Mengubur Mimpi dan Depresi, Dugaan Calon Dokter Spesialis PPDS UGM Dirundung dan Alami Kekerasan Fisik di RS Sardjito

Ilustrasi kekerasan terhadap calon dokter spesialis PPDS UGM (Ega/Mojok.co)

Eks calon dokter spesialis PPDS UGM mengungkap pengalaman alami perundungan dan kekerasan fisik selama bertugas di RS Sardjito hingga depresi. Ia memutuskan keluar dan mengubur mimpinya menjadi dokter spesialis.

***

“Aku mengundurkan diri. Dalam surat pengunduran diri kutulis alasan bahwa proses pendidikan tidak sesuai nurani,” kata Marcel (30), eks peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) UGM.

Butuh waktu baginya, untuk mengumpulkan keberanian berbagi kesaksian sejak keluar dari PPDS UGM 2022 silam. Tadinya, Marcel sempat ragu diwawancarai soal pengalaman pahitnya selama menjalankan program tersebut di RS Sardjito.

Isu perundungan dan depresi calon dokter spesialis kemudian jadi perbincangan hangat pada pertengahan 2023 silam. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bebeberapa kali angkat suara mengenai persoalan ini.

“Kita menemukan bahwa praktik perundungan ini baik untuk dokter umum, internship, maupun pendidikan dokter spesialis, itu sudah terjadi puluhan tahun,” kata Budi Gunadi dalam konferensi pers, Kamis (20/7/2023) silam.

Terbaru, hasil skrining Kemenkes per Maret 2024 menyebut bahwa 22,4 persen peserta PPDS atau setara 2.715 orang mengalami gejala depresi. Dari data tersebut, temuan tertinggi berasal dari calon dokter spesialis yang bertugas di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan persentase 22,6 persen, RSUP Hasan Sadikin 12,9 persen, dan RSUP Sardjito di peringkat ketiga dengan 12 persen. 

Isu jam kerja yang melampaui batas dianggap jadi salah satu pemicu tingginya angk gejala depresi di kalangan calon dokter spesialis. Namun, senioritas hingga kekerasan di lingkungan pekerjaan juga jadi pemicu lainnya.

Di lingkungan RS Sardjito, keluh kesah para residen -sebutan untuk calon dokter spesialis- samar-samar kerap terdengar di sudut-sudut tempat istirahat kerja. Seorang narasumber lain, yang pernah bertugas di salah satu tempat berjualan makanan dan minuman RS Sardjito mengaku kerap mendengar keluhan residen soal beban-beban tambahan dari seniornya.

“Ya keluhannya macam-macam, misalnya karena harus mengurus paper sampai konferensi gitu yang harusnya jadi tugas seniornya,” kata dia.

Tanda janggal sejak awal bergabung PPDS UGM

Mojok mewawancarai Marcel pada Senin (22/1/2024) silam. Ia memberikan kronologi rentetan kasus perundungan hingga kekerasan fisik yang ia alami sehingga berakhir dengan keputusannya mengubur mimpi menjadi dokter spesialis. 

Selepas menyandang delar dokter, ia sempat menjadi dokter internship hingga bertugas sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit luar Pulau Jawa selama hampir setahun. Ia kemudian melanjutkan PTT setahun di Kalimantan sampai akhirnya lolos seleksi pendidikan dokter spesialis pada akhir 2019.

Di momen itulah, ia menyadari bahwa ada yang janggal. Ia dimasukkan ke sebuah grup WhatsApp lalu seniornya mengabari bahwa ia harus datang lebih dini pada akhir Desember. Padahal, program sedianya baru berjalan pada Januari 2020.

“Padahal saat itu masih banyak keperluan administrasi yang harus aku urus karena terikat tanggung jawab dengan RS,” katanya.

Selepas resmi jadi residen, Marcel mengaku mulai merasakan kultur senioritas. Situasi yang memaksa para junior untuk bekerja ekstra demi membantu tugas para seniornya.

