Kegoblokan Pertama Kali Mendaki Gunung: Cuma demi Gaya, Modal Nekat dan Nyepele Berujung Celaka

Kegoblokan pertama kali mendaki (hiking) Gunung Lawu dan Merbabu yang bahayakan nyawa sendiri MOJOK.CO

Ilustrasi - Kegoblokan pertama kali mendaki (hiking) Gunung Lawu dan Merbabu yang bahayakan nyawa sendiri. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Momen pertama mendaki gunung (hiking)—persisnya di Gunung Lawu dan Merbabu—nyaris berakhir nahas bagi narasumber Mojok. Sebab, sebagaimana yang mereka akui, akibat kegoblokan sendiri, nyawa mereka nyaris saja melayang.

Mendaki gunung (hiking) untuk si paling patah hati

Sudah lama Yudha (27) tidak mendaki gunung lagi. Urusan sibuk pekerjaan jadi alasannya. Selain itu, kalau mau agak menye-menye, patah hatinya sudah lama sembuh. Jadi dia tidak perlu terlalu sering menepi ke gunung lagi.

Kalau mengingat 2022 silam, Yudha mengaku geli sendiri. Itu adalah momen pertama kalinya mendaki gunung, persisnya di Gunung Lawu. Pendakian itu dia lakukan untuk menyembuhkan luka di hatinya karena baru diputus kekasih.

“Aku termakan banyak kontennya Fiersa Besari. Gunung itu jadi semacam pelarian. Terus termakan banyak konten TikTok juga, kalau hiking adalah upaya mujarab untuk menyembuhkan patah hati,” kata Yudha, diiringi tawa geli, pada Jumat (27/6/2025) malam WIB.

Karena awam, saat itu Yudha belum bisa menentukan sendiri gunung mana yang akan dia daki. Maka, dia mencoba mengekor temannya saja, yang pada musim kemarau 2022 mengagendakan hiking ke Gunung Lawu lewat jalur Comoro Sewu, Magetan.

Kegoblokan soal pakaian

“Kamu yakin pakai celana ini?” Tanya teman Yudha beberapa saat sebelum mereka melakukan pendakian, saat melihat Yudha memakai celana jeans ketat.

“Nanti bakal repot loh pakai celana itu,” sambung teman Yudha.

“Nggak apa-apa. Aman. Udah biasa pakai gini,” jawab Yudha enteng yang langsung dibalas dengan jawaban “Ya sudah terserah kalau gitu” oleh temannya.

Di situlah Yudha akhirnya menyadari kegoblokannya. Seharusnya dia tahu belaka, dia memang terbiasa memakai celana jeans ketat. Memang aman-aman saja karena untuk mobilitas sehari-hari.

Tapi saat mendaki gunung, tentu beda soal. Sementara saat itu teman-temannya sudah mengingatkan untuk membawa pakaian yang cepat kering dan menghindari yang berbahan jeans.

Kaki keram hingga menggigil hebat

Benar saja, mendaki Gunung Lawu via Cemoro Sewu membuat Yudha merasakan akibat dari kegoblokan yang, sekali lagi, dia akui sendiri.

Celana jeans ketat membuat langkahnya tidak bisa lebih leluasa saat menapaki bebatuan terjal. Terutama di pos 3: Jalur penuh batu dengan kemiringan ekstrem. Alhasil, kakinya sempat terasa keram.

Lebih-lebih di bagian bawah dengkul, terasa amat sakit karena lipatan cela jeans tiap melangkah atau duduk, membuatnya harus berhenti berkali-kali. Tapi itu masih belum seberapa. Akibat paling menyiksa adalah ketika tiba malam hari.

“Jeans itu kan menyimpan dingin. Sementara malam hari di Lawu, di musim kemarau, itu dingin bukan main. Aku sampai gemetaran karena kedinginan, padahal udah masuk sleeping bag,” kata Yudha.

Untung teman setenda Yudha sigap. Dia langsung memasak air. Lalu meminta Yudha melepas celana jeansnya sekaligus meminjaminya celana sporty yang terasa lebih hangat.

“Posisi pas menggigil, rasanya udah kebayang bakal hipotermia. Karena sekujur tubuh rasanya adem panas. Tapi setelah minum air hangat, ganti celana, dan memakai berlapis baju dan jaket, akhirnya suhu tubuh normal kembali,” katanya.

Kegoblokan itu lantas tidak pernah Yudha ulangi lagi. Kalau mau mendaki, dia mencoba mempersiapkan aspek safety sebaik mungkin.

Mendaki gunung (hiking) malah pakai sepatu sekolah

Sementara Faris (21) masih kelas 3 SMA di Demak, Jawa Tengah, kala bersama teman-temannya nekat menjajal mendaki Gunung Merbabu.

Waktu itu mereka baru saja menuntaskan ujian sekolah. Karena termakan konten TikTok yang menunjukkan keindahan Gunung Merbabu, dia dan tiga temannya sepakat untuk mendaki gunung tersebut. Ingin sekadar mengambil gambar lautan awan dan sabana hijau di atas Merbabu.

Namun, kata Faris, saat itu mereka tidak ubahnya bocah-bocah tolol. Sebab mereka berangkat tanpa perlengkapan memadai.

Tidak ada tas gunung berisi perbekalan cukup. Tapi tas sekolah yang berisi perbekalan seadanya. Sepatu yang mereka kenakan pun bukan sepatu untuk hiking, tapi sepatu sekolah.

“Jadi bawa satu tenda ditenteng. Nggak bawa sleeping bag. Cuma bawa mie, camilan, sama botol air dua atau tiga kayaknya,” ucap Faris.

Terpeleset hingga dehidrasi

Langkah mereka jelas tidak mudah. Sebab, ada jalur-jalur tanjakan dengan medan tanah tanpa pijakan. Alhasil, sepatu mereka—sepatu sekolah yang memang bukan didesain untuk hiking—tidak bisa mencekeram dengan baik. Terpeleset-pelesetlah mereka.

“Itu bahaya sekali. Kalau waktu itu kami sial, bisa jadi kami terpeleset dan gelundung sampai bawah,” tuturnya.

Pendakian itu pun tidak bisa sampai puncak. Sebab, mereka kehabisan air di tengah jalan. Antara kurang bisa mengatur manajemen minum atau karena memang kurang saja bekal airnya.

Sebenarnya mereka nyaris terus melanjutkan pendakian. Tapi satu dari mereka ada yang tidak kuat lantaran tenggorokan terasa kering.

“Waktu kami berhenti, ada pendaki yang negur kami, mending kami turun karena kami ngawur. Air habis, nggak bawa sleeping bag, sepatu juga sepatu sekolah. Terlalu mbonek. Bisa bahayakan kami,” ujar Faris.

Faris dan satu temannya sebenarnya sempat ngeyel mau melanjutkan pendakian di Gunung Merbabu itu. Akan tetapi, dua teman lainnya punya pandangan yang lebih rasional dengan mempertimbangkan saran pendaki yang sebelumnya mereka temui. Maka, diputuskanlah mereka turun.

“Lega pas di bawah bisa beli minum. Tapi itu jadi pelajaran berharga. Setelahnya kami belajar lagi. Lebih siap lagi. Sewa tas gunung, sleeping bag, terus mulailah pakai sepatu hiking. Bekal juga dihitung betul-betul biar nggak terulang seperti kegoblokan sebelumnnya,” tutupnya.

Di internet, kata Faris, ada sangat banyak konten perihal apa saja yang harus diperhatikan pendaki—khususnya pemula—sebelum mendaki gunung. Bagi faris, tidak ada alasan untuk mendaki secara ngawur dan modal nekat, karena nyawa bisa jadi taruhannya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Di Balik Pesona Rinjani, Gunung Terindah di Indonesia yang Ternodai atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

Exit mobile version