Jakarta menjanjikan nasib yang lebih baik. Begitu yang ada di benak orang daerah seperti Jhon (25), sebelum akhirnya “terlempar” ke Jogja untuk berjibaku bertahan hidup di sana.
***
Jhon adalah pemuda asal Lampung. Kami pertama kali kenal pada Juli 2024 silam. Saat itu saya menemuinya di Lapangan Pemda Sleman, saat Jhon tengah ngelapak jualan kopi pakai motor Honda CB100-nya (street bar).
Itu adalah bulan-bulan pertama Jhon menjajal jualan kopi keliling berkonsep street bar. Menunya masih terbatas. Pasarnya pun belum luas.
Sejak merantau ke Jogja pada 2020, Jhon memang memeras energinya untuk mengerjakan apa saja. Yang penting bisa menghasilkan uang untuk bertahan hidup.
Namun, sebelum akhirnya “terlempar” ke Jogja, Jhon pernah hampir beradu nasib di Jakarta lantaran iming-iming sebuah pekerjaan. Hingga akhirnya dia sadar kalau ada yang tidak beres dari iming-iming pekerjaan tersebut.
Modal ijazah SMA merantau ke Jakarta
Jhon lulus SMA pada 2019. Tidak ada bayangan kuliah. Pikirnya, lulus sudah harus bisa mencari uang sendiri untuk meringankan beban orangtua. Di Lampung orangtua Jhon sehari-hari bekerja sebagai buruh di kebun kopi.
“Nemu lowongan menjadi satpam di sebuah mall di Jakarta. Singkat cerita aku ada peluang kerja di situ. Lalu berangkatlah ke Jakarta,” ujar Jhon.
Dengan motor Honda CB100-nya, dia menempuh perjalanan dari Lampung, menyongsong bayangan bakal kerja di Ibu Kota. Bagaimanapun, bayangan orang atas kerja di Jakarta adalah harapan hidup yang lebih baik.
“Setiba di Jakarta, ternyata nggak bisa langsung kerja. Kalau mau kerja di mall itu, aku harus bayar dulu beberapa juta. Aku nggak punya uang modal. Ya sudah aku urungkan kerja di situ,” kata Jhon.
Usai terlunta-lunta di Jakarta lalu merantau ke Joga
Tidak ada sanak saudara atau kenalan di Jakarta. Jhon sempat tinggal beberapa hari di Jakarta, sendiri, sembari mencari lowongan kerja lain.
Sayangnya, lowongan tersebut tak kunjung dia dapat. Sementara uang saku menipis. Maka, mau tidak mau di harus kembali ke Lampung.
“Di Lampung ikut kerja di kebun kopi. Ngumpulin uang saku. Setelah ngumpul, akhirnya mantap pergi ke Jogja,” tuturnya.
Sama seperti di Jakarta, di Jogja, Jhon tidak mengenal siapapun. Dia bertaruh nasib seorang diri. Apalagi saat keberangkatannya pada 2020 itu, dia masih belum terbayang bakal kerja apa setiba di Kota Pelajar.
Kerja apa saja untuk bertahan hidup di Jogja
“Awal ke Jogja itu saya kerja di nasi pecel pincuk di daerah Nologaten,” kenang Jhon.
Setelahnya, beragam jenis pekerjaan informal Jhon lakukan, merentang tahun 2020-2022. Pada 2022, Jhon melihat peluang untuk bisnis sewa helem.
Kala itu, Jhon masih bekerja di sebuah tempat billiard. Suatu hari, seorang pengunjung yang sebelumnya menyewa Vespa meresahkan ukuran helm dari sewa sepaket dengan Vespa tersebut yang kekecilan. Dari situlah Jhon berpikir, sepertinya patut dicoba: bisnis sewa helm.
“Awalnya nggak langsung beli helm dulu, Mas. Saya bikin Instagram-nya dulu. Ternyata ada yang minat. Waktu itu beli dua helm dulu,” ungkap Jhon. Dari dua helm, lalu kini menjadi 23 helm yang dia sewakan.
Awalnya Jhon memasang tarif sewa sebesar Rp10 ribu. Lalu, menimbang biaya perawatan, dia mematok tarif sewa Rp25 ribu per 24 jam. Jika ingin helmnya diantar, akan dikenakan ongkir tergantung jarak tempuh pengiriman.
Bagi Anda yang sedang di Jogja dan hendak sewa helm, bisa hubungi saja kontak ini: 089651495030. Selain helm, Jhon juga menyewakan beberapa jenis kacamata untuk bergaya yang ia sewakan di harga Rp7 ribuan per 24 jam.
Tak ada waktu untuk menikmati masa muda
Bagi Jhon, tidak ada waktu untuk menikmati masa muda. Sebab, dalam persoalan bertahan hidup, Jogja sama kerasnya dengan Jakarta: kalau tidak kerja keras, kelimpungan untuk hidup.
Jhon keluar dari tempat billiard. Tapi sewa helmnya pun sebenarnya tidak bisa menutup sepenuhnya kehidupannya di Jogja. Hanya cukup sebagai ganjelan saja.
Maka, mulailah Jhon merintis usaha street bar. Berpindah-pindah lokasi di Sleman. Hanya saja pasarnya masih sulit. Selain itu, Jhon juga mengambil pekerjaan sebagai asisten seorang presenter lokal Jogja.
“Apapun dikerjakan, Mas,” ungkap Jhon.
Di Jogja, bagaimanapun Jhon banyak bersinggungan dengan mahasiswa. Di titik tertentu, hal itu membuatnya sempat berangan-angan: mungkinkah suatu hari bisa kuliah dengan biaya sendiri?
Angan-angan itu timbul-tenggelam di dalam kepalanya. Berebut prioritas dengan nasibnya sebagai lulusan SMA yang harus kerja keras menghidupi dirinya sendiri di perantauan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tertipu Tawaran Kerja di Jakarta, Gaji Pertama Dirapel 2 Bulan, Setelahnya Kerja Ekstra tapi Tak Digaji hingga 4 Tahun Kemudian atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan