Nyesel Ikuti Perintah Ibu Kuliah Jurusan Guru, Setelah Lulus Jadi Susah Cari Kerja

Usai sarjana malah sulit dapat kerja, kini pilih jadi buruh ketimbang jadi sarjana nganggur. MOJOK.CO

ilustrasi - dipaksa kuliah jurusan guru. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kata orang tua dulu, kamu akan lebih mudah mencari kerja dengan gelar sarjana. Nyatanya, data tahun ini menunjukkan kalau tingkat pengangguran dengan gelar sarjana naik paling pesat. Tak pelak, banyak sarjana nganggur yang memilih kerja lebih realistis ketimbang idealis dan sulit kerja. Misalnya sebagai buruh.

***

Di mana 19 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan oleh pemerintah itu? Tanya Roxi (24) yang sudah setahun lebih lulus dari sebuah institut agama di Palangka Raya, tapi tak kunjung mendapat pekerjaan sesuai harapan orang tuanya.

Terlebih, peluangnya mendapat kerja di tempat asalnya terbilang sempit. Kalau mau tak sulit kerja, lalu digaji besar, pilihannya cuman satu yakni merantau ke kota besar. Begitu kata orang-orang di sekitarnya. Eh, bukannya termotivasi, Roxi malah sangsi. 

Meski tinggal di desa terpencil seperti Luwuk Kantor, Kalimantan Tengah, Roxi masih mengikuti berita soal fenomena masyarakat yang sulit mencari kerja. Salah satunya, agenda job fair di Bekasi yang chaos karena sangking banyaknya pelamar yang antre.

Beberapa berita soal pemutusan hubungan kerja (PHK) juga sering ia dengar. Oleh karena itu, lama-lama Roxi ikut pesimis juga. Khawatir jadi sarjana nganggur, padahal bukan itu harapan orang tuanya dulu saat mendesaknya kuliah. Meski di kampus yang kurang terkenal.

Katanya, yang penting kuliah dulu biar sarjana

Dulu, Roxi punya keinginan menjadi pendeta. Tapi setelah dipikir-pikir, jalan tangga karier tersebut tidaklah mudah. Barangkali mirip seperti dokter yang setelah kuliah harus menjalani program profesi. 

Untuk jadi pendeta harus menempuh masa studi selama 4 tahun. Lalu, 4 tahun lagi jadi viralis. Setelah itu baru bisa disebut pendeta,” ujar Roxi, Kamis (19/6/2025).

Setelah berdiskusi dengan orang tuanya, mereka justru menyarankan agar Roxi menjadi guru. Bahkan mendorongnya kuliah meski kondisi ekonominya kekurangan. Bahkan, ketika Roxi gagal diterima di Universitas Palangkaraya, orang tuanya rela mengeluarkan uang untuk biaya kuliahnya di kampus kurang terkenal dengan jalur mandiri.

“Waktu itu, orang tuaku setuju dan mendukung sekali, padahal aku sempat ragu karena nggak tau bisa dapat uang dari mana. Namun, mereka mendorongku, sehingga aku jadi punya tekad kuliah,” ujar lulusan Sarjana Pendidikan Agama Kristen itu.

Melihat perjuangan orang tuanya, Roxi tak sampai hati untuk menolak. Daripada berdebat panjang, ia akhirnya memilih menjadi guru dan kuliah di sebuah institut agama sampai jadi sarjana. Barangkali, nasihat orang tuanya bisa membantunya agar tak sulit mencari kerja.

Baca Halaman Selanjutnya

Nyatanya, kuliah saja tak cukup

Nyatanya, kuliah saja tak cukup

Setelah menjalani perkuliahan, ia sedikit menyesal. Bagaimana tidak, masih banyak dosen di kampusnya yang tidak disiplin dan mengikuti aturan. Beberapa dari mereka bahkan sampai ditegur karena terlalu sering absen mengajar.

Jadi boro-boro mau jadi guru, untuk dapat gelar sarjana saja susah karena ketidakefektifan pengajarnya. Alhasil, ia menempa diri secara mandiri dengan aktif berorganisasi seperti OSIS. Walau sebenarnya tak terlalu berguna, apalagi untuk menjalani kehidupan setelah sarjana.

Usai lulus. Roxi baru menyadari bahwa proses pengangkatan guru terlalu rumit. Pemerintah menghapuskan status guru honorer di sekolah negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, hanya terdapat dua jenis pegawai ASN yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).

Alur pengangkatan guru yang penuh ketidakpastian itu juga membuat Roxi semakin bingung. Berdasarkan informasi yang ia ketahui saat itu, pengangkatan PPPK harus mengikuti pelatihan minimal 2 tahun mengajar.

Atau istilah lain yang dibuat pemerintah adalah Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Untuk mengikuti program tersebut, pendaftarnya pun harus sudah punya tempat mengajar.

“Pertanyaannya adalah, gimana bisa masuk PPPK atau PPG, sedangkan guru honorer dihapus?” tanya dia. 

Alih-alih membangun kesejahteraan guru, Rozi merasa kebijakan di atas malah kurang tepat. Bahkan guru honorer pun masih bisa mendapatkan gaji meski sedikit. Berbeda dengan syarat PPG yang baru dapat gaji jika dinyatakan lulus.

“Alhasil, banyak juga teman-temanku yang kerjanya tidak sesuai profesi, bahkan setahuku banyak yang nganggur setelah sarjana,” kata Roxi.

Pilih kerja realistis ketimbang jadi sarjana nganggur

Hingga saat ini, Roxi pun masih berjuang mencari sekolah yang punya kuota kosong untuk guru pendidikan agama Kristen. Sebab, peluangnya akan lebih besar. 

Sayangnya, nasib baik tak kunjung menghampirinya. Sudah puluhan sekolah yang ia kunjungi di Palangkaraya, tapi tak ada satupun yang menghubunginya. Tak pelak membuat Roxi berpikir, sulitnya mencari kerja. 

Oleh karena itu, daripada menganggur dan sering overthinking karena mengecewakan orang tua, Roxi memilih kerja sebagai buruh tambang. Mengikuti jejak kakaknya. Meski ia tahu, bukan ini yang diharapkan orang tuanya setelah lulus dan mendapat gelar sarjana.

Tapi minimal, dari gaji buruh itu ia bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Tentu saja pekerjaan itu tak membutuhkan gelar sarjana, yang penting adalah rajin dan beruntung. 

Sebab, pekerjaan yang ia lakukan adalah nyedot. Sangat bergantung dengan ada tidaknya emas di tanah.

“Ada beberapa jenis cara nyedot, aku sendiri pakai kupas. Kami dibagi tim kerja sekitar 5-6 orang yang tugasnya nyedot satu lubang. Jika mujur, upah kami per orang bisa Rp3,7 juta dalam 20 hari kerja,” jelas Roxi.

Meski begitu, risikonya tidak sepele. Sebab, kata Roxi, taruhannya adalah nyawa. Tapi, mau bagaimana lagi? Hidup memang tak bisa ditebak. Ia pun tak pernah membayangkan akan kerja menjadi tukang sedot, alih-alih mengikuti mimpi orang tuanya yang menyuruhnya menjadi guru.

“Mau tidak mau, saya harus lakukan karena kebutuhan ekonomi dan belum ada lowongan sekolah untuk saya mengajar,” ucapnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA:  Ijazah S1 Kampus Malang Terasa Sia-sia karena PHK di Usia Tua, Ribuan Lamaran Kerja Juga Ditolak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version