Presiden Prabowo Subianto meminta sejumlah kementerian untuk menghapus kuota impor, khususnya kepada komoditas yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Prabowo menginstruksikan langsung perintah penghapusan kuota impor tersebut kepada Menteri Negara Koordinator (Menko) seperti Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Gubernur Bank Indonesia, hingga Ketua Dewan Energi Nasional (DEN).
“Siapa yang mampu, siapa yang mau impor, silakan, bebas. Tidak lagi kita tunjuk-tunjuk hanya ini yang boleh, itu tidak boleh,” tutur Prabowo pada acara Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta yang dikutip dari laman resmi Sekretariat Presiden pada Kamis (10/4/2025).
Dengan begitu, Prabowo berharap pelaku usaha jadi lebih mudah dalam berbisnis. Tidak terjerat birokrasi yang rumit. Pengusaha dapat memasukkan komoditas barang apapun dari luar negeri ke dalam negeri.
“Rakyat kita juga pandai kok, iya kan. Bikin kuota-kuota, abis itu perusahaan A, B, C, D yang hanya ditunjuk. Hanya dia boleh impor, enak saja,” sindir Prabowo kepada pelaku usaha.
Ia berujar salah satu kuota impor yang tak lagi dibatasi misalnya adalah daging, tapi ia mengkritik penuh praktik penyelundupan dan hambatan di sektor bea cukai. Jika ada tindakan dari individu, pejabat, kelompok pemerintah, atau swasta yang tidak sesuai, masyarakat dapat langsung melaporkan.
“Para pengusaha itu menciptakan lapangan kerja. Pengusaha itu adalah pelaku yang di depan. Oke, dia boleh cari untung, enggak ada masalah. Tapi kita juga minta para pengusaha bayar pajak yang benar,” ucapnya.
Jika Prabowo benar-benar menghapus kuota impor
Masalahnya tak semudah itu, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai kebijakan penghapusan kuota impor bisa dipahami secara multitafsir. Kebijakan dari Prabowo itu, kata dia, tidak seharusnya diartikan sebagai impor yang sebebas-bebasnya. Tidak juga tanpa aturan seperti tidak ada lagi kuota. Lagi-lagi, semua harus tetap ada aturan dan sesuai dengan mekanisme pasar.
“Tafsir atau pemaknaan ‘bebas’ itu tidak tepat. Jika Presiden memaknai demikian, bukankah itu bertolak belakang dengan semangat kemandirian? Semangat swasembada yang diusung Asta Cita? Bukankah Presiden juga berulangkali bilang dunia menuju proteksionisme,” tutur Khudori dari keterangan tertulis yang diterima Mojok pada Kamis (10/4/2025).
Proteksionisme merupakan kebijakan ekonomi yang penting dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri. Biasanya dilakukan pemerintah dengan cara membatasi impor barang dan jasa dari negara lain seperti pembatasan tarif, kuota, dan sebagainya.
Khudori khawatir jika kebijakan pembebasan kuota impor yang dikatakan Prabowo justru diartikan impor yang sebebas-bebasnya, karena dalih harga pangan domestik yang mahal. Alhasil, semangat swasembada pangan pun tidak akan tercipta.
“Di balik dalih (harga pangan domestik mahal), kehidupan jutaan petani, peternak, tukang kebun, dan nelayan dipertaruhkan,” ucap Khudori.
Padahal, kondisi pasar domestik saat ini sedang rapuh. Khudori menjelaskan jika pasar domestik dibanjiri impor murah, maka para petani, peternak, tukang kebun, nelayan bisa semakin susah.
Pengendalian impor memicu praktik korupsi
Saat ini saja, jumlah kuota impor yang sudah ditetapkan belum transparan. Bahkan sering menjadi ajang sikap pilih kasih terhadap kelompok tertentu yang menganaktirikan kelompok lainnya. Khudori khawatir ‘kebijakan pengendalian impor berbasis rezim kuota’ merupakan akar dari korupsi.
Lihat saja kasus korupsi yang terus berulang di sektor pangan, misalnya korupsi kuora impor bawang putih tahun 2019 yang dilakukan oleh Nyoman Dhamantra, skandal penentuan kuota impor gula oleh Irman Gusman tahun 2016, hingga kasus suap impor daging sapi yang dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaaq pada tahun 2019.
Berangkat dari kasus di atas, Khudori melihat suatu pola di mana praktik korupsi kuota impor pangan sebelum era pemerintah Prabowo melibatkan tiga pihak. Pertama, pengusaha sebagai penyuap. Kedua, birokrat sebagai pemberi izin impor atau kuota. Dan ketiga, politikus yang memperdagangkan pengaruh.
Dengan kata lain, pengendalian impor justru memfasilitasi ketiga pelaku tersebut untuk melakukan praktik korupsi atau bisnis kartel, yakni persekongkolan antar pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar.
“Intinya, pemerintah membagi kuota impor kepada importir sesuai kebutuhan domestik. Nah, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha,” kata Khudori.
“Yang paling dirugikan dari praktik lancung ini adalah konsumen. Mereka terpaksa harus membeli komoditas pangan jauh lebih mahal dari seharusnya,” lanjutnya.
Pesan kepada kabinet Prabowo
Alih-alih melakukan penghapusan kuota impor, Prabowo beserta menterinya bisa memperkatat pengawasan terhadap tarif impor. Khudori menjelaskan pemerintah bisa melindungi produsen pangan domestik dari tarif impor.
“Tinggal dihitung, berapa tingkat tarifnya. Tingkat tarif ini bisa dibuat fleksibel, mengikuti pergerakan harga komoditas pangan di pasar dunia dan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Dengan begitu, seluruh pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama. Tarif tersebut bisa dimanfaatkan untuk memberikan insentif kepada produsen pangan domestik yang produk impornya dikenai tarif.
Lebih-lebih, Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Ketimbang memberlakukan penghapusan kuota impor yang mengancam kehidupan petani, tukang kebun, dan nelayan, tarif impor tidak bertentangan dengan aturan WTO sama sekali. Khudori berharap Prabowo beserta kabinetnya memikirkannya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: “Oke gas ndasmu!”–Seruan Massa Aksi Jogja Memanggil yang Ingin Prabowo-Gibran Turun Jabatan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
