Pegiat lingkungan, Putu Ardana mengklaim masyarakat kecewa kepada pemerintah Bali karena dianggap tidak punya komitmen untuk menjaga subak dengan seluruh ekosistemnya. Meski mendapat penghargaan oleh UNESCO, pembagian air di catur desa dinilai sudah kacau akibat intervensi negara. Sistem perairan yang kacau itu tak pelak berpotensi membuat konflik antarmasyarakat.
***
Tahun 2024 lalu, Bali terpilih sebagai tuan rumah World Water Forum (WWF) ke-10. Guna memperingati Hari Air Sedunia itu, pemerintah Indonesia mengundang sejumlah pemimpin negara dan figur-figur penting dari seluruh dunia.
Tercatat ada 7 kepala negara, 3 deputi perdana menteri, serta 105 menteri dari 132 negara dan organisasi internasional yang hadir, bahkan orang terkaya sedunia, Elon Musk hadir dalam acara tersebut.
Mereka membahas tata kelola, pengelolaan, dan penyediaan air dunia. Meski terkesan mewah, tak seluruh warga Bali menyambut meriah visi dan misi yang dibawa oleh perwakilan negara-negara tersebut.
Salah satu acara tandingan pun muncul, yakni People’s Water Forum 2024 yang terdiri dari kelompok lingkungan hidup, gerakan sosial, petani skala kecil, serikat pekerja, dan pembela hak asasi manusia di seluruh dunia.
Kelompok ini menentang WWF yang melibatkan banyak korporasi untuk mengelola air secara global. Oleh karena itu, PWF mengusung tema Water for Life, Not Profit.
Desember 2024 lalu, saya berbincang dengan aktivis lingkungan, Putu Ardana di kediamannya Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali. Dia mengaku bukan bagian dari PWF, tapi tak menolak seluruhnya visi yang dibawa kelompok lingkungan hidup tersebut.
Salah satu isu yang membuatnya yakin bahwa pengelolaan air harus jauh dari kepentingan profit adalah masalah subak. Nama subak kembali disebut-sebut oleh UNESCO dalam World Water Forum 2024.
Melansir dari laman resmi Kementerian Prekraf, UNESCO bersama pemerintah Indonesia berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian subak. Namun, Putu Ardana tidak melihatnya demikian. Beberapa permasalahan muncul justru karena intervensi negara mengelola subak.
Makna air bagi masyarakat Bali
Putu Ardana adalah alumnus Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1983. Pria yang akrab dipanggil Kaweng itu sejatinya hobi olahraga dan mencintai alam, sehingga memutuskan karier menjadi petani di desanya, Singaraja sejak tahun 1994.
Dia melihat tempat tinggalnya sebagai kawasan hulu penghasil jasa-jasa ekosistem bagi kawasan sekitarnya, di mana mayoritas penduduknya adalah petani. Seiring berjalannya waktu, dia mulai tertarik dengan kehidupan masyarakat adatnya yakni Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT).
MADT mulanya bermukim di hutan Alas Mertajati, yang berarti “sumber hidup yang sesungguhnya”. Di dalamnya terdapat danau bernama Tamblingan atau obat penjaga kesadaran.
“Danau itu menjadi sumber air bagi kehidupan di sekitarnya, termasuk mengairi sawah,” ujar Putu Ardana, Kamis (19/12/2024).
Di Bali, ada sekumpulan petani yang secara khusus mengatur pengairan atau irigasi sawah secara tradisional. Organisasi itu bernama subak. Mereka membagi pengairan secara adil dan merata. Jika ada masalah, subak melakukan diskusi dan memecahkan masalahnya bersama, bahkan dalam menetapkan waktu menanam dan menentukan jenis padi.
Putu Ardana menjelaskan subak adalah organisasi otonom yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Mereka mempunyai peraturan yang berisi tentang hak dan kewajiban warga subak.
Berdasarkan Prasasti Klungkung, sistem irigasi subak sudah diterapkan di Bali sejak abad ke-11. Sistem ini terus dipertahankan secara turun temurun hingga sekarang. Berkat sistemnya yang berdampak luas bagi masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari, subak tercatat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 29 Juni 2012.
Gelar itu, kata Putu Ardana, tak hanya diberikan UNESCO kepada hamparan sawah di Bali yang luas. Namun, seluruh ekosistemnya yakni lingkungan dan sumber air itu berasal. Sayangnya, Putu Ardana menilai pemerintah Bali hanya melihat subak dalam kacamata pariwisata.
Menjadikan subak sebagai bisnis
Putu Ardana menilai pemerintah menjadikan desa-desa di Bali sebagai tempat “jualan”. Sebut saja Desa Jatiluwih yang terkenal dengan pemandangan sawah dan teraseringnya. Banyak turis berbondong-bondong ke sana, mereka ingin melihat kehidupan orang Bali.
Melihat bisnis yang menggiurkan, pemerintah mengajak investor untuk melihat peluang. Mereka kemudian berinvestasi dalam bentuk regulasi dan izin. Alam hanya dijadikan tempat bisnis, dan merusak ekosistem yang ada.
“Sekarang pariwisata sudah menjadi tujuan. Banyak sekali misalnya, tiap daerah punya tari sakral yang dikeluarkan di waktu tertentu. Sekarang tiap hari bisa karena ada turis yang akan datang,” ucap Putu Ardana.
Padahal, kata Putu Ardana, subak tidak hanya sekadar sistem irigasi, melainkan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. Namun, nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya perlahan mulai terkikis akibat ambisi pemerintah memperoleh profit dari alam.
Negara mengintervensi subak
Putu Ardana menegaskan, banyak sekali sistem-sistem negara yang justru merusak tata-tata peradaban masyarakat yang telah dibangun sekian tahun. Salah satunya keterlibatan pemerintah dalam mengatur subak, mengakibatkan organisasi petani ini seolah tidak lagi otonom.
Sejak Indonesia merdeka, Munduk yang menjadi satu kesatuan, memiliki sumber mata air yang sama, dan pembagian irigasi yang sudah tertata, jadi kacau akibat kehadiran administrasi yang membagi desa-desa.
“Jelas, yang paling fisik kelihatan ya pembagian air. Pembagian air kan jadi kacau. Misalnya, subak desa A, desa B. Padahal dari dulu itu sudah satu kesatuan,” ucapnya.
Akibatnya, pembagian air jadi kurang adil dan merata. Jauh dari visi subak sebelumnya. Hal itu juga menyebabkan masalah baru, misalnya konflik horizontal antar masyarakat.
“Cuman ya sampai saat ini sih belum begitu kelihatan. Ya mungkin di tempat lain ya. Cuman ini contohnya kan di tempat saya. Kalau di sini sudah geremeng- geremeng, ngomong-ngomong itu udah,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: ‘Anak Bali Ilang Baline’ – Bagaimana Pariwisata Mencabut Akar Budaya dan Identitas Masyarakat Adat Pulau Dewata? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan