Mau tak mau, di Jogja ia kudu mulai beradaptasi. Rendi mencari lingkar pertemanan baru. Namun, cukup lama baginya buat menemukan lingkungan yang cocok dengannya.
“Setelah beberapa bulan kerja di Jogja, baru sadar kalau kota ini nggak seramah yang dibayangkan,” kata pekerja asal Surabaya ini.
Setahun kerja di Jogja, Rendi tiga kali pindah-pindah kos dengan harapan mencari lingkungan yang pas. Namun, di tiap rumah kos yang dia tempati, ada saja situasi yang membuatnya tak betah sampai akhirnya harus pindah.
Penghasilan kerja di Jogja jauh dari kata “menghasilkan”
Tak cuma lingkungan yang bikin tak betah, secara penghasilan pun Rendi juga merasa mengkis-mengkis. Setelah setahun kerja, ia mulai menyadari bahwa gajinya tak sebanding dengan tenaga yang dia keluarkan.
Sebagai informasi, di hotel elite tersebut, pekerja Surabaya ini berstatus pegawai kasual–digaji per shift. Upahnya Rp110 ribu untuk tiap shift yang bahkan bisa mencapai 10 atau 12 jam kerja.
“Seringnya berangkat pagi, jam 6 sampai hotel, jam 7 malam baru pulang,” kata dia.
Masalahnya, jadwal kerjanya tak menentu. Rata-rata ia hanya mendapatkan jadwal masuk empat kali dalam seminggu. Yang artinya, kurang dari Rp500 ribu seminggu.
“Bahkan kalau lagi sepi, low season gitu, cuma dapat jadwal masuk 1-2 hari aja. Kayak bulan puasa ini,” ujarnya.
Sialnya lagi, tiap lebaran Rendi juga sudah pasti tak bisa mudik ke Surabaya. Sebab, momen libur lebaran adalah peak season, yang berarti tenaganya akan dibutuhkan oleh hotel.
“Boleh dibilang, aku kerja cuma buat hari ini. Besok udah beda cerita, apalagi kalau buat nabung, susah,” kata Rendi. “Bener-bener serasa ketipu brosur.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pekerja Surabaya Bergaji Dua Digit “Hijrah” ke Jogja Imbas Efisiensi Prabowo, Berakhir Derita karena Kecilnya UMR atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












