Begini rasanya tinggal di rumah subsidi seharga Rp150 juta di pinggiran Jogja.
***
Aku berdiri di antara deretan rumah mungil beratap merah di pinggiran Sleman. Luasku hanya tiga puluh meter persegi. Berdinding krem pucat yang menahan panas siang dan dingin malam.
Dari luar aku tampak biasa. Soalnya, aku cuma satu dari ribuan rumah bersubsidi yang dibangun lewat program pemerintah. Namun, di dalam tembok sempitku, sepasang muda-mudi memulai hidup baru mereka, menata masa depan dengan gaji pas-pasan dan harapan sederhana.
Mereka adalah Darius (26), lelaki asal Gunungkidul, dan istrinya Rara, perempuan yang lahir di salah satu kota Jawa Barat.
Setiap pagi, aku menyaksikan keduanya berangkat kerja hampir bersamaan. Istri mengunci pintu, sementara suaminya mendorong motor keluar dari halaman kecil yang cuma muat satu kendaraan roda empat.
Mereka jarang berbicara banyak di pagi hari. Biasanya cuma bertukar senyum dan doa singkat sebelum jalan berpisah. Sementara di sekelilingku, suara pembangunan masih sering terdengar. Jalan diperlebar dan deretan ruko baru tumbuh perlahan.
Kadang, orang-orang yang lewat berhenti sejenak, menatap barisan rumah seperti diriku sambil berbisik, “Masih ada ya rumah semurah ini.”
Gaji yang tak seberapa untuk rumah subsidi kecil
Darius dan Rara datang setahun yang lalu. Truk bak terbuka membawa kasur, lemari kecil, dan beberapa perabotan lain. Saat pintu dibuka untuk pertama kali, aku mendengar suaranya Darius yang lega.
“Akhirnya, punya rumah sendiri juga,” ucapannya pelan, tapi penuh dengan keyakinan.
Aku adalah bagian dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), skema pemerintah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah, seperti Darius dan Rara, untuk memiliki rumah sendiri.
Gara-gara itu, orang-orang kota pun kerap menyebutku rumah subsidi dengan nada mengolok-olok. Seolah kata “subsidi” itu sinonim dari “kekurangan” atau “miskin”.
Apa mau dikata, hargaku memang cuma Rp150 juta, dengan bunga tetap 5 persen per tahun dan tenor 5 hingga 20 tahun. Tak ada fasilitas mewah yang bisa kutawarkan.
Namun, bagi Darius dan Rara, kecil-kecil begini aku bukan sekadar bangunan. Bagi mereka, aku aku adalah wujud nyata harapan dan simbol kemandirian. Dari yang kudengar, Darius pernah bilang, “lebih baik punya rumah kecil daripada masih ikut orang tua.”
Setiap bulan, Darius dan Rara menabung dan mencicil dengan sabar, membayar sedikit demi sedikit agar satu hari nanti aku benar-benar menjadi milik mereka. Mereka sama-sama menyisihkan gaji yang tak seberapa untuk membayar cicilan.
“Sepuluh tahun, habis itu lunas,” kata Darius.
“Sudah kecil, jauh dari pusat perkantoran”
Bulan-bulan pertama Darius dan Rara menempatiku, dipenuhi kebahagiaan sederhana. Aroma kopi dari dapur, suara piring beradu di rak, tawa kecil saat menjemur pakaian di halaman sempit.
Di ruang tengah selebar dua langkah, mereka menonton film dari laptop atau makan mie instan sambil bercanda. Aku kecil, tapi mereka membuatku terasa luas.
Sialnya, lama-kelamaan suara sumbang dari luar mulai masuk.
“Teman kantor nyaranin pindah aja,” ucap Rara suatu sore. “Katanya rumah kayak gini sumpek.”
Mendengar itu, Darius cuma tertawa. Tapi di balik tawanya, ada rasa sakit tak tertahankan. Sebab, suara-suara itu memang bukan ocehan kosong. Menurut survei Kementerian PUPR (2024), lebih dari 60 persen masyarakat menilai rumah subsidi tipe 30-36 meter persegi, seperti aku ini, memang terlalu kecil untuk ditinggali keluarga muda.
