Saya Tinggal di Babarsari, Ngekos Bareng Debt Collector, dan Saya Takut Sekaligus Merasa Terlindungi

Saya Tinggal di Babarsari, Ngekos Bareng Debt Collector (DC) di Jogja, dan Saya Takut Sekaligus Merasa Terlindungi.MOJOK.CO

Ilustrasi Saya Tinggal di Babarsari, Ngekos Bareng Debt Collector, dan Saya Takut Sekaligus Merasa Terlindungi (Mojok.co/Ega Fansuri)

Dua tahun sudah Riko (20) tinggal di Babarsari, sebuah kawasan di Jogja yang dijuluki “Gotham City” karena aksi kriminalitas yang seolah tak ada habisnya. Selama itu juga mahasiswa asal NTT ngekos bareng debt collector (DC), para penagih utang yang terkenal beringas.

Riko merasa kawasan ini memang “agak laen” kalau dibanding daerah di Jogja lainnya. Namun, kalau menyebut Babarsari, tempatnya ngekos, sebagai kawasan penuh bandit seperti di film Batman tadi, ia punya pandangan lain.

“Kalau bicara seram, kita motoran malam-malam di Jalan Kaliurang pun bisa digebuk klitih,” ujar Riko, menegaskan kalau aksi kriminal bisa terjadi di mana saja, tak hanya di Babarsari.

“Ada orang jahat di sini, tapi bukan berarti tak ada kemanusiaan juga di Babarsari,” imbuhnya.

Misinformasi bentrokan di Babarsari

Siang itu, Kamis (20/6/2024), saya sebenarnya ingin memastikan kejadian yang baru-baru ini viral terkait Babarsari. Di media sosial, muncul pemberitaan kalau kawasan ini memanas setelah dua kelompok kembali bertikai.

Kata kunci “Babarsari” pun sempat menjadi trending topic di Twitter (X). Lengkap dengan narasi negatif netizen yang mengiringinya.

Namun, di bawah suhu 33 derajat celcius yang menyengat ubun-ubun saya siang tadi, saya tak menemukan sisa-sisa “bekas pertempuran”. Tak ada fasilitas umum yang rusak, para pedagang pun masih berjualan seperti sedia kala. Bahkan, ketika saya menanyakan perihal kejadian yang sempat viral itu, beberapa di antara mereka mengaku tak mengetahuinya.

“Terakhir geger-geger itu, ya tahun kemarin itu, Mas, sampai saya nggak jualan dua minggu karena takut. Kalau baru-baru ini nggak ada apa-apa,” kata Imei, salah seorang penjual jasuke di sekitaran Jalan Babarsari, dekat SMA Negeri 1 Depok, Sleman.

Polresta Sleman sendiri bahkan telah membantah kalau situasi di Babarsari kembali memanas. Dalam pernyataan resminya, mereka menyebut bahwa pertikaian yang melibatkan dua kelompok terjadi di Ngupasan, Gondomanan, Jogja, bukan di Babarsari. Jadi, bisa dikatakan di kawasan tersebut tak terjadi ketegangan apa pun.

Alhasil, pada siang tersebut, saya kecele. Penelusuran saya di Babarsari buat mengkonfirmasi kejadian yang ramai kemarin, boleh dibilang antiklimaks.

Saya, yang sejak sejam lalu kepayahan karena sinar matahari yang amat terik, melipir ke sebuah warung makan di dekat Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY). Di sanalah saya bertemu Riko, mahasiswa kampus tersebut yang berbagi kisah soal pengalamannya hidup di Babarsari.

Kalau ada pertikaian yang melibatkan etnis tertentu, kok selalu mengarah ke Babarsari, sih?

Dalam obrolan kami, saya pun menyampaikan hal-hal yang saya cari siang itu. Namun, Riko malah tertawa. Ia mengatakan, saya seperti kebanyakan orang saat memandang Babarsari.

“Kalau ada pertikaian yang melibatkan etnis tertentu, kok selalu mengarah ke Babarsari, sih?,” ujarnya, melempar pertanyaan. “Lho, geng-geng di Jogja kan ngumpulnya nggak cuma di sini, Bang. Tapi kalau ada bentrok di mana-mana, mata orang langsung mengarah ke sini,” imbuhnya.

Salah satu gang di Babarsari yang mengarah ke kos Riko. Pada 2023 lalu, orang-orang berhamburan ke gang ini karena terjadi ketegangan. (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Mahasiswa asal NTT ini bercerita, sudah dua tahun dia tinggal di Babarsari. Sepengalamannya, saat terjadi konflik di sana, fokus orang-orang lebih ke identitas etnis kelompok yang bertikai. Bukan ke pokok permasalahannya.

“Padahal, yang namanya bentrok, itu nggak memandang suku, ‘kan? Kemarin terjadi kericuhan antarkelompok silat, memang ada yang bawa-bawa etnis?,” katanya.

