Desa Dukuhseti, Kabupaten Pati, pernah mendapat julukan “kampung pelacur dan simpanan pejabat”. Dari profesi ini, banyak keluarga yang naik taraf hidupnya. Maka, tak mengherankan kalau anak perempuan di Dukuhseti pernah diibaratkan sepetak sawah yang punya nilai ekonomis buat dipanen.
Belakangan, Pati sedang ramai disorot. Hal itu bermula dari viralnya kasus pengeroyokan di Kecamatan Sukolilo yang menewaskan seorang bos rental mobil asal Jakarta.
Akibat kejadian tersebut, banyak orang mulai angkat bicara terkait Pati. Tak sedikit yang mengaku tak kaget dengan kejadian tragis tadi karena di Pati, kekerasan serupa sudah jadi rahasia umum. Namun, tak sedikit juga yang terkejut karena selama ini melihat Pati sebagai kota yang terlihat baik-baik saja.
Pada Rabu (13/6/2024) kemarin, seorang netizen tiba-tiba mengirim pesan kepada saya di Instagram, setelah sehari sebelumnya saya menulis liputan terkait Muharto, kampung preman di Kota Malang.
Isi dari pesan tersebut, saya diminta untuk membahas mengenai Dukuhseti, sebuah desa yang berada di Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Konon, di sana ada sebuah kutukan dari seorang pendiri desa bernama Brojoseti. Diceritakan kalau Brojoseti menangkap basah istrinya tengah selingkuh dengan musuh bebuyutannya, Ki Gedhe Tuwalang. Merasa sakit hati, Brojoseti pun mengutuk keturunan Desa Dukuhseti bakal main serong selamanya.
Alhasil, banyak yang meng-cocoklogikan mitos ini dengan realitas perempuan di Dukuhseti yang banyak berprofesi sebagai pekerja seks komersial.
Pelacuran adalah peninggalan masa kolonial di Kabupaten Pati
Cukup sulit buat melacak sejak kapan pelacuran atau prostitusi mulai muncul di Pati, khususnya Desa Dukuhseti. Namun, menurut penelitian Adelaide Worcester berjudul “Pelacuran dalam Konteks Budaya”, pelacuran di Dukuhseti bermula dari masa kolonial Hindia-Belanda.
Tepatnya pada kurun 1870, pemerintah kolonial mulai mendirikan perkebunan di desa ini. Sejak saat itu, Dukuhpati mulai ramai dengan kedatangan para pekerja perkebunan dari luar daerah.
Salah satu dampaknya, mulai banyak pekerja yang membutuhkan para pekerja seks buat memuaskan kebutuhan biologis mereka. Akhirnya, perempuan lokal di Dukuhseti pun mulai berbondong-bondong bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Bahkan, kalau menurut Worcester, dahulu istri dan anak kepala desa sekalipun bekerja sebagai PSK.
Hingga masa kemerdekaan, situasi tersebut bertahan. Bahkan, prostitusi di Dukuhseti menjadi terstruktur dan terbentuk lokalisasi. Worcester, dalam penelitian dengan pendekatan sosio-historis yang ia terbitkan pada 2002, menyebut ada tiga lokalisasi bertaraf desa yang paling terkenal di Indonesia. Antara lain Gunung Kemukus Sragen, Pantai Parangkusumo Jogja, dan Desa Dukuhseti Pati.
Kampanye politik bikin Dukuhseti jadi kampung simpanan
Penelitian lain yang dilakukan Wildani Aulia pada 2020 lalu, juga menunjukkan kalau pelacuran di Dukuhseti, Kabupaten Pati, tak berhenti sebagai lokalisasi. Ia bahkan juga bertransformasi menjadi “kampung simpanan”.
Dalam penelitian berjudul “Dukuhseti: Dari Kampung Simpanan Menjadi Kampung Beriman (1972-2016)”, kampanye politik Pemilu 1971 bikin para pejabat parpol meminta gadis-gadis dari desa ini untuk “menemani” mereka.
Saking banyaknya permintaan, hingga musim pemilu selesai pun Dukuhseti jadi makin kondang dengan perempuan simpanan tadi. Setelahnya, permintaan akan gadis-gadis menjadi lebih tinggi.
Dalam catatan Wildani Aulia, periode 1973-1975 adalah puncaknya. Pada tahun-tahun tersebut, permintaan sangat besar. Alhasil, banyak keluarga pun jadi naik taraf hidupnya gara-gara anak perempuan mereka masuk di bisnis prostitusi.
Terutama di Dukuh Seti dan Dukuh Oro-Oro Tengah yang lokasinya berada di pusat permukiman warga, dan Dukuh Purbo yang terletak di pinggir pantai. Di dusun yang disebut terakhir, kebanyakan pekerja seks justru datang dari luar daerah Pati.
Perempuan diibaratkan sepetak sawah
Memasuki akhir 1980-an, pesona Dukuhseti, Kabupaten Pati, sebagai penyedia “pekerja seks” dan “perempuan simpanan” semakin terkenal di ranah nasional. Sampai-sampai, pada tahun 1989, Majalah Tempo menayangkan liputan terkait desa tersebut dengan judul “Bila Wanita Diibaratkan Sepetak”.
Dalam arsip berita edisi 26 Agustus 1989 tersebut, diperlihatkan dua temuan menarik. Pertama, 70 persen (dari 178 responden) remaja perempuan di Dukuhseti mengaku suka dengan profesi melacur. Kedua, 80 persen (dari 228 responden) orang tua mengungkapkan bahwa penyangga ekonomi keluarga adalah anak perempuan mereka.
“Anak perempuan diibaratkan sepetak sawah. Semakin cantik si gadis, semakin luas sawahnya. Dengan kata lain, perempuan menyandang nilai ekonomis,” tulis Tempo dalam laporannya.
Dalam laporan tersebut, Tempo juga mewawancarai profesor psikologi UGM, Koentjoro, yang pernah tinggal selama dua bulan di Dukuhseti demi penelitiannya.
Di sana, Koentjoro menyaksikan bahwa pekerjaan melacur sudah dianggap sebagai “suratan takdir” karena sebagian besar masyarakatnya mengamini mitos Brojoseti–seperti yang saya singgung di awal tulisan tadi.
Meski pernah menyandang julukan “kampung pelacur”, wajah Dukuhseti hari ini sudah berubah total. Berkat gerakan moralisasi dan dakwah yang dilakukan ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (dengan GP Ansor dan Bansernya) sejak 1990-an, praktik prostitusi mulai hilang. Stigma negatifnya pun mulai memudar. Bahkan, hari ini Desa Dukuhseti malah lebih dikenal sebagai Kota Santri di Pati.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News