Pemerintah wajib menghidupkan lagi acara TV Olimpiade Indonesia Cerdas (OIC). Kalau tidak bisa, setidaknya perbanyak acara serupa. Ia menjadi alasan banyak anak muda tertarik dengan ilmu pengetahuan.
***
Belakangan, acara Clash of Champions (COC) yang dipelopori oleh Ruangguru menyita perhatian masyarakat. Serial Youtube yang mengadu kecerdasan puluhan mahasiswa dari universitas ternama di Indonesia ini dianggap menjadi oase di tengah keringnya tontonan edukatif.
Dalam COC, sebanyak 50 mahasiswa dari 21 universitas beradu kemampuan dalam bidang logika, hitungan, spasial, problem solving, dan hafalan. Masing-masing peserta akan menghadapi tantangan yang berbeda di tiap episode. Kemampuan menghadapi tantangan inilah yang menentukan sejauh mana laju mereka di kompetisi.
Sebelum ada COC, sebenarnya kita punya Olimpiade Indonesia Cerdas (OIC). Bedanya, OIC mengadu kemampuan dari para siswa di level SMA. Formatnya pun tak berbeda dengan konsep cerdas cermat pada umumnya.
Olimpiade Indonesia Cerdas tontonan wajib di sore hari
Yang saya ingat, Olimpiade Indonesia Cerdas tayang di RTV. Acara ini pertama kali mengudara pada 22 September 2014, tepat satu dekade lalu. Nyaris tiap sore, setiap Senin-Kamis, saya menyaksikan acara ini. Penasaran SMA mana yang akan melaju lebih jauh, atau malah gugur di hari itu.
Sayangnya, OIC cuma bertahan empat musim. Pada 2017 lalu, tepat di tahun pertama saya kuliah, acara ini bungkus.
Meski sudah tidak tayang lagi, kalian masih bisa menyaksikan keseruannya. Di Youtube, ada banyak akun yang mengunggah ulang tayangan ini di masing-masing season.
Ketika menonton ulang untuk bernostalgia, wajah-wajah peserta dari MAN Insan Cendekia Serpong, SMA Kristen 7 BPK Penabur Jakarta, atau SMA Kesatuan Bangsa Jogja masih saya ingat secara jelas. Kebetulan, tiga sekolah ini dahulu menjadi jagoan saya.
Jadi juara di sekolah gara-gara nonton OIC
Kenangan Olimpiade Indonesia Cerdas ternyata tak cuma saya rasakan. Alvian (27), salah seorang kawan saya yang baru saja menyelesaikan studi S2 di luar negeri, bercerita peran besar OIC dalam karier pendidikannya.
Dia bercerita, selama SD sampai SMP, sulit rasanya buat mengangkat minat belajar. Terutama sekali di mata pelajaran yang mengharuskan menghafal.
“Sialnya, kurikulum sekolah kan begitu. Siswa dipaksa buat lebih banyak menghafal daripada memahami,” jelasnya ketika dihubungi Mojok pada Kamis (9/1/2024) sore.
Karena lahir dari keluarga berpendidikan–bapak dan ibunya adalah guru, tuntutan akan prestasi begitu besar. Untungnya, sejak SD sampai SMP dia tak pernah keluar dari peringkat tiga besar sekolah.
“Tapi nggak menikmati apa-apa, karena sekolah isinya cuma menghafal.”
Setelah SMA, minat belajarnya mulai menurun. Untungnya, dia menyaksikan program bernama Olimpiade Indonesia Cerdas di TV. Pada awalnya, Alvian merasa ini tak berbeda dengan acara kuis pada umumnya.
Namun, setelah mengikuti beberapa episode, dia semakin tertarik bahkan punya SMA jagoan di acara tersebut. Uniknya lagi, Alvian bercerita selama SMA dia nyaris tak belajar dengan tekun, bahkan sampai menjelang Ujian Nasional (UN). Dia tahu banyak hal dari acara OIC.
“Percaya atau tidak, pengetahuanku terbentuk gara-gara trivia di OIC. Tiap ada jawaban kira-kira aku tak mengerti, aku langsung googling penjelasannya. Ada banyak hal yang awalnya aku tak paham, dan jadi mengerti gara-gara acara itu,” jelasnya.
“Itu sangat berguna. Waktu UN, nyaris semua hal yang diujikan itu aku tahunya dari OIC,” kata lelaki asal Jawa Barat yang meraih peringkat satu Ujian Nasional di sekolahnya itu.
Anak muda butuh acara serupa
Secara konsep acara, Olimpiade Indonesia Cerdas jelas mengajarkan kompetisi. Tapi bagi Alvian, bukan itu poinnya. Menurutnya, OIC bisa menjadi cara belajar yang efektif, terutama bagi generasi muda.
“Indonesia punya banyak acara kuis, tapi mari hitung berapa yang substansial? Pertanyaan-pertanyaan trivia, kebanyakan tak berbobot. Beda dengan OIC, yang mengajarkan ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Dia juga tak mau sepenuhnya menyalahkan generasi muda hari ini yang terlihat jauh dari pengetahuan. Bagi dia, itu karena imbas minimnya–atau ketidakadaan–acara TV berbobot macam Olimpiade Indonesia Cerdas.
Berkaca dari suksesnya acara COC Ruangguru, Alvian pun berharap OIC bakal dihidupkan lagi. Atau setidaknya, jika tidak bisa, acara serupa bisa lahir. Apalagi, dia meyakini, di level SMA, pride akan “lambang OSIS di dada” bakal jauh lebih membara. Minat menonton pun tak akan kalah banyak jika dibanding COC.
“Anak SMA kan pride-nya gede banget. Kalau SMA mereka bertanding, dalam kompetisi apa aja, selalu semarak. Nah, aku bayangin kalau OIC kembali dihidupkan, kondisi akan demikian,” ujarnya.
“Sambil menyelam minum air. Hype ada, transfer pengetahuan pun juga ada.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: One Stop Football, Acara Bola Legend Andalan Milenial Sebelum Demam JustTalk Melanda atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan