Konon, Purwokerto menjadi salah satu kota paling layak huni di Indonesia. Sayangnya, lima tahun hidup di sini, justru menyadarkan kalau kota ini sama bermasalahnya dengan Jogja.
Pada 2018 lalu, Dian (24) diterima di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Kota kecil di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah itu memang menjadi tujuan utamanya buat melanjutkan kuliah.
Lahir dan besar di Jogja, membuat Dian merasa kalau kota asalnya itu sudah terlalu “overrated” untuk disebut kota pendidikan. Jogja yang semakin ramai, bagi Dian, juga makin tak nyaman buat dia tinggali.
“Kalau nggak Bandung, ya Purwokerto. Pokoknya nyari alternatif kota pendidikan lain selain Jogja, soalnya di sini udah gak layak menyandang julukan itu,” kata Dian saat Mojok hubungi Kamis (27/6/2024) siang.
Makanya, saat ada pengumuman lolos SNBT (SBMPTN) di Unsoed, Dian sangat senang. Sebab, menurutnya, selama ini Purwokerto memang lekat dengan label “kota layak huni”. Indikatornya: biaya hidup murah, kuliner melimpah, dan warganya ramah-ramah.
“Tapi itu dulu, lima tahun lalu. Setelah lama hidup di sini, hadeh, nggak juga tuh.”
Tukang parkir Purwokerto dan Jogja sama-sama problematik
Di Jogja, parkir adalah isu yang tak berujung. Mojok sendiri kerap menulis artikel yang membahas betapa problematiknya tukang parkir di Jogja. Khususnya yang nuthuk harga di tempat-tempat wisata.
Delapan belas tahun hidup di Jogja, Dian sudah sangat hafal dengan masalah tersebut. Namun, saat awal-awal masuk kuliah, betapa kagetnya dia karena ternyata tukang parkir yang problematik itu juga menjamur di Purwokerto.
Dian ingat betul, baru dua hari ngekos di Purwokerto, ia sudah merasakan “disemprit” oleh pasukan rompi kuning ini. Parahnya lagi, ia dimintai tarif parkir di tempat-tempat yang jelas ada tulisan “parkir gratis”.
“Yang aku ingat sampai sekarang, aku lagi cari bantal dan guling di sebuah tempat belanja. Jelas-jelas ‘parkir gratis’, eh, pas mau balik tetep aja ada bapak-bapak minta 2 ribu,” kenangnya, kesal.
“Apalagi pas mau balik aku beberapa kali mampir ATM dan Indomaret. Yah, dua ribu lagi, dua ribu lagi. Pernah kukasih seribu nggak mau dong.”
Sebulan tinggal di Purwokerto, Dian pun menyadari kalau kota ini juga punya masalah dengan tukang parkir. Saat dia mendiskusikannya dengan mahasiswa asli Purwokerto, problem itu diakui memang sudah mengakar.
Yang lebih mengagetkan Dian, ternyata ada kampus swasta yang menarik tarif parkir bagi mahasiswanya.
“Aku kan datang ke acara temenku, di salah satu PTS Purwokerto. Jadi, kalau parkiran dalam kampus penuh, mahasiswa diarahkan ke lahan samping kampus gitu. Aku ngiranya gratis, ternyata bayar,” ujarnya.
“Gila, ya, di kampus aja masih ada orang yang narikin parkir.”
Baca halaman selanjutnya..,
Biaya hidup murah? Eits, tunggu dulu!
Konon, Purwokerto merupakan salah satu kota dengan biaya hidup rendah. Kalkulasi BPS, misalnya, menemukan angka biaya hidup di ibukota Kabupaten Banyumas ini sebesar Rp5,88 juta per bulan. Hanya kalah murah dari Cilacap, Maumere, Sibolga, Kudus, dan Tegal.
Sayangnya, menurut Dian, data itu “cuma di atas kertas”. Karena faktanya, Purwokerto tak semurah yang dibayangkan.
Soal biaya kuliah yang tinggi di Unsoed, Dian tak terlalu mempermasalahkan. Sebab, besaran UKT yang dia terima sudah disepakati di awal.
Namun, baginya yang ngekos di kawasan Grendeng, cukup sulit buat menemukan makanan murah tapi tetap proper. “Ada yang all in 10 ribuan begitu. Ya tapi tipe makanan yang penting asin dan berkuah saja,” kata Dian.
Buat makanan standard, rata-rata tiap makan ia harus merogoh kocek sampai Rp20 ribu. Itu adalah harga untuk nasi ayam, sayur, dan minuman.
Menurut gosip underground alias gogon yang dia dengar, sejak beberapa tahun ke belakang Purwokerto memang mengalami “Jabodetabekisasi”. Banyaknya mahasiswa yang berasal dari kawasan ibu kota bikin pemilik usaha kuliner di sini menaikkan standard harga.
“Ya, tapi itu kan gosip. Butuh ada penelitiannya lah, anjay! Tapi yang jelas, kopian di sini sudah nyentuh 20 ribuan semua. Kayak di Jogja.”
Keringat buruh dihargai sangat murah, ada yang Rp900 ribu sebulan
Akhir 2023 lalu, Dian lulus dari Unsoed Purwokerto. Namun, ia belum bisa meninggalkan kota ini. Masih ada beberapa proyek yang kudu ia selesaikan.
Saat ini pun, ia masih terikat kerja magang dengan salah satu instansi pemerintah di kota tersebut. “Alhamdulillah, ya, meski aku statusnya magang tetap ada fee yang layak. Tapi jangan salah juga, teman-temanku banyak yang underpaid.”
Salah satu lulusan Unsoed Purwokerto yang pernah Mojok wawancara adalah Olin (25). Perempuan asal Jogja ini merupakan pekerja media yang menerima gaji hanya Rp1,9 juta per bulan.
Angka itu jelas di bawah UMR Purwokerto. Per 2024, besarannya berada di angka Rp2,19 juta. Masih kalah dengan Jogja yang ada di angka Rp2,4 juta.
Itu pun, beberapa rekan kerjanya yang statusnya belum tetap, ada yang mendapat gaji Rp900 ribu per bulan.
“Orang Jogja pasti familiar kan kalau sudah bahas upah murah?,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News