gerbang keluar, saya menempuh jalan yang bagi saya cukup jauh, terlebih saya menggendong tas berat. Cukup bikin encok dan ngos-ngosan.

“Ojol dilarang berhenti di depan Lempuyangan, Mbak, sebab di sana banyak ojek pengkolan mangkal,” terang Eka menambal kebingungan saya.

“Pernah ada (ojol) yang menjemput di sana, helmnya ditarik oleh para ojek pengkolan. Musti bayar Rp50 ribu kalau mau helm balik,” tambah driver ojek online tersebut.

Ojek pengkolan tak mau pindah jadi ojek online

“Nggak cuma stasiun, Mbak, di terminal bahkan rumah sakit juga terjadi pengeblokkan kayak gini. Saya herannya, rumah sakit lho itu, tempat orang sakit, bukan orang liburan,” keluh Eka.

Di Jogja, ada titik-titik merah yang haram didatangi ojol. Tiga di antaranya adalah Stasiun Lempuyangan, Terminal Giwangan, dan Rumah Sakit Sardjito. Padahal, menurut Eka tempat-tempat itu adalah tempat umum yang seyogianya bisa diakses siapa saja.

“Mereka (ojek pengkolan) sebenarnya pernah ditawari untuk bergabung dengan ojek online, Mbak. Udah dipermudah nggak perlu daftar akun dan ngumpulin SKCK atau persyaratan-persyaratan lain kayak saya. Tapi pada nggak mau,” ceritanya.

Eka menduga, keengganan itu hadir karena minimnya pemasukan ojol. Para ojek pengkolan tak terikat sistem dan bebas menentukan tarif mereka sendiri.

Mereka tak mau pemasukan turun. Selain tarif ojol relatif lebih murah, itu masih harus terkikis lagi oleh potongan demi potongan untuk diserahkan pada perusahaan–sebagaimana yang dialami Eka. Mereka tak mau semakin jauh dari kesejahteraan.

Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA: Ojol Jogja Iri dengan Ojol Surabaya, Meski Dimusuhi Ojek Pengkolan tapi Aturan Lebih Menguntungkan

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version