Menjadi sopir taksi di Jogja makin ke sini terasa sangat berat. Setidaknya begitulah pengakuan Martono (56) dan Eko (54) saat saya temui di tengah riuh jalanan, Jumat (13/9/2024) malam WIB.
Keduanya tengah duduk santai di sebuah angkringan di Jl. Moses Gatotkaca, Jogja. Karena tak kunjung beranjak–untuk antar penumpang–saya lantas mengajak keduanya berbincang.
Martono adalah sopir taksi konvensional, sedangkan Eko sopir taksi online. Meski berbeda sistem, kepada saya mereka membagikan keresahan yang sama: kesulitan mencari penumpang, sistem yang buruk, hingga pendapatan sebagai sopir taksi di Jogja yang tak mencukupi.
Persaingan cari penumpang
Martono sudah lima tahun lebih menjadi sopir taksi konvensional di Jogja. Ia sudah hafal betul seluk beluk jalanan Jogja, dari Malioboro yang ramai, hingga gang-gang kecil yang hanya cukup dilalui satu mobil.
Lima tahu berlalu dan kata Martono, makin ke sini kenyataan hidup makin berat saja. Taksi konvensional kesulitan mencari penumpang di tengah menjamurnya taksi dan transportasi online lain di jalanan Jogja.
“Dulu, narik penumpang gampang banget,” keluh Martono.
Sambil menyeruput teh hangat ia bercerita, sebelum taksi online semenjamur sekarang, penumpang begitu gampang ia temui di pinggir-pinggir jalan. Berbeda dengan saat ini. Muter-muter Jogja sampai bensin terkuras, dapat satu penumpang saja sudah untung.
“Tiap hari tuh (dulu) setoran gampang tercapai. Penumpang ramai, apalagi pas ada event atau musim liburan. Sekarang? Ya Allah, cari penumpang susahnya minta ampun. Kebanyakan orang sekarang lebih milih online,” tambahnya dengan nada getir.
Sopir taksi di Jogja sering kena tipu
Tidak hanya itu, Martono mengaku kerap kena tipu penumpang selama menjadi sopir taksi di Jogja.
Misalnya yang ia ceritakan, Martono pernah diminta mengantar wisatawan lokal untuk keliling Jogja. Harusnya dari upah mengantar itu, ia mendapatkan uang sebesar Rp1 juta.
“Eh, setelah sampai tujuan, orangnya kabur. Saya muter-muter dari pagi sampai sore, tapi nggak dibayar sepeser pun,” katanya dengan rauh wajah masih menyimpan kecewa.
Itu hanya satu dari sekian cerita kena tipu penumpang yang Martono alami.
Lantaran menjadi sopir taksi konvensional di Jogja makin berat, Martono mau tak mau harus mencari sumber pemasukan lain. Di samping jadi sopir taksi, ia sempat punya usaha lain, yakni membuat cincin akik.
Usahanya sebenarnya sempat terbilang lancar. Namun, Pandemi Covid-19 memukul usahanya hingga harus tutup. Kini, Martono fokus bekerja penuh sebagai sopir taksi konvensional di Jogja. Makin berat, tapi ia masih belum punya pilihan lain untuk menafkahi keluarganya.
Sopir taksi online di Jogja sering nombok
Dalam bayangan Martono, menjadi sopir taksi online relatif lebih menguntungkan. Namun kenyataannya tidak demikian. Begitu yang Eko katakan.
Eko berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Ia mulai bekerja sebagai sopir taksi online di Jogja sudah hampir enam tahun ini.
“Dulu, waktu pertama kali booming (taksi online), rasanya rezeki ngalir terus. Sekali narik bisa dapet Rp25 ribu untuk jarak dekat. Sekarang? Aduh, tarif promo terus,” keluhnya.
Bagi Eko, sistem promo yang diterapkan oleh aplikasi sering kali memberatkan para sopir taksi online.
”Misalnya ada promo hemat Rp8 ribu. Penumpang seneng, tapi kita? Jauh-jauh narik, cuma dibayar Rp8 ribu,” gerutu Eko.
“Bensinnya aja udah lebih dari itu. Kalau kayak gini terus, ya tombok,” imbuhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Meski kerap kali capek tak sebanding dengan hasil yang ia dapat, Eko masih akan bekerja menjadi sopir taksi online di Jogja. Ketimbang nganggur dan ada pemasukan sama sekali. Sebab, ia masih punya dua anak yang pendidikannya masih harus ia tanggung.
Anak Eko sebenarnya ada tiga. Anak pertama sudah bekerja, sementara anak kedua masih kuliah semester 5, sedangkan anak terakhir masih duduk di bangku SMP.
Eko memang lulusan salah satu kampus Jogja. Seorang sarjana. Namun, ijazah S1 nyatanya tidak serta merta menjadi jaminan untuk mudah mencari pekerjaan.
Nasib dan harapan
Atas kondisi yang serba sulit tersebut, Martono dan Eko sama-sama berharap ada perubahan kebijakan dari pemerintah yang bisa memberikan keadilan, baik untuk pengemudi taksi konvensional maupun taksi online di Jogja.
“Kita nggak bisa ngelawan teknologi. Tapi, kalau bisa, pemerintah mengatur regulasi yang lebih bijak. Biar pengemudi taksi online nggak terlalu dimonopoli sama aplikasi, dan pengemudi taksi konvensional kayak kita juga nggak kalah saing,” ujar Martono.
Sementara Eko berharap ada perbaikan dalam sistem tarif dan bonus bagi pengemudi taksi online.
“Harapannya, pemerintah atau aplikasi lebih memperhatikan nasib kita. Jangan cuma mikirin promo buat penumpang, tapi juga harus mikirin pengemudi. Kita yang kerja keras, tapi jangan sampai malah diperas,” timpal Eko.
Di tengah lalu lintas Jogja yang penuh sesak, kisah mereka hanyalah dua dari ribuan kisah pengemudi taksi lain di Jogja yang bernasib sama sulitnya.
Penulis: Lina Sunarni
Editor: Muchamad Aly Reza
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Magang Jurnalistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode September 2024.
BACA JUGA: 4 Renungan jika Ingin Jadi Driver Ojol, Pekerjaan Sampingan yang Tak Semudah Bayangan
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News