Mata Air Patiayam, Warisan Purba dan Sumber Hidup yang Tak Boleh Hilang

Ilustrasi - Mata air Patiayam, warisan purba yang menjadi sumber hidup warga Desa Gondoharum, Kudus. (Ega Fansuri/Mojok.co)

***

Debitnya memang kecil. Namun, mata air di kawasan bukit Patiayam nyatanya menjadi sumber hidup bagi masyarakat Desa Gondoharum, Kudus. Maka, tak terbayang jika mata air itu mengering. Meskipun hanya sekejap saja, pasti jadi “krisis ekologi” mengerikan.

Mati air Patiayam: sebuah warisan purba

Mata air di bukit Patiayam sejatinya adalah warisan purba. Menjadi salah satu variabel yang menjaga keberlangsungan ekosistem purba di masa silam.

Diperkirakan pada zaman Pleistosen, gajah-gajah dan kerbau berukuran besar berumah di antara pohon-pohon dan tetumbuhan di bukit Patiayam. Mereka tak kekurangan makan dan minum.

Vegetasi masih padat. Bisa kapan saja mereka santap. Aliran air pun mengucur deras untuk membasuh dahaga.

Begitu lah kira-kira gambaran kehidupan purba di bukit Patiayam. Buktinya bisa dilihat di Situs Purbakala Patiayam. Ada fosil-fosil gajah purba (Stegodon) hingga kerbau raksasa (Bubalus palaeokarabau) dirawat di sana.

Ilustrasi gajah purba MOJOK.CO
Ilustrasi gajah purba. (The New York Public Library/Unsplash)

Bukit Patiayam, Kudus, memang menjadi habitat satwa liar hingga ribuan tahun. Kata Mashuri (47)—Ketua Kelompok Tani (POKTAN) Wonorejo, Desa Gondoharum—hingga 1970-an pun masih ada satwa-satwa seperti macan hingga kijang.

“Di masa kecil saya dulu masih sering lihat ada kijang berkeliaran di sini (bukit Patiayam),” ujarnya saat saya temui di sela-sela memanen mangga di bukit Patiayam, Selasa, (7/10/2025) pagi.

keberadaan satwa-satwa itu cukup menjadi bukti, kalau ekosistem bukit Patiayam sempat berada dalam masa sangat ideal sebagai habitat flora-fauna. Termasuk karena ketersediaan mata air yang melimpah. Karena tanpa air, satwa-satwa itu tak mungkin bertahan di sana.

Lanskap bukit Patiayam di Desa Gondoharum, Kudus. (Eko Susanto/Mojok.co)

Rindu masa kecil, rindu mata air melimpah dari bukit Patiayam

Keberadaan sumber mata air itu masih melimpah ketika Mashuri masih anak-anak. Mashuri ingat, dulu air dari bukit Patiayam bisa mengaliri sungai dan belik-belik di Desa Gondoharum, Kudus. Tak ada kata “sulit air” bagi masyarakat setempat, kendati musim kemarau melanda.

“Dulu warga sini masih tanam padi. Itu irigasinya ya dari sumber air yang melimpah,” kata Mashuri.

Pengakuan serupa dituturkan oleh Dardi (48), masyarakat sekaligus petani Desa Gondoharum. Kalau mengingat masa kecilnya, ia merasa ada rindu-rindunya.

“Dulu itu saya suka mandi di sungai. Suka ikut orang tua ngangsu di belik juga buat kebutuhan rumah,” kata Dardi. “Ikan di sungai juga banyak. Jadi selain ciblon di sungai juga mancing sekalian.”

Dardi (48), petani Desa Gondoharum, Kudus. (Eko Susanto/Mojok.co)

Kondisi bukit yang hijau dan mata air yang melimpah itu berubah ketika terjadi penggundulan hutan di tahun 1998. Hutan berubah tandus. Debit air pun kian mengecil. Alhasil, satwa-satwa penghuni hutan bermigrasi, kalau tidak turut  “dibabat” para pembalak hutan.

“Sejak 1998, itu kalau kekeringan atau kurang air ya sering. Terutama saat musim kemarau. Itu ngangsu di sisa-sisa sumber air sampai antre. Kalau nggak ya beli air dari luar,” ungkap Dardi.

