Program “Satu Kampung Satu Bidan” satu bidan nakes di setiap kampung untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di Jogja secara menyeluruh. Tujuannya, untuk menyediakan skrining kesehatan, pendampingan, kunjungan rumah, hingga koordinasi dengan puskesmas, sehingga dapat meningkatkan kesehatan ibu, anak, dan seluruh keluarga.
***
Masyarakat Kota Jogja kini tak punya alasan baru untuk khawatir soal akses layanan kesehatan. Lewat program “Satu Kampung Satu Bidan”, Pemerintah Kota (Pemkot) berupaya memastikan setiap warga, dari bayi hingga lansia, mendapat perhatian kesehatan langsung di lingkungan tempat tinggalnya.
Sebelum program ini diluncurkan pada Oktober 2025, Dinas Kesehatan Kota Jogja mencatat masih ada kesenjangan layanan antara kawasan padat penduduk dengan akses jalan sempit dan wilayah yang lebih terbuka.
Dalam laporan kesehatan daerah 2024, disebutkan bahwa sekitar 15 persen warga lansia di kota ini jarang melakukan pemeriksaan rutin karena keterbatasan mobilitas dan akses menuju puskesmas. Sementara di kalangan muda, kendalanya justru lain: rasa malas dan anggapan bahwa berobat itu ribet.
Gen Z yang kini tak lagi ogah periksa
Dita (22), mahasiswi asal Kotagede, termasuk dalam kelompok terakhir itu. Ia mengaku selama ini menunda-nunda berobat setiap kali sakit ringan.
“Rasanya repot. Harus antre, terus kalau cuma demam takut dikira manja,” ujarnya, Selasa (11/11/2025). Namun dua minggu lalu, Dita akhirnya memutuskan periksa ke pos kesehatan di kelurahannya setelah meriang beberapa hari.
“Ternyata nakes yang datang masih muda juga. Ngobrolnya enak, kayak temen sendiri,” katanya.
Dari hasil pemeriksaan, Dita hanya butuh istirahat dan vitamin. Namun, pengalaman itu mengubah pandangannya soal layanan kesehatan. “Sekarang lebih yakin kalau puskesmas itu bukan cuma buat orang tua,” ujarnya.

Dita adalah contoh kecil dari perubahan yang diharapkan Pemkot di bidang kesehatan. Selain memperbaiki pelayanan kesehatan, terutama di puskesmas, Pemkot Jogja juga memiliki program “Satu Kampung Satu Bidan”.
Program ini menugaskan satu tenaga kesehatan–bidan atau nakes–untuk menjadi penanggung jawab kesehatan di tiap kampung atau kelurahan. Mereka bukan hanya menunggu pasien datang, tapi aktif mendatangi warga di wilayah binaannya.
“Puskesmas tanpa dinding”
Dalam peluncuran program ini pada 3 Oktober 2025 lalu, Wali Kota Jogja Hasto Wardoyo menyebut program ini sebagai bentuk nyata konsep “puskesmas tanpa dinding”. “Bidan tidak boleh hanya menunggu di fasilitas kesehatan, tapi harus hadir di tengah masyarakat,” ujarnya.
Saat itu, Hasto menyebut bahwa dalam tahap awal, program ini akan menempatkan 45 bidan di 45 kelurahan, yang nantinya akan diperluas hingga mencakup 169 kampung di seluruh wilayah kota. Mereka mendapat dukungan dari Dinas Kesehatan, puskesmas wilayah, dan organisasi profesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kota Jogja.
Tugas mereka mencakup lima fokus intervensi: penyakit menular (seperti TBC dan HIV), penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes), pencegahan stunting, kesehatan lansia, dan kesehatan jiwa termasuk pemantauan ODGJ.
Setiap bidan wajib mendata warga dengan sistem by name, by address, dan melaporkannya lewat aplikasi Jogja Sehat, bagian dari platform Jogja Smart Service (JSS).