“Jadi biasanya selalu ada tugas penulisan ilmiah setiap minggu. Bahkan di masa Covid-19 bisa setiap hari. Ada pula jurnal yang harus kami tulis,” terangnya.

Beberapa oknum senior, menurut Marcel, melimpahkan tugas-tugas semacam itu ke juniornya. Bagi para junior, sulit untuk menghindari tugas tersebut. Sebab, senior punya andil untuk menentukan nilai para adik tingkatnya.

“Ibaratanya nyawa kita kalau mau naik kelas ada di tangan senior dan konsulen (sebutan untuk dokter spesialis yang bertugas mengawasi residen),” kata Marcel.

Menurutnya, relasi dengan senior menjadi bertambah penting lantaran kesempatan terlibat operasi juga banyak ditentukan pilihan senior. Selain senioritas, beberapa bulan setelah menjadi residen Marcel mengaku mendapat kekerasan fisik. Latarbelakangnya ia dianggap melakukan suatu hal yang tak sesuai prosedur.

Dugaan kekerasan di ruang sepi RS Sardjito

Suatu hari pada Agustus 2020, Marcel sedang berada di bangsal rumah sakit saat dua orang dokter konsulen yang sedang melakukan kunjungan mendadak tampak mendekat dari kejauhan. Ia tahu, tindakan junior mendampingi konsulen tanpa kehadiran senior bisa berakibat fatal karena dianggap melangkahi.

“Saat itu kasusnya memang khusus karena pasien buta setelah dilakukan operasi sehingga konsulen visit mendadak,” ujarnya.

Marcel mengaku mencoba menghindar dengan menaiki tangga ke lantai atas. Namun, salah satu konsulen yang ternyata sudah melihat keberadaannya lantas memanggil.

“Dokter (yang bukan konsulen prodi Marcel) ini memang kenal sama aku. Dulu kan memang jadi pengajarku saat masih S1 UGM. Jadi ya mau bagaimana, aneh kalau dia memanggil nggak aku temui,” ujarnya.

Namun, ternyata situasi yang sudah berusaha Marcel hindari berbuah petaka. Tak berselang lama, seorang senior mengetahui bahwa ia mendampingi saat konsulen melakukan kunjungan.

“Udah jago lo visit sama konsulen tanpa lapor kami?” kata Marcel, menirukan teriakan seniornya.

Selepas itu, senior itu memukul perutnya dengan cukup keras. Kejadian itu terjadi pada waktu setelah magrib dan bukan di “ruang gelap” melainkan di bangsal. Istilah “ruang gelap” merujuk pada tempat-tempat tertutup yang tak terjamah publik di rumah sakit.

rs sardjito jogja.MOJOK.CO
Potret RSUP dr. Sardjito di malam hari (Hammam/Mojok.co)

Menurut Marcel kejadian itu disaksikan oleh beberapa residen dan senior. Salah seorang senior yang tidak terlibat dalam kekerasan itu kemudian melerai dan mengingatkan bahwa tindakan pemukulan itu melewati batas.

Selepas itu, saat pulang Marcel menyadari bahwa ada memar yang tampak jelas di bagian perut bagian kanan sisi atas. Foto yang masih tersimpan itu ia tunjukkan kepada Mojok.

Kekerasan lanjutan dan sulitnya menghentikan siklus

Kekerasan itu bukan yang terakhir. Sekitar sepekan berselang para residen dipanggil ke ruangan kosong di belakang salah satu bangsal RS Sardjito jam tujuh malam. Marcel mengaku datang agak telat.

Saat masuk, ia melihat beberapa rekannya sudah berbaris berdiri bersebelahan. Ia langsung bergabung dengan mereka yang sudah mendapat makian dari para senior.

“Kata-kata anjing, bangsat, keluar semua di momen itu,” katanya.

Bagi Marcel, semuanya berjalan begitu cepat, senior tak henti-hentinya berteriak sehingga ia seperti tak punya ruang untuk menjawab. Sejenak kemudian, tumpukan kertas yang lumayan tebal melayang ke muka residen junior yang sedang berbaris.

