Selain harganya yang sangat murah, nyaris tak ada yang spesial lagi dari Kereta Api (KA) Sri Tanjung. Sebagai kereta kelas ekonomi rute Jogja-Surabaya-Banyuwangi, penumpang sulit buat berekspektasi tinggi dalam hal pelayanan maupun fasilitas yang diberikan.
Kalau kata para penumpang setianya, “apa sih yang diharapkan dari kereta dengan harga tiket 88 ribu?”. Hal paling mewah adalah bisa menang war tiket. Sebab, karcis kereta yang dalam sehari punya dua waktu keberangkatan ini selalu ludes. Jauh-jauh hari sebelum hari H keberangkatan, kita sudah harus booking.
“Sing penting berangkat! Nggak peduli duduk tegap badan pegel-pegel,” ujar Wisnu (23), pekerja asal Jogja yang baru-baru ini menaiki KA Sri Tanjung.
Saya, bersama Wisnu, memang kembali menaiki si ular besi itu pada Sabtu (13/7/2024) kemarin. Sebenarnya, bagi saya, KA Sri Tanjung bukanlah kereta yang asing karena sudah sering menggunakannya buat bepergian. Terutama ke Surabaya dan Sidoarjo.
Namun, khusus buat Wisnu, itu adalah pengalaman pertamanya. Sabtu pagi kemarin, kami berangkat dari Stasiun Lempuyangan Jogja menuju Madiun, Jawa Timur, untuk menghadiri sebuah acara.
Bagi Wisnu, di antara kereta yang pernah ia naiki, KA Sri Tanjung adalah yang paling “kurang”. Namun, bagi saya di hari itu, kereta ini menjadi saksi dari banyaknya kisah sedih bin haru dari para penumpangnya.
Berkat KA Sri Tanjung, bisa melihat wajah almarhum ayahnya untuk terakhir kali
“Sri Tanjung itu kereta andalan ‘wong kalahan’, Mas. Yo seperti saya ini,” ujar Reinald (28), penumpang lain yang kebetulan pada Sabtu (13/7/2024) kemarin satu tujuan dengan saya dan Wisnu, yakni Madiun.
“Ibaratnya, obat luka saya yang diobrak-abrik semesta, Mas,” imbuh lelaki asal Surabaya yang bekerja di Jogja ini.
Reinald bercerita, pada 2021 lalu, Covid-19 sedang parah-parahnya. Kondisi itu pula yang bikin dia kehilangan pekerjaan karena di-PHK. Alhasil, pilihannya saat itu cuma satu: bertahan sekuat mungkin di Jogja sampai pandemi reda, karena tak mungkin pulang ke rumah.
Ada dua alasan kenapa Reinald mustahil buat memutuskan pulang. Alasan pertama, syarat bepergian ribet. Naik kereta kudu menunjukkan swab test, sementara kalau naik bus, kata dia, tarif sudah naik sampai 4 kali lipat.
“Alasan kedua, yang sudah jelas, di rumah mau ngapain, Mas? Aku blas nggak duwe duit. Kalau pulang aku cuma jadi beban.”
Kepiluan demi kepiluan menghiasi hari-hari Reinald di kos-kosan. Namun, kepiluan terberat yang ia rasakan adalah saat mendapat kabar ayahnya meninggal karena Covid-19. Kabar itu ia dapatkan pukul 2 pagi. Tangis yang tak terbendung pun membangunkan kawan kos yang lain.
Dalam situasi tersebut, Reinald sangat kebingungan. Di satu sisi, ia tak bisa pulang karena uangnya hanya tersisa berapa puluh ribu saja. Namun, di sisi lain, bagaimana mungkin ia tak pulang ke rumah untuk melihat jasad sang ayah buat terakhir kalinya.
“Aku ingat betul, teman-teman pada patungan. Jam 3 aku dianter ke klinik buat swab test habis 300 ribu. Kemudian saat itu juga teman yang lain bayarin tiket KA Sri Tanjung jam 7 pagi,” kenangnya.
“Selama perjalanan cuma nangis sambil lihatin jendela kereta, Mas. Sambil merenung, mungkin kalau nggak ada kereta dan bantuan teman-teman, aku nggak mungkin sampai rumah.”
Kisah haru dalam kereta murah ini yang mengubah jalan hidup
Reinald bercerita, setiap kali naik KA Sri Tanjung, kenangannya dengan sang ayah selalu terputar kembali. Apalagi, akhir-akhir ini ia jadi harus sering pulang Surabaya untuk menengok sang ibu. Setidaknya sebulan sekali dia pulang.
“Jadi kalau lagi melamun di kereta, ya itu momen saya mengheningkan cipta, Mas. Ibaratnya ada momen sebulan sekali saya mengingat kembali kenangan-kenangan ayah.”
Tak cuma Reinald, kisah haru dalam KA Sri Tanjung juga pernah dialami Annisa (21). Memang tak semenyakitkan Reinald, tapi pengalaman tersebut seperti cambukan bagi Annisa untuk lebih menghargai hidup.
“Aku lupa kejadian tepatnya, tapi seingatku tahun lalu waktu keluargaku lagi hancur-hancur karena ibu dan ayah mutusin cerai,” kata mahasiswa asal Surabaya yang kuliah di Jogja ini, Selasa (16/7/2024).
Mendengar kabar tak mengenakkan itu, Annisa memutuskan kabur dari rumah. Ia berangkat ke Jogja tanpa izin orang tuanya karena sakit hati. Ia bahkan mengaku, sejak ada kabar perceraian itu, kondisi mentalnya sangat memburuk.
Momen “renaisans”-nya akhirnya muncul di dalam KA Sri Tanjung. Dalam perjalanan menuju Jogja, ia satu kursi dengan anak berusia 15 tahun dengan dua adiknya yang masih kecil. Saat mengobrol, Annisa tahu kalau ketiga bocah itu yatim piatu karena suatu kondisi.
“Jadi si anak yang paling besar, sekitar 15 tahunan itu, jadi orang tua pengganti. Ia rela putus sekolah dan bekerja jadi PRT di Jogja demi adik-adiknya,” kenangnya.
“Aku yang selama ini hidup serba kecukupan kayak dikasih cambukan. Rasanya aku dikalahkan secara bertubi-tubi oleh sang anak.”
Kejadian itu juga yang mengubah pandangan hidup Annisa. Ia tak mau lagi merenungi nasibnya sebagai anak broken home. Kini, ia tergabung dalam sebuah LSM nasional yang punya concern pada isu kesejahteraan anak.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Kenangan dan Harapan Reaktivasi Kereta Purwokerto-Wonosobo, Buat Jawa Tengah Selatan Semakin Hidup
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News