Konsep ini memungkinkan pemerintah memantau kondisi kesehatan masyarakat secara real-time. Bila ditemukan kasus berisiko tinggi–seperti ibu hamil dengan tekanan darah tinggi atau lansia dengan gula darah tak stabil–petugas bisa segera mengatur kunjungan rumah atau rujukan ke puskesmas.
“Mengetuk pintu” para lansia
Tak hanya bagi generasi muda seperti Dita, program ini juga menyentuh mereka yang kerap terabaikan: para lansia. Di Kelurahan Gedongtengen, misalnya, belasan warga lanjut usia kini rutin dikunjungi tenaga kesehatan dari puskesmas setempat.
Salah satunya Wahyuni (68), yang tinggal di gang sempit tak jauh dari Pasar Kembang. Ia mengaku jarang keluar rumah karena lututnya sering nyeri.
“Dulu saya pikir kalau ke puskesmas mesti jalan jauh. Sekarang malah bidannya yang datang,” ujarnya, Kamis (5/11/2025) lalu.
Setiap beberapa hari sekali, petugas datang membawa alat tensimeter dan glukometer, memeriksa tekanan darah dan gula darahnya. Kadang mereka juga membantu mengganti perban luka atau sekadar berbincang soal makanan sehat.
“Senang rasanya diperhatikan. Nggak merasa sendirian,” kata Wahyuni.

Menurut data Pemkot, sejak uji coba awal program ini, lebih dari 1.000 lansia jompo di Kota Jogja telah dijangkau layanan kunjungan rumah. Program ini diharapkan membantu meningkatkan kualitas hidup kelompok usia tua yang kini mencapai 16 persen populasi kota, salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Jogja, Aan Iswanti, menyebut bahwa hingga akhir 2025, program ini telah menjangkau total 169 kampung. Artinya, di setiap kampung di Kota Jogja, sudah ada bidan atau nakes yang berkoordinasi dan bertanggung jawab atas kesehatan warga di sana.
“Sementara tenaga tambahan juga sudah ada di masing-masing puskesmas pusat yang ada di 45 kelurahan,” ujarnya, saat dihubungi Mojok, Jumat (14/11/2025). Dengan demikian, target awal program untuk menjangkau seluruh kampung sudah tercapai.
Aan juga menjelaskan, 169 bidan atau nakes di 169 kampung inilah yang bertugas jemput bola ke rumah-rumah warga–seperti Wahyuni–untuk melakukan screening dan pemeriksaan. Biasanya, warga akan mendapatkan pemeriksaan di rumah masing-masing tiga bulan sekali.
“Sedangkan di puskesmas, warga juga tetap melakukan pemeriksaan kesehatan rutin tiap Jumat,” imbuhnya.
Melintasi gang sempit, menyentuh semua usia
Ciri khas Kota Jogja adalah kepadatan permukimannya. Di beberapa wilayah seperti Kotagede, Ngampilan, dan Pakualaman, banyak rumah hanya bisa diakses lewat gang selebar satu meter. Kondisi itu selama ini menyulitkan pelayanan kesehatan konvensional.
Program Satu Kampung Satu Bidan mencoba menjawab tantangan itu. Para bidan dan tenaga kesehatan tak lagi menunggu pasien di puskesmas, tetapi menembus gang-gang sempit dengan tas peralatan medis di tangan. Beberapa bahkan menggunakan sepeda motor kecil untuk menjangkau wilayah yang padat.
“Inti program ini memang jemput bola, karena kami melihat bahwa untuk kasus seperti lansia, kita yang harusnya hadir ke mereka, bukan sebaliknya,” tegas Aan.
Ia menambahkan, bahwa masih ada beberapa tantangan dan evaluasi. Khususnya soal koordinasi antara para bidan, warga binaan di kampung, dan nakes di puskesmas pusat sebagai koordinator. Namun, dengan sistem berbasis aplikasi, ini juga dianggap memudahkan koordinasi dan tindak lanjut–dan diharapkan bisa mengatasi tantangan yang ada di lapangan.
Bagi Gen Z seperti Dita, bidan muda yang ramah bisa membuat kesehatan terasa lebih dekat dan ringan. Sementara bagi Wahyuni dan para lansia lain, kehadiran petugas di depan rumah adalah tanda bahwa mereka masih diperhatikan.
Seperti diakui Aan, program “Satu Kampung Satu Bidan” mungkin belum sempurna. Ia masih perlu dukungan, pelatihan, dan evaluasi berkelanjutan. Namun, satu hal jelas: di Jogja, akses kesehatan kini tak lagi terhalang oleh jarak, usia, atau gang sempit.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Bedah Rumah, Harapan Baru Warga Kota Jogja Memiliki Hunian Layak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












