Malioboro Jogja merusak ekspektasi orang Surabaya. Berharap menemukan tempat wisata Jogja yang estetik, justru mendapati situasi yang membuat kepala terasa sakit.
***
“Tak lengkap kalau ke Jogja tapi nggak mampir Malioboro.” Itu adalah doktrin dari orang-orang sekitar Elmi (25) di Surabaya yang cukup terngiang di kepala.
Setelah merencanakan cukup lama, Elmi yang sehari-hari berprofesi sebagai pengajar di salah satu SMP swasta di Surabaya memutuskan touring dari Surabaya ke Jogja.
Jika memang tujuan akhirnya wisata ke Jogja, sebenarnya bisa saja Elmi memilih naik kereta atau bus. Lebih enak, tak terlalu capek. Hanya saja, Elmi memang berencana mampir-mampir di beberapa kota seperti Madiun dan Sragen.
“Beberapa teman nyantri dan kuliah dulu dari daerah-daerah tersebut. Jadi sekalian mampir,” ungkap Elmi, Selasa (2/6/2024).
Terlebih, teman Elmi yang di Madiun memang berniat untuk ikut sekalian motoran ke Jogja. Singkat cerita, berangkatlah Elmi dan temannya tersebut hingga akhirnya tiba di Jogja pada Senin, (10/6/2024).
Pada Selasa, (11/6/2024) sorenya, Elmi dan temannya sengaja melipir ke Malioboro. Guna mengobati rasa penasaran, memang seperti apa sih Malioboro itu? Sebagai wisata yang kerap diromantisasi di media sosial. Namun, bayangannya tentang Malioboro yang estetik buyar begitu saja saat melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Parkir Malioboro Jogja bikin nggak tenang
“Itu jam-jam empat sorean lah. Sebenarnya saat melewati Tugu Jogja, aku udah mulai mikir, duh, ternyata crowded banget. Padahal di medsos Tugu Jogja kelihatannya nggak seramai itu,” ujar pemuda asal Jombang yang mengajar di Surabaya tersebut.
Keresahan pertama Elmi soal Malioboro adalah soal tempat parkir. Sejak memasuki Jalan Malioboro yang padat merayap sore itu, Elmi sebenarnya sudah melihat beberapa tukang parkir yang mengarahkannya untuk parkir di satu lahan.
Akan tetapi ia ragu. Elmi penginnya parkir di satu titik yang ia sendiri bisa mengawasi motornya tersebut. Mengingat kondisi Malioboro yang sangat padat.
Elmi sempat mau parkir di seberang jalan sebelum Titik Nol, di mana banyak pengunjung berfoto dengan latar belakang gedung BRI. Sayangnya tukang parkir meminta Elmi untuk pindah karena sudah penuh.
“Aku muter lagi, akhirnya terpaksa parkir di Pasar Bringharjo. Dan bener-bener mengkhawatirkan, karena nggak ada karcis. Kondisi motor di perlintasan lalu lalng orang. Nggak boleh kunci setir. Kan aku jadi waswas,” tutur Elmi.
Alhasil, pemuda Surabaya itu pun hanya sebentar saja di Malioboro. Sebab, pikirannya tak jenak. Takut kalau-kalau motornya hilang. Meskipun pada akhirnya memang tidak hilang, tapi model parkir yang se-los-losan itu tentu cukup mengkhawatirkan.
“Seliar-liarnya parkir di Surabaya, kayaknya masih ada karcis buat ngecek. Jadi tetep ngerasa aman aja. Kalau kayak Malioboro, ngeri, sih,” bebernya.
Kepala keliyengan di Malioboro Jogja
Selain persoalan parkir yang bikin waswas, ada satu hal lagi yang bikin Elmi tak tahan berlama-lama di kawasan wisata Malioboro Jogja. Yakni kondisi yang begitu padat, riuh, dan belum lagi bunyi klakson dari kendaraan-kendaraan yang melintas.
“Mau cari estetiknya sebelah mana kalau gitu. Isinya bener-bener kekacauan,” kata Elmi.
“Jadi kayak nggak ada bedanya aja dengan Surabaya. Niatnya jauh-jauh dari Surabaya ke Jogja kan untuk menenangkan pikiran, menemukan hal baru. Eh ternyata malah nemu hal yang sama,” imbuhnya.
Keriuhan di Malioboro tak pelak membuat kepala Elmi keliyengan. Alhasil, ia langsung mengajak temannya untuk langsung cabut saja meninggalkan kawasan yang kerap diromantisasi tersebut.
Heran kenapa ditiru Jalan Tunjungan Surabaya
Hal yang sama pernah saya diskusikan dengan Dipta (26), pemuda asli Surabaya yang terbilang cukup sering mengkritik penataan wisata-wisata di Kota Pahlawan. Termasuk yang paling baru adalah kawasan wisata Kota Lama Surabaya.
Dipta sendiri sudah beberapa kali wisata ke Jogja. Termasuk yang paling pertama adalah 2018 silam, dalam masa liburan kuliah.
Pengalaman pertamanya tidak jauh berbeda dengan Elmi. Alhasil, sejak pertama itu pula, setiap ke Jogja ia selalu meng-cancel Malioboro dari daftar yang harus ia kunjungi. Sekalipun saat ia ke Jogja bareng pacar dan sang pacar memaksa untuk foto-foto ke Malioboro.
“Aku menolak. Tapi kukasih tahu lah kalau Malioboro itu nggak se-estetik yang kamu bayangkan,” tutur pengusaha tembakau kecil-kecilan itu.
Yang membuat Dipta heran adalah, kok bisa-bisanya konsep wisata ala-ala Malioboro itu diadopsi oleh beberapa daerah di Jawa Timur. Salah satu yang paling mencolok adalah Jalan Tunjungan Surabaya.
“Kalau segi parkir, mungkin Jalan Tunjungan lebih baik lah. Tapi selebihnya sama saja. Crowded. Bising. Semrawut. Jadi nggak bisa dinikmati,” beber Dipta.
Dipta sendiri tentu kelewat sering berlalu-lalang di wisata Jalan Tunjungan Surabaya. Pasti sumpah serapah yang ia lontarkan tiap kali melintasi dan berjibaku di antara kemacetan Jalan Tunjungan.
Oleh karena itu, ia tak heran jika Elmi dan temannya sampai kecewa saat melihat fakta Malioboro tak se-estetik di media sosial. Karena di Surabaya sudah disuguhkan dengan kebisingan, ke Maliboro ternyata nemu hal yang sama.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News