Di lain waktu, telepon berdering. Dari kampung halaman, suara ibu Darius terdengar lembut, tapi bikin nyesek.
“Ngapain cari rumah jauh-jauh, di sini kan masih ada tanah.” Kata-kata yang bikin Darius melamun, merokok sendirian di teras sempit, sambil mempertanyakan pilihannya.
Memang, rumah subsidi seperti aku biasanya dibangun di pinggiran kota, jaraknya rata-rata 15-20 km dari pusat perkantoran. Sehingga sering dianggap kurang strategis.
Meski kecil dan jauh dari pusat kota, Darius berungkali bilang kalau itu tak masalah. Baginya, aku lebih dari sekadar ukuran atau jarak, tapi tempatnya membangun mimpi kecil bersama sang istri.
Rumah subsidi jadi “pilihan terbaik” di tengah keterbatasan
Sementara di ruang tengah, dari video yang mereka tonton, aku mendengar kabar dari dunia luar. Dari yang kudengar, kebutuhan rumah kian mendesak tapi harga tanah yang terus melambung. Katanya, negara ini membutuhkan 12,7 juta unit rumah, dan separuhnya untuk generasi muda.
Informasi lain menyebut, lebih dari 75 persen rumah tangga muda di kota besar belum mampu membeli rumah nonsubsidi.
Harga rumah di pinggiran Sleman, tempat aku berdiri ini, terus naik setiap tahun–naik lebih cepat dari gaji bulanan mereka. Upah minimum di Sleman tahun ini sekitar Rp2,2 juta per bulan, sementara rumah tapak nonsubsidi sudah menembus Rp600-900 juta.
Rumah seperti aku, seharga Rp150 juta, mungkin tampak kecil, tapi itulah satu-satunya jalan agar Darius dan banyak orang sepertinya bisa punya alamat tetap di dunia yang kian mahal.
Setiap bulan, hampir separuh gajinya habis untuk cicilan. Di luar sana, orang menyebutnya “beban”. Tapi di sini, di balik tembok sempitku, Darius menyebutnya “nekat”.
“Yang penting rumah ini lunas sebelum anak masuk SD,” katanya, setengah bercanda.
Jalan hidup generasi muda
Di luar, dunia bergerak cepat. Banyak anak muda menghadapi dilema yang sama seperti Darius: gaji yang pas-pasan, harga rumah yang melambung, dan pilihan antara menunda kepemilikan atau terus tinggal bersama orang tua.
Generasi mereka kerap dijuluki “generasi sandwich”. Mereka menanggung cicilan, harapan, dan beban hidup orang tua sekaligus. Tapi di sini, di ruang sempitku ini, Darius dan Rara memilih jalan lain: menetap, menata rumah dan masa depan mereka sendiri, meski sederhana.
Setiap cicilan yang mereka bayarkan bukan sekadar angka di buku bank. Itu adalah bukti tekad dan kesabaran, simbol kecil dari kemandirian yang jarang dimiliki banyak orang seusia mereka.
Aku melihat mereka menghitung, menabung, dan merencanakan. Satu langkah kecil demi satu langkah kecil, membangun kehidupan yang bisa mereka sebut milik sendiri.
Di sela kesibukan, mereka tetap menemukan cara membuat aku yang kecil ini hidup. Aroma masakan sederhana, canda di ruang tengah, dan doa yang mengalir dari sudut-sudut ruangan memberi warna pada rutinitas yang kadang berat.
Di tengah harga tanah yang naik tiap tahun dan upah yang tak seberapa, aku, si rumah subsidi seharga Rp150 juta, menjadi fondasi nyata dari stabilitas dan rasa aman bagi mereka.
Rumah seperti aku, meski sederhana, menjadi pengingat bahwa kepemilikan rumah bukan soal mewah atau luas, tapi soal keberanian dan kesediaan untuk menetap dan bertahan. Darius dan Rara menunjukkan bahwa di dunia yang semakin mahal ini, rumah kecil seperti aku bisa memiliki makna besar: tempat untuk bertumbuh, belajar, dan menemukan kestabilan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Duka Setelah Merantau: Ketika Rumah Menjadi Tempat yang Asing untuk Pulang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
