Upaya Mahasiswa UNY Mengatasi Luka Batin dan Amarah pada Hidup Lewat Puisi

Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) membaca puisi. MOJOK.CO

Ilustrasi - mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berpuisi karena marah. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Puisi tak hanya berisi kumpulan sajak yang lebay. Ia bisa menjadi media bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaan mereka. Bagi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), puisi dapat menyembuhkan luka batinnya.

***

Pernah melihat kisah Rangga dan Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta (AADC)? Cerita cinta dua remaja di masa SMA itu masih mengenang di hati para penonton.

Rangga yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo, berhasil membuat penonton terbawa perasaan (baper) ketika saling mengirim puisi lewat surat.

Misalnya lagi, kalau ingin film yang lebih baru, ada Dilan 1990 yang diperankan oleh Iqbal Ramadhan. Dalam film itu, Dilan mampu memikat hati Milea lewat puisinya.

Meskipun terdengar klise tapi Psikolog David Comer Kid dan Emanuele Castano pernah membuktikan, bahwa dengan membaca fiksi sastra dapat meningkatkan empati.

Fiksi sastra tak hanya merujuk pada novel, tapi juga puisi. Keduanya berujar fiksi sastra dapat membuat seseorang lebih cepat mendeteksi dan memahami emosi orang lain.

Meskipun para psikolog itu melakukan percobaan kepada seribu orang peserta di New York, Juna (25) sempat membuktikannya. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu kini lebih berani mengungkapkan perasaannya lewat puisi.

Menyatakan cinta lewat puisi

Ketertarikan Juna dengan puisi bermula dari bacaan pertamanya. Dia tak sengaja menemukan buku berjudul Sayap-sayap Patah karya Kahlil Gibran di perpustakaan sekolah.

Bak tokoh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta, Juna juga menyatakan cinta kepada dambaan hatinya lewat puisi. Kalau sebagian orang merasa puisi itu lebay, Juna tak berpikir demikian.

“Aku mulai suka membuat puisi dari zaman SMA, ketika aku jatuh cinta dengan wanita,” ujarnya.

Juna menempuh pendidikan di sekolah teknik menengah (STM) yang mayoritas diisi oleh laki-laki. Saat itu dia merasa kehidupannya mulai gersang, sampai dia bertemu gadis SMA yang menurutnya cantik.

“Setiap pulang sekolah tuh aku ngasih puisi yang idenya aku buat dari buku Sayap-sayap Patah itu,” ucap mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.

Dari sana, Juna mengaku mulai berani mengungkapkan perasaannya. Apalagi, saat melihat respon perempuan tersebut yang dengan senang hati menerima puisinya.

Psikolog Kidd dan Castono menjelaskan dalam fiksi sastra, ketidaklengkapan karakter membuat pembaca mencoba memahami pikiran orang lain.

“Fiksi sastra memungkinkan anda memasuki lingkungan baru dan anda harus menemukan jalan anda sendiri,” ujar Kidd.

Mungkin itu juga yang dialami perempuan idaman Juna. Berkat memahami perasaan Juna, perempuan itu pun luluh hatinya. Tak lama kemudian, mereka berpacaran. Saat itulah Juna tahu, perempuan tersebut mengoleksi puisi-puisinya.

Pelipur lara bagi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNY

Ketertarikan Juna terhadap puisi tak berhenti sampai akhirnya mereka berpacaran. Terlebih, hubungannya dengan perempuan tersebut tak bertahan lama.

Meski sudah putus, Juna mengaku tetap menyukai puisi. Bahkan di kala hatinya pilu, dia justru terinspirasi menyalurkan perasaannya lewat puisi.

Setelah lulus SMA, dia pun kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyajarta (UNY). Saat itu dia makin menggeluti dunia sastra, khususnya puisi.

“Dulu di kampus kan banyak komunitas yang senang berdiskusi soal puisi. Mereka juga sering mendiskusikan buku-buku,” ucap mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.

Juna selalu tergelitik saat melihat diksi-diksi indah yang dia temui di jalan. Buru-buru dia mengeluarkan telepon genggamnya untuk mengetik diksi itu di notes agar tidak lupa. Catatan itu menjadi bahan bakarnya untuk menulis puisi.

Membahasakan perasaan seseorang

Juna merasa puisi dapat membahasakan apa yang tidak bisa dia katakan. Ibarat musik, puisi dapat menghiburnya. Misalnya, kata Juna, mendengarkan lagu Bernadya dapat meluapkan rasa sedihnya.

Begitu pula dengan puisi. Bahkan menurut Juna, kalimatnya bisa lebih mendalam ketimbang lirik lagu. Lebih-lebih kalau puisi itu dia buat dengan kalimatnya sendiri.

“Bagi orang-orang introvert yang nggak suka keramaian seperti aku tuh, puisi menjadi salah satu media alternatif untuk aku bercerita kepada orang lain. Apa yang aku rasakan,” ucap mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.

Kebanyakan puisinya berisi tentang perasaan pribadi. Ketika dia merasa lelah menghadapi hari, Juna mulai menuliskan berbagai perasaannya seperti marah, sedih, dan senang.

Lambat laun, saat dia mulai beranjak dewasa, Juna lebih sering menuliskan puisi kemarahannya atas hidup. Salah satu puisinya berjudul Sebatang Rokok Sebelum Imsak. Begini isinya:

Pagi yang gigil sedikit kesiangan bangun sahur

Melahap nasi dan juga omong kosong keluarga

Duduk di teras menyalakan sebatang rokok

Asapnya mengepul memenuhi rongga pikiran yang kalut

Sebatang rokok sebelum imsak dan subuh

Aku dan sebatang rokok ini saling bertaruh

Siapa yang akan habis lebih dulu.

Merekam karya mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNY

Setidaknya sudah ada sekitar 300 puisi yang Juna masukkan ke medium sejak tahun 2017. Beberapa coretan juga dia simpan di sticky notes, tapi ada juga yang dia buang.

“Karena kadang-kadang kayak cuman ya udah, pengen nulis aja,” katanya.

Di beberapa kesempatan, Juna bersama teman-temannya mulai mengikuti lomba dengan membuat kumpulan puisi. Dia dan sembilan orang teman kuliahnya membuat buku berjudul Melipat Agustus.

“Dan itu menang sayembara yang diadakan oleh Bentang Pustaka, tapi karena satu dua hal, bukunya tidak jadi terbit,” kata mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.

Meski begitu, Juna dan teman-temannya masih mendapatkan uang pembinaan. Hal itu pun membuat semangatnya bertambah untuk mengikuti tantangan di Instagram.

Tantangan itu berupa membuat puisi selama 30 hari. Jadi setiap harinya, dia harus rutin mengunggah di akun pribadinya. Rencana itu sedang dia geluti saat ini.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Berjuang Mengejar Cinta dengan Terus Ngetwit Puisi Romantis

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version