“Penetapan Marsinah sebagai pahlawan nasional adalah kemenangan gerakan buruh dan keadilan sosial,” ujar Ketua Asosiasi Serikat pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat.
***
32 tahun berlalu setelah Marsinah meregang nyawa pada 1993, negara akhirnya menyematkan gelar pahlawan kepada dirinya. Tepat pada Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025) di Istana Negara, Jakarta. Buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Porong itu dibunuh karena mengorganisir aksi protes soal kenaikan upah minimum di Jawa Timur.
Kakak Marsinah, Marsini selaku perwakilan keluarga yang hadir dalam acara anugerah gelar pahlawan nasional tersebut mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto. Namun ia berharap pemerintah tak hanya memberikan simbol kepahlawanan kepada adiknya, tapi menyejahterakan para buruh yang nasibnya masih menderita.
“Jangan ada PHK-PHK, terutama yang outsourcing. Siapa tahu dengan Pak Prabowo dibuat seperti zaman dulu, tidak ada outsourcing, sehingga untuk kehidupan perumah tangga itu bisa berjalan lancar,” ujar Marsini dikutip dari Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Penganugerahan itu diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025. Selain Marsinah, ada 9 tokoh lain yang mendapat gelar pahlawan nasional, yakni:
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
- Soeharto
- Mochtar Kusumaatmadja
- Hajjah Rahmah El Yunusiyah
- Sarwo Edhie Wibowo
- Sultan Muhammad Salahuddin
- Syaikhona Muhammad Kholil
- Tuan Rondahaim Saragih Garingging
- Zainal Abidin Syah
Kemenangan moral bagi buruh di Indonesia
Ketua Asosiasi Serikat pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat berujar pengakuan negara terhadap Marsinah bukan hanya bentuk penghormatan, melainkan kemenangan moral bagi seluruh pekerja di Indonesia.
Sebab selama ini, buruh terus memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan hak-hak konstitusional mereka. Bahkan 4 hari sebelum Marsinah diumumkan sebagai pahlawan, para buruh masih menggelar demo di Gedung DPR, Jakarta pada Kamis (6/11/2025).
Massa dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) itu menyampaikan 10 tuntutan, yakni:
- Sahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pro Buruh.
- Berlakukan upah layak nasional dan naikkan upah 2026 minimal 15 persen.
- Hapus sistem kerja kontrak.
- Outsourcing.
- Pemagangan eksploitif
- Kemitraan palsu ojek online
- Lindungi buruh perempuan dan migram
- Segera ratifikasi Konvensi ILO 188
- Hentikan represi dan kriminalisasi gerakan rakyat
- Stop perang, blokade ekonomi maupun genosida, serta dukung kemerdekaan Palestina.
Tuntutan itu dibuat mengingat penderitaan buruh yang mengalami ekploitasi sistemik melalui upah murah, fleksibilisasi kerja sistem outsourcing, kontrak, harian lepas, dan sistem magang. Akhir-akhir ini, kaum buruh juga menghadapi badai gelombang PHK akibat krisis ekonomi secara global.
Perjuangan buruh adalah bagian dari perjuangan bangsa
Mirah berujar perjuangan para buruh adalah bagian dari perjuangan bangsa. Ketika negara menyematkan gelar pahlawan kepada Marsinah, artinya negara juga mengakui perjuangan dan pengorbanan buruh sejak kemerdekaan dan pembangunan nasional.
Selain itu, Marsinah juga menjadi simbol perjuangan yang menginspirasi generasi muda buruh untuk tidak takut memperjuangan haknya. Bagi mereka, Marsinah adalah simbol keberanian, keteguhan, dan suara yang tidak pernah padam dalam memperjuangkan hak-hak pekerja.
Oleh karena itu, ASPIRASI menyerukan agar penetapan gelar pahlawan dari pemerintah kepada Marsinah diiringi dengan keberlanjutan nyata yang menyejahterakan buruh. Bukan hanya simbol semata.
“Penegakan hak pekerja untuk berserikat tanpa intimidasi, sistem pengupahan yang adil dan manusiawi, perlindungan hukum terhadap aktivis dan pengurus serikat pekerja,” kata Mirah dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (12/11/2025).
Yang tak kalah penting, kata Mirah, penyematan gelar pahlawan kepada Marsinah adalah bentuk koreksi sejarah atas ketidakadilan dan pembungkaman suara pada kaum pekerja.
Buruh perempuan itu tewas tak lama setelah mengorganisir aksi protes soal kenaikan upah minimum di Jawa Timur. Menurut berbagai laporan, ia diduga dibunuh setelah disiksa dan diculik karena keberaniannya memimpin aksi.
“Kasusnya menjadi simbol nyata bahwa perjuangan atas hak pekerja tidak boleh dibayar dengan nyawa,” ujar Mirah.
Soeharto tak layak disandingkan dengan Marsinah
Mirisnya, penyematan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah bersamaan dengan penyematan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Lembaga kajian dan aktivisme demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai status pahlawan nasional untuk Soeharto merupakan skandal politik terbesar era reformasi.
“keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah yang dipaksakan terang-terangan. Keputusan ini mengabaikan aspirasi dan penolakan masyarakat sipil termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan,” ujar Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq.
Korban pelanggaran HAM itu termasuk Marsinah. Lebih dari itu, Nazif menyebut pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga membuka babak baru ideologi fasisme di tengah meluasnya militerisme.
Negara bahkan telah mengantongi dukungan dari dua kelompok agama terbesar di Indonesia yakni MU dan Muhammadiyah. Nazif menjelaskan dari 10 nama pahlawan yang diumumkan, di antaranya berlatar agama, 2 jendral militer yang berperan penting dalam G30S, dan sisanya sipil.
“Situasi yang membawa keburukan ini perlu dicegah karena jika tidak, maka jarum jam sejarah benar-benar akan berputar menuju era gelap fasisme masa lalu,” ucap Nazif.
Di sisi lain, penyematan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah seharusnya menjadi pintu pembuka jalan bagi perjuangan buruh yang lebih beradap. Ketua ASPIRASI, Mirah berhadap jangan sampai ada “Marsinah-Marsinah” baru di masa depan yang mengalami nasib serupa.
“Kami mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjadikan momen ini sebagai refleksi bahwa pekerja bukan objek produksi, melainkan subjek pembangunan yang memiliki martabat dan hak yang setara sebagai warga negara,” jelas Mirah.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Suara Marsinah dari Dalam Kubur: “Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku“ atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