Menurutnya, potensi kericuhan bisa terjadi di mana pun, terlepas dari etnis seseorang. Maka, menyebut Babarsari kerap ricuh hanya karena dihuni oleh etnis tertentu, kata Riko, “adalah pola pikir yang rasis”.

Dua tahun tinggal bareng DC, sempat merasa was-was di awal

Awal-awal kuliah di Jogja, Riko tak punya pilihan selain ngekos di Babarsari. Pertimbangannya, saat itu dia belum ada motor. Sementara dia hanya bisa mengandalkan jalan kaki buat berangkat ke kampus.

“Nggak susah cari kos sekitar sini. Tapi teman-teman di kampus pada mengingatkan suruh hati-hati, jaga diri betul,” kenangnya.

Awalnya, Riko tak paham apa maksud peringatan teman-temannya. Namun, saat sudah mulai menempati kos-kosannya yang hanya berjarak 5 menit dari kampus itu, dia tahu satu hal. Ternyata, mayoritas penghuninya adalah para debt collector alias DC.

“Kaget, Bang. Seram-seram, ada yang penuh tato. Pernah saya berjumpa, ada yang pulang membawa samurai,” kata dia.

Riko pun menceritakan kejadian itu ke teman-temannya. Alhasil, gosip-gosip seram pun langsung menyebar. Ada yang bilang tetangga kosnya pernah memenggal orang. Ada juga yang mengatakan mereka ikut kartel mafia.

“Sampai saya ini ketakutan sendiri. Tak berani keluar kamar kos. Hingga berpikir, apa saya pindah saja ya.”

Penampilan garang, hati penuh perhatian

Belum genap sebulan ngekos di Babarsari, Riko selalu dilanda overthinking. Pikirannya tak menentu. “Bagaimana kalau saya tiba-tiba dipenggal?”, “Bagaimana kalau mereka salah paham, dan saya diapa-apakan?”.

Pikiran liar seperti itu terus menghantui dirinya.

Sampai, ada satu momen yang mampu mengubah pandangannya terkait Babarsari, DC, yang stigma-stigma negatif yang melekat di mereka.

Pada suatu malam, ia mendapati para tetangga kosnya yang merupakan DC tadi memesan makanan di ojek online. Malam itu, Riko hendak pergi ke warung kopi untuk nugas bersama teman-temannya.

“Tiba-tiba saya dihadang oleh mereka,” kata mahasiswa Jogja ini. “Mereka bilang, ‘saya tahu kamu takut dengan kami, maaf kalau kami menyeramkan’ sambil memberikan beberapa bungkus makanan. Katanya memang sengaja dipesan buat saya dan suruh dibagikan ke teman-teman saya juga.”

Sejak saat itu, hubungannya dengan para tetangga kosnya jadi tak berjarak lagi. Ia jadi kerap berbagi cerita sampai akhirnya memahami sisi lain dari seorang debt collector yang selama ini dianggap musuh masyarakat.

“Saya akhirnya memahami mereka ini manusia juga. Punya perhatian sama sesama. Terharu mendengarkan bagaimana perjuangan mereka menghasilkan uang buat orang tua di kampung,” kata Riko.

“Kalau mereka ada pilihan lain, mungkin tidak akan jadi DC. Celakanya kan, Bang, orang-orang sini senangnya mempekerjakan mereka ya jadi penagih utang saja.”

Merasa dibekingi dan selamat dari konflik di Babarsari gara-gara DC

Kendati demikian, sisi garang para DC tersebut cukup menjadi privilese bagi Riko. Bagaimana tidak, gara-gara dekat dengan para DC Babarsari tadi, ia merasa tak ada yang berani mengganggunya. Baik di kampus maupun jalanan.

“Padahal aku juga nggak bakal ngapa-ngapain, berantem saja tidak bisa,” ujarnya sambil tertawa.

Hal yang paling dia syukuri terjadi tahun lalu. Saat kekerasan terjadi di hampir tiap sudut kawasan Babarsari, kos-kosannya kondusif.

Bahkan, ketika ada rumor terkait sweeping etnis tertentu, para penghuni di sana memberikan jaminan bahwa Riko bakal aman-aman saja.

“Padahal isu sweeping kemarin kencang sekali. Dan kalau dipikir-pikir, saya harusnya jadi target, Bang. Tapi mereka melindungi saya dari malapetaka itu.”

Riko pun akhirnya bisa menyimpulkan, memang ada banyak aksi kekerasan di Babarsari. Tapi, menganggap kawasan ini sebagai tempat yang harus dijauhi, rasa-rasanya adalah pola pikir yang keliru.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Babarsari Adalah Contoh Kawasan Pendidikan yang Tak Ramah Perempuan, Kekerasan Seksual Kerap Mengintai

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version