Dunia per-ojolan sedang tidak baik-baik saja. Pemain besar semacam Gojek atau Grab, sedang diterpa isu kesejahteraan para drivernya. Begitu juga ojol alternatif seperti Zendo, bikinan Muhammadiyah, yang nyatanya tak jauh berbeda. Untungnya ada OK-JEK, yang masih menjadi ojol terbaik, setidaknya untuk urusan memanusiakan drivernya.
***
Iqbal adalah seorang pengangguran. Tiap hari ia diomeli oleh ibunya karena cuma makan, tidur, dan nongkrong. Iqbal nganggur bukan tanpa alasan, nyari kerja memang susah karena sempitnya lapangan pekerjaan.
Suatu hari, salah satu kawan menawarinya pekerjaan sebagai tukang ojek pengkolan. Namun, Iqbal menolak karena selain hasilnya tak pasti, kerja informal membuatnya tak memiliki jaminan kerja.
Tanpa sengaja, di sebuah jalan, Iqbal bertemu dengan Asna. Ia merupakan driver ojol perempuan yang dengan seketika menarik perhatiannya. Berawal dari ke-kepo-annya pada sosok perempuan itu, bikin Iqbal akhirnya mendaftar sebagai driver ojol di OK-JEK–tempat Asna kerja.
Tak disangka, dari yang awalnya cuma iseng, ia malah menemukan pekerjaan yang ideal. Penghasilan mencukupi, lingkungan kerja mendukung, serta pekerjaan mengasyikan. Itulah gambaran OK-JEK, di kelapa Iqbal.
OK-JEK, oase di tengah kacaunya dunia per-ojolan
Sialnya, Iqbal adalah tokoh fiksi. Begitu juga dengan Asna maupun tempat kerja mereka yang terlihat menyenangkan itu. OK-JEK hanyalah serial TV komedi yang sempat tayang di NET TV pada 2016 lalu.
Serial itu lahir berkat hype yang begitu besar terhadap fenomena ojek online pada masa itu. Sepuluh tahun lalu, ojol seperti Grab dan Gojek memang diprediksi bakal menjadi pekerjaan ideal di era gig economy.
Makanya, OK-JEK pun banyak memotret “sisi menyenangkan” dari pekerjaan driver ojol. Padahal, hari ini, apa yang sebagian digambarkan dalam serial itu amat kontras.
Misalnya, dari banyak driver ojol yang reporter Mojok temui di lapangan, tak sedikit yang mengaku tereksploitasi. Sialnya, mereka tetap harus melakukan kerja eksploitatif ini karena minimnya pilihan pekerjaan yang layak.
“Potongan ke aplikasi makin besar, rata-rata driver cuma dapat 1.000 atau 2.000 per kilometer. Makanya, kami bisanya mengandalkan bonus harian aja,” kata Sutan, salah satu driver ojol Jogja yang pernah Mojok wawancara.
Untuk mengklaim bonus, per hari Sutan harus menuntaskan 75 persen pesanan dengan rating tak boleh lebih kecil dari 4.5/5.
Sutan sendiri mengaku cukup sulit mengklaim bonus yang tersedia. Sebab, menurutnya, persentase kinerjanya kerap tidak bertambah meski mereka telah menyelesaikan orderan. Malahan, jika order dibatalkan–baik oleh pengemudi maupun pelanggan–performanya bakal jatuh drastis.
Oleh para peneliti, sistem ini disebut gamification of work alias kerja yang dibuat menyerupai permainan. Hasilnya, pekerja menjadi pihak yang amat dirugikan.
Ojol dan ilusi kemitraan
Saat OK-JEK pertama kali tayang, isu soal kemitraan belum terlalu tersorot. Dari yang saya tahu, dalam serial tersebut belum muncul penggolongan apakah driver OK-JEK termasuk mitra atau pekerja.
Namun, makin ke sini, terminologi ini terus memakan korban. Banyak driver ojol raksasa macam Grab dan Gojek mengaku rugi karena hubungan kerja yang tak jelas ini.
Penelitian Aulia Nastiti dari Northwestern University menunjukkan bahwa istilah “mitra” hanya menjadi upaya perusahaan ojol menutupi praktik eksploitasi pekerja.
Melalui kemitraan, driver ojol seolah diberi kebebasan dan fleksibilitas dalam bekerja. Sayangnya, ini adalah omong kosong di siang bolong. Kebijakan ini malah menciptakan hierarki penumpang > perusahaan > pengemudi.
“Perusahaan tetap di puncak kekuasan dengan kontrol pada teknologi, modal, dan akses. Sementara itu, penumpang “bertindak sebagai manajer” karena rating mereka menentukan bonus yang diterima pengemudi,” tulis Aulia Nastiti, dikutip Mojok.
Memang, rating mampu menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan kualitas layanan. Namun, penumpang yang tidak memahami standar rating bisa merugikan pengemudi.
“Bintang empat saja sudah menjatuhkan rata-rata rating saya, bikin bonus susah diklaim. Apalagi kalau bintang 1. Kalau protes, aplikasi pasti membela penumpang apapun alasannya,” kata Sutan.
Selain itu, posisi mitra mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri. Termasuk menanggung uang bensin, parkir, asuransi, dan sebagainya. Hasilnya: makin banyak mereka bekerja, semakin besar juga pengeluaran dan risiko pekerjaan yang dihadapi–tanpa ada jaminan apapun.
Menarik untuk dilihat, jika OK-JEK kembali diproduksi apakah isu kemitraan bakal diangkat? Belum tahu, tapi sepanjang yang kita saksikan di tayangan fiksi itu, kesejahteraan driver ojol di sana begitu diperhatikan, kok.
Baca halaman selanjutnya…
Ada angin segar ojol alternatif seperti Zendo. Tapi ternyata nggak ada bedanya.