“Setelah itu ditempeleng satu per satu,” ujarnya.

Marcel kemudian diminta berdiri di tengah disaksikan semua residen lain. Kali ini spesial baginya sebab senior PPDS menganggapnya melakukan kesalahan fatal yang berkaitan dengan alat operasi.

“Aku punya penjelasan yang klir tapi rasanya seperti mengalami kecelakaan motor, cepat, ada makian dan kekerasan fisik, dipukul, didorong, ditampar, mulutku sudah nggak bisa bicara apa-apa,” tuturnya.

Pascakejadian tersebut, menurut Marcel, ada seorang senior yang tak terlibat kekerasan melaporkan kepada konsulen. Marcel pun dipanggil untuk dimintai keterangan.

“Kalau mengaku saat itu, senior mungkin bisa langsung dipanggil dan dikeluarkan. Tindakannya sudah terlalu masif, di sisi lain, mereka juga sudah senior menjelang lulus, aku bimbang saat itu dan akhirnya memutuskan tidak melaporkan (nama pelaku),” katanya.

Marcel sempat mencoba untuk bertahan. Namun, akhirnya pada 2022 silam ia memutuskan untuk keluar dari PPDS UGM. Mengubur mimpinya menjadi dokter spesialis.

“Mimpi jadi dokter spesialis seperti percuma. Itu cita-cita besarku sejak masuk di kedokteran,” ungkapnya.

Upaya pengentasan persoalan

Lelaki ini mengaku mengalami depresi. Selepas keluar dari PPDS UGM, ia masih rutin berkonsultasi ke dokter kejiwaan. Upaya untuk pulih dari luka-luka yang ia dapat selama mencoba menjadi dokter spesialis.

Ia menyarankan, para residen yang mengalami pengalaman jadi korban perundungan lebih baik langsung melaporkan ke hotline yang disediakan Kemenkes di http://perundungan.kemkes.go.id.

“Kalau lapor ke Kelompok Staf Medis (KSM) atau universitas mungkin kejadiannya sama kaya aku. Tidak mudah prosesnya,” tuturnya.

Mojok telah mencoba menghubungi pihak humas RS Sardjito pada Selasa (23/4/2024) untuk meminta keterangan mengenai persoalan depresi residen dan juga kasus perundungan. Namun, hari itu pihak humas mengungkapkan belum bisa memberi keterangan karena masih ada agenda pertemuan.

Sehari berselang, Mojok mencoba untuk mengonfirmasi kembali. Sayangnya, pihak humas memberikan keterangan bahwa harus melakukan izin ke direksi dahulu karena melibatkan dua institusi yakni RS Sardjito dan UGM. 

Sebelumnya, pada Jumat (23/1/2024) silam, FK-KMK UGM dan RS Sardjito sempat membuat respons resmi terkait dugaan perundungan di instasinya. Rilis tersebut menyatakan bahwa kedua instansi berkomitmen untuk memproses segala tindak perundungan.

“Adapun kejadian dugaan perundungan tersebut telah ditangani secara serius oleh tim FK-KMK UGM bersama RSUP Dr. Sardjito sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) serta tetap mengedepankan keadilan dan kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku,” terang rilis tersebut.

Selain itu, kedua institusi menyatakan bahwa telah memberikan sanksi kepada para pelaku secara objektif dan transparan. Namun, tidak ada keterangan latarbelakang peristiwa atau konteks kasus mana yang direspons dalam rilis tersebut.

Sehingga, Mojok juga berupaya meminta keterangan kepada humas RS Sardjito perihal latarbelakang rilis yang tayang tak lama setelah Marcel sempat mengunggah cerita singkat soal perundungan di media sosialnya. Namun, hingga tulisan ini tayang pun belum ada keterangan yang diberikan.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bercita-cita Jadi Dokter Spesialis Tapi Malah Depresi Saat Jadi Residen

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version