Penyesalan memang datang belakangan. Seandainya saja Bimo (26) menuntaskan kuliahnya, mungkin dia bisa menebar senyum ke orang tua dan sanak saudaranya saat lebaran. Sayangnya, nasi sudah jadi bubur. Bimo DO dari kampusnya, yang bikin hari raya lebaran selalu jadi hal yang horor baginya.
Siang itu, Rabu (20/3/2024), Bimo baru saja bangun tidur saat saya menelponnya. Bulan Ramadan memang bikin siklus tidurnya kebalik. Malam sibuk kerja hingga ketemu pagi, sementara siang dihabiskan buat molor sampai sore.
Sejak awal 2023 lalu, Bimo kerja di salah satu warung kopi di Jogja. Hari-hari biasa, jam kerjanya normal, tergantung shift. Kalau shift I masuk pagi pulang sore, dan kalau shift II kerja dari sore sampai pukul 12 malam. Namun, karena bulan puasa, tempat kerja Bimo baru buka pukul empat sore dan tutup menjelang sahur.
“Kalau mau ngobrol nanti langsung saja jam 2 ke sini [tempatnya bekerja],” saut Bimo, memahami maksud dan tujuan saya menelpon. Sebelumnya memang kami sudah janjian buat wawancara. Dia pun langsung meminta saya buat datang ke tempat kerjanya, yang kebetulan sekaligus jadi kos-kosannya.
Awalnya, Bimo mengaku cukup berat menceritakan kisahnya kepada Mojok. Saya dan dia, memang sudah lama kenal. Kisah “tragisnya” pun juga sudah beberapa kali jadi topik obrolan kami. Namun, untuk kisahnya Mojok tulis, ia mengaku “sungkan”, meski akhirnya bersedia.
“Sing aku misuh-misuh enggak usah dikutip,” candanya.
Bohong ke orang tua kalau sudah DO
Pada 2022 lalu, Bimo dinyatakan drop out alias DO. Kampus merekomendasikannya buat mengundurkan diri karena masa studinya sudah lebih dari 16 semester. Bagi mahasiswa PTN Jogja angkatan 2015 ini, tak ada pilihan lain selain menerima rekomendasi itu.
Kendati demikian, kata Bimo, pihak kampus saat itu masih berusaha menyelamatkannya. Ia bisa ikut program pemutihan dan melanjutkan studinya melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Tapi tawaran itu tak ia ambil lantaran uang kuliah yang harus dibayar sangatlah mahal.
“Akhirnya mutusin kerja aja. Karena kalau toh mau daftar lagi ke kampus swasta, enggak punya uang. Tahu sendiri kan saat itu kita sama-sama freelance,” ujar lelaki asal Situbondo ini.
Bimo sudah pasrah dengan nasib DO-nya. Namun, yang bikin dia bingung adalah cara menyampaikan ke orang tua kalau dia sudah berhenti kuliah. Dia tak ingin kedua orang tuanya kecewa setengah mati, karena selama 7 tahun dia kuliah, uang yang mereka keluarkan buat bayar kos, saku, dan UKT tidaklah sedikit.
Alhasil, Bimo memutuskan buat bohong saja. Dia mengaku kalau sudah lulus tahun tersebut tapi memutuskan tidak wisuda.
“Orang tua sih sempat tanya, ‘kenapa enggak wisuda?’. Aku jawabnya karena enggak bisa ambil libur kerja. Aku ngakunya udah kerja waktu itu,” kata Bimo. Orang tuanya memahami alasan Bimo yang sudah jelas sebagai pembohongan itu.
Hutang ke teman-teman demi ngasih THR saudara-saudaranya
Ada dua kebohongan yang Bimo katakan ke orang tuanya. Pertama, soal wisuda, yang aslinya boro-boro wisuda, orang dia aja DO. Dan yang kedua, soal “kerja enak” di Jogja. Bimo mengaku hidupnya mapan karena sudah dapat “kerja enak” di perantauan. Padahal, dia sangat struggle. Kerjaannya serabutan; kalau ada tawaran joki tugas dia ambil, kalau ada proyekan dari suatu komunitas dia sikat.
Yang lebih tak terbantahkan lagi, penghasilannya juga pas-pasan. Saya adalah saksi hidup, yang mana tiap kali mendekati tanggal 30, Bimo selalu ngechat teman-temannya mau pinjam uang buat bayar kos. Bantuan teman-temannya ini yang bikin Bimo lolos dari pengusiran.
Namun, petaka ia rasakan tatkala semakin dekat bulan puasa 2022. Bayangkan saja, sebagai orang yang (mengaku) sudah sukses, tentu sudah jadi tradisi untuk memberi THR ke saudara-saudaranya saat lebaran nanti.
“Tapi gimana mau ngasih THR, orang selama puasa aja ngandelin makan gratis dari masjid-masjid,” kata dia.
Seandainya tak mustahil, Bimo berharap agar bulan puasa tak pernah berakhir agar tak pernah ada lebaran. Sebab, hari-hari menjelang lebaran sudah seperti hitung mundur menuju kiamat baginya. Akhirnya, tak ada pilihan lain baginya selain memakai cara lama tapi masih jitu: utang duit teman.
“Waktu itu pinjam ke tiga orang teman. Lupa jumlah pastinya, mungkin sekitar dua jutaan. Sekarang dah lunas semua dong.”
‘Pengakuan DO’ hampir merusak kebahagian momen lebaran
Modal duit utang, Bimo mudik ke kampung halamannya. Namun, sebelum pulang, ia sudah punya niat buat jujur bahwa selama ini telah banyak berbohong. Termasuk DO dan udah kerja mapan. Selama di bus, kata-kata manis buat minta maaf sudah dia rangkai. Toh, sepahit-pahitnya nanti, itu adalah momen lebaran, enggak mungkin terjadi pertengkaran heboh, pikirnya.
Benar saja, sampai di rumah orang tua menyambut Bimo dengan penuh haru. Maklum, ia pulang setahun sekali, jadi kerinduan orang tua kepadanya tak bisa terbendung lagi.
Bimo sampai di kampung halaman H-1 lebaran, jadi ia bakal melewatkan malam takbiran dan salat ied bersama orang tuanya di rumah. Di kepalanya, “mungkin bisa ngakuin kebohongan setelah takbiran, pas paginya tinggal maaf-maafan”.
Akan tetapi, semua ambyar di karena di malam takbiran, keluarga besarnya sudah berkumpul. Saudara besarnya yang juga perantau seperti dirinya, sudah datang dari kota. Tawa pecah di mana-mana. Senyum lebar ibunya yang tak pernah ia lihat setahun ke belakang, juga terpampang nyata di hadapannya.
Dia pun jadi ragu untuk mengakui semua kebohongannya. Rasanya, akan sangat berdosa jika kebahagian orang tuanya itu tiba-tiba terenggut.
“Jadi aku mutusin buat mendam semuