Sudah dua tahun Awaludin (25) kerja di Jakarta. Alasannya datang ke ibu kota sama dengan kebanyakan orang, yakni karena tempat itu menawarkan rata-rata gaji yang lebih besar ketimbang daerah lain. Sayangnya, gaji besar hanyalah mitos. Setelah banting tulang nyaris 12 jam tiap harinya, upah yang ia peroleh jauh di bawah ekspektasi.
Sebagai informasi, per 2022 atau saat Awaludin pertama tiba di Jakarta, UMR ibu kota berada di angka Rp4,6 juta. Sementara gaji bersih yang Awaludin kantongi hanyalah Rp2,5 juta. Dengan demikian, gajinya saat itu hanya setara setengah UMR Jakarta yang berlaku.
Sementara pada 2024, dua tahun setelah ia bekerja di sini, UMR Jakarta mengalami kenaikan ke angka Rp5,06 juta. Sayangnya, gaji Awaludin belum mengalami penyesuaian, masih stuck di angka tadi.
Kalaupun ada tambahan, paling mentok hanya Rp500 ribu di akhir bulan sebagai bonus dari kinerjanya. “Makanya, kalau ada orang bilang kerja di Jakarta itu enak karena gajinya besar, mau aku ketawain aja sih,” ujar Awaludin kepada Mojok, Minggu (24/3/2024) kemarin.
Lulus kuliah langsung kerja ke Jakarta gara-gara fomo
Udin, begitu ia kerap disapa, adalah kawan seangkatan saya. Ia merupakan mahasiswa UNY angkatan 2017, meski hanya kuliah di PTN tersebut selama satu semester karena pindah ke salah satu PTS Jogja pada tahun berikutnya.
Dahulu, saya tak bertanya soal alasannya pindah. Tapi belakangan saya ketahui kalau saat itu Udin memang kurang sreg dengan jurusan yang ia ambil di UNY. Pada 2018, akhirnya dia memilih mendaftar ke jurusan lain di kampus swasta.
Pertengahan 2022 lalu, Udin lulus kuliah. Saya juga menghadiri prosesi wisudanya. Saat itu, saya ingat betul Udin sempat bercerita kalau dia sudah diterima kerja di salah satu agensi periklanan di Jakarta.
Waktu itu, Udin memutuskan bekerja ke Jakarta karena dua alasan. Pertama, UMR Jakarta tinggi, bahkan dua kali lipat Jogja. Apalagi buat lulusan S1 seperti dia. Ia berpikir, sarjana akan lebih dihargai dan standard gajinya pun tentu berbeda dengan lulusan SMA/SMK.
Kedua, faktor fomo saja, karena memang banyak teman dekatnya yang merantau ke Jakarta saat itu.
Sayangnya, dalam obrolan kami akhir-akhir ini, Udin terlihat menyesali keputusannya itu. Jangankan dapat gaji sesuai ekspektasinya, ia malah lebih merasa diperlakukan seperti sapi perah.
“Kerja pasti sampai malam, enggak kenal hari libur. Stres dan masuk angin udah jadi teman sehari-hari.”
Hidup susah gara-gara terlalu percaya omongan teman
Bermodal ijazah S1-nya, Udin melamar kerja sebagai desainer grafis di salah satu agensi periklanan di Jakarta Selatan. Dia mengaku melamar di perusahaan ini lantaran ajakan beberapa teman yang sudah lebih dulu masuk.
“Sejak awal teman-temanku bilang kalau gaji pertamanya memang cuma dua setengah juta. Tapi bakal ada kenaikan sesuai performa dan masa kerja,” jelasnya, menceritakan awal dia bisa masuk ke perusahaan tersebut. “Mereka bilang kerja satu tahun udah bisa dapat gaji UMR Jakarta,” sambungnya.
Sayangnya, setelah dua tahun kerja di tempat itu, apa yang temannya sesumbarkan tadi tak pernah jadi kenyataan. Alias, gajinya enggak naik-naik.
Padahal kalau patokan kenaikan gaji adalah performa, Udin sesumbar kalau dia adalah salah satu karyawan dengan kinerja terbaik. Kerjaan sebanyak apapun ia bereskan. Bahkan, banyak deadline kerjaan yang harusnya bukan jobdesknya, beberapa kali dia handle.
Udin tak mempermasalahkan seberapa banyak beban kerjanya. Yang ia keluhkan, bos kerap memberinya brief tak kenal waktu. Di jam-jam istirahat bahkan di hari libur sekalipun.
“Tengah malam sering di-call ada deadline kerjaan dari klien, mau enggak mau harus aku kerjain karena perintah. Weekend aja juga masih kerap gitu, bos ngasih kerjaan padahal lagi pengen nyantai,” jelasnya.
Dengan porsi kerjaan yang enggak ngotak itu, Udin pun merasa kalau dia berhak dapat gaji yang layak. Minimal setara UMR Jakarta. Sayangnya, dalam beberapa kali kesempatan mediasi dengan bos, kantor mengaku belum bisa menaikan gajinya ke angka yang dia inginkan.
“Alasannya klise: kebijakan kantor. Ya, paling mentok hanya dapet bonus di akhir bulan. Itu pun enggak banyak.”
Baca halaman selanjutnya…
Sakit hati karena suka dibanding-bandingkan dengan adik yang lebih sukses.
Sering dibanding-bandingkan dengan adiknya yang bikin dia sakit hati
Gaji yang tak seberapa ini membuat Udin kudu pontang-panting di Jakarta. Bagaimana tidak, tiap harinya paling tidak dia harus menghabiskan Rp50 ribu lebih buat makan. Belum lagi uang bensin. Di awal bulan, Rp900 ribu juga kudu menyeberang ke rekening bapak kosnya.
“Pokoknya tiap akhir bulan gajiku itu enggak nyisa. Jangankan buat tabungan, kadang-kadang aja masih kurang kok,” ujarnya. Udin juga bercerita kalau tengah tahun nanti dia bersama beberapa temannya memutuskan buat resign dan mencari pekerjaan lain yang lebih manusiawi.
Upah kecil ini nyatanya tak cuma bikin hidupnya susah di Jakarta. Kedua orang tuanya pun kerap membandingkannya dengan sang adik, yang meskipun cuma lulusan SMA, penghasilannya malah lebih besar.
Sebagai informasi, per 2024 ini UMR Jogja berada di angka Rp2,4 juta. Sementara kata Udin, gaji adiknya yang bekerja sebagai staff kitchen di hotel adalah Rp2,7 juta per bulan.
“Itu pun dia enggak perlu mikir kos. Makan juga di rumah. Jadi memang gajinya bisa utuh,” katanya.
Akibat perbedaan penghasilan ini, orang tuanya pun sering meremehkan. Kata-kata seperti, “ngapain jauh-jauh ke Jakarta kalau gaji saja gede-an yang di Jogja” sampai, “mendingan pulang ketimbang hidup enggak jelas di perantauan” seakan sudah akrab di telinganya.
“Aku pikir ada benarnya juga, karena nyatanya dua tahun di Jakarta aku enggak jadi apa-apa,” ujarnya. “Tapi ya mau bagaimanapun manusiawi lah, dapat kata-kata enggak mengenakkan gitu pasti sakit hati.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.