Konservasi: upaya menjaga mata air agar tak mati

Seiring waktu, ada banyak keresahan yang mengusik batin Mashuri. Termasuk persoalan mata air. “Kalau alamnya tandus terus, ini lama-lama warga nggak bisa hidup karena nggak ada sumber air,” katanya.

Pada 2019, Mashuri—dengan penuh tekad—lantas menggagas penghijauan kembali bukit Patiayam. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menanam tanaman/pohon berakar besar. Tujuannya, tentu agar pohon-pohon itu bisa menjaga keberadaan mata air di bukit Patiayam. Misalnya yang ditanam di sana, ada mangga, beringin, bambu, dan gayam.

Bukit Patiayam perlahan mulai dihijaukan usai pembalakan 1998. (Eko Susanto/Mojok.co)

Muhtarom (46), Community Development Staff Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF)—yang turut mendampingi penghijauan di bukit Patiayam—mengaku, awalnya tidak mudah memberi pemahaman masyarakat perihal betapa pentingnya pohon-pohon berakar besar itu.

Saat itu masyarakat menilai pohon atau tumbuhan yang bermanfaat ya yang berbuah cepat untuk lekas dijual. Alhasil, pohon keras seperti beringin atau gayam dianggap tidak produktif bahkan mengganggu. Ujung-ujungnya malah ditebang.

“Memang perlu pendekatan. Pelan-pelan saat itu yang kami sampaikan adalah bahwa pohon ini bermanfaat untuk menjaga mata air. Kalau mata air terjaga, kan masyarakat sendiri yang menikmati,” kata Muhtarom.

Muhtarom (46), Community Development Staff Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF). (Aly Reza/Mojok.co)

Sejak 2019, BLDF memang berkomitmen turut membantu Mashuri dan masyarakat Desa Gondoharum, Kudus, untuk melakukan konservasi terhadap bukit Patiayam yang teramat tandus. Bantuan berupa bibit-bibit pohon mangga dan pupuk diberikan.

Hingga saat ini, ada sekitar 28.000 bibit pohon ditanam di luasan 250 hekatre bukit Patiayam. 15.000 pohon di antaranya sudah berbuah dan dipanen oleh para petani.

Hidup tenteram karena peduli dengan alam

Kata Mashuri, Dardi, dan Muhtarom, konservasi bukit Patiayam itu pada akhirnya memiliki dampak berlapis. Pertama, menjaga Desa Gondoharum, Kudus, dari ancaman longsor. Kedua, meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat: Karena pendapatan naik di masa panen mangga. Ketiga, debit mata air kembali stabil.

“Memang belum sederas dulu. Tapi paling tidak sudah stabil, nggak akan kehabisan,” ujar Dardi.

Salah satu sumber mata air di bukit Patiayam, Desa Gondoharum, Kudus. (Aly Reza/Mojok.co)

“Sumber air itu dialirkan ke bak penampungan, lalu diselang untuk disalurkan ke rumah-rumah warga. Ada 5 RT yang menggantungkan hidup dari sumber air itu, untuk minum, masak, mandi, dan lain-lain,” sambung Mashuri. “Hawa desa juga kan jadi adem karena alamnya hijau,”

Sepanjang perbincangan hari itu, hanya kesan “tenteram” yang saya tangkap dari wajah Mashuri. “Apa rahasianya, Pak, biar bisa hidup ayem?” Tanya saya.

Mashuri (47) penggagas penghijuan bukit Patiayam. (Eko Susanto/Mojok.co)

Dengan senyum teduh, Mashuri menjelaskan, ia berpegang pada prinsip hidup kira-kira begini:

Jika orang peduli dengan alam, maka hidupnya akan tenteram. Karena alam itu menghidupi.

“Mangkanya saya sering kalau sama pohon mangga, saya ajak bicara, ‘Semoga tumbuh baik’. Saya rawat dengan baik pula. Kalau tumbuh baik, ia pasti akan ngasih hasil terbaik buat kita,” tutup Mashuri.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Tapa Ngeli hingga Akidah Muttahidah Sang Wali Lingkungan, Menjaga Alam Muria dari Pengrusakan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version