Di Jogja, ada sebuah kawasan yang paling dihindari para driver ojek online (ojol). Lokasinya dekat dengan Kraton Jogja. Kawasan ini bernama Notoprajan.
Bukan karena angker atau banyak aksi kriminalitas, sehingga para driver takut ke sana. Kawasan Notoprajan mereka hindari karena memang bikin para driver ojol naik pitam.
Pada Jumat (5/7/2024) malam, saat tengah nongkrong di sebuah angkringan di Jalan Gejayan, seorang driver ojol datang dengan wajah yang amat kusut.
Dengan sisa-sisa kemarahannya, ia langsung mengambil gelas berisi kopi yang setengah jam lalu ia tinggalkan di angkringan.
“Cuk, parah banget. Dia yang salah aku yang dikasih bintang 1,” kata lelaki yang belakangan saya ketahui bernama Edi (24) tersebut.
Saya coba mengobrol dengan lelaki yang kepalanya masih mendidih itu. Rupanya, Edi baru saja mengantarkan orderan makanan ke sebuah kampung di kawasan Notoprajan.
Sayangnya, misi pengantaran itu berakhir tak menyenangkan. Selain dibikin bingung sama jalanan kampungnya, ia juga dibuat marah dengan kelakuan customernya. Di akhir pun, malah bintang satu yang didapatkannya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
#1 Labirin di Notoprajan Jogja yang lebih kompleks ketimbang Pogung
Notoprajan sendiri merupakan sebuah kelurahan yang terletak di Kemantren Ngampilan, Kota Jogja. Luas wilayahnya sekitar 36 ribu hektar, yang terbagi atas 50 RT dan 8 RW.
Sama seperti permukiman yang berada sekitar area Kraton, Kauman, maupun Tamansari, banyak kampung di Notoprajan yang tersusun atas gang-gang sempit.
Kata Edi, sepanjang narik ojol di Jogja, ia sudah kerap mendapat orderan ke lokasi-lokasi yang jalannya membingungkan. Misalnya, ia menyebut Pogung, kawasan kos yang dijuluki sebagai “labirin”.
Namun, menurut Edi, tingkat “ke-labirin-an” Notoprajan jauh lebih kompleks ketimbang Pogung.
“Bayangin aja masnya lagi di Pogung. Bingung kan banyak gang yang ujungnya buntu? Nah, Notoprajan ini mirip-mirip. Malah ini versi lebuh ribetnya,” kata Edi malam itu.
“Gangnya lebih sempit. Sempit banget malah. Kalau motor papasan gitu mungkin salah satu kudu melipir.”
Sudah sempit, situasi juga sangat hening. Pukul 11 malam sudah hampir tak ada suara manusia lagi. Meskipun, suara TV para pemilik rumah terdengar jelas karena memang teras rumah mereka langsung menghadap jalanan gang.
Kata Edi, kalau nyasar di Pogung setidaknya masih ada yang ditanyai. Sementara kalau nyasar di Notoprajan, skill survival sedang diuji.
#2 Masuk kawasan ini, mesin motor harap dimatikan!
Sudah jadi rahasia umum bahwa saat memasuki perkampungan di sekitaran Kraton Jogja, para pengendara sepeda motor wajib mematikan mesin. Ini berlaku juga di daerah lain yang permukimannya tersusun atas gang-gang sempit.
Alasannya pun adalah menjaga kondusivitas, agar suara kendaraan tak mengganggu istirahat warga. Tradisi ini sudah berlangsung cukup lama.
Masalahnya, situasi ini bikin Edi dan banyak pengendara lain amat dilema. Apalagi kalau posisi rumah berada di tengah-tengah kampung, jauh dari gapura masuk.
Alhasil, saat berada di kawasan Notoprajan, para driver ojol cuma dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, meninggalkan motor di gapura dan berharap bakal aman-aman saja. Selanjutnya, ia melanjutkan pengantaran ke titik tujuan dengan jalan.
Pilihan kedua, berkeliling gang-gang sempit dengan keadaan mesin motor mati. Jelas, bagi Edi, pilihan kedua ini sangat konyol. Apalagi kalau titik yang ia tuju ndelik-ndelik di tengah permukiman.
“Anehnya juga, karena jalannya rapet-rapet, tiap kali buka Google Maps di sini itu selalu njepat-njepat gitu. Kok bisa gitu lho maps-nya jadi nggak presisi.”
#3 Banyak orang menyebalkan tak mau menjemput orderan ke titik pengantaran
Malam itu, memang hari yang apes bagi Edi. Pertama kali mengantar orderan ke Notoprajan, ia dapat customer yang menyebalkan.
Edi bercerita, saat customer memesan makanan, sebenarnya titik pengantaran ada di gapura masuk. Sehingga, saat mengantar pun Edi memilih menunggu customer menjemput pesanannya di titik tersebut.
“Tapi kemudian dia ngechat, suruh mengantar langsung ke rumah. Masalahnya dia nggak ngasih alamat spesifik, cuma ngasih ancer-ancer aja, ‘nanti dari gapura masnya lurus saja,” ungkapnya.
Edi pun tak punya pilihan. Motornya ditinggal sendirian di gapura, sementara dia berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit di Notoprajan. Sayangnya, 15 menit berkeliling, rumahnya tak juga ketemu. Foto rumah yang dikirim customer juga tak terlalu membantu.
Untungnya, pencariannya berakhir saat kebetulan ada warga yang masih begadang, dan memberi tahu Edi posisi rumah yang dimaksud.
“Tahu nggak, Mas, apa yang edan? Ternyata jarak gapura dengan rumah customer itu 400an meter. Ancuk tenan!,” geramnya.
Edi bercerita, saat memberikan orderan ke customer pun ia tak bisa menutupi kemarahannya. Emosi yang tak terbendung itu berakhir dengan rating bintang satu di aplikasi.
“Padahal masalah selesai kalau dia mau menjemput sendiri pesanannya di gapura, titiknya kan di situ.”
Pengalaman serupa juga dialami Rochim (21). Bedanya, kalau Edi kesulitan mencari alamat customer, Rochim nyaris dikeroyok warga.
Karena baru menjadi driver ojol, sekaligus tak terlalu memahami tempat tersebut, dengan entengnya Rochim memasuki Notoprajan dengan mesin motor yang menyala.
“Itu kondisi pukul 10 malam kalau nggak salah. beberapa warga neriakin, ‘woi, Mas, tahu adab nggak?’ sumpah panik banget aku, takut digebukin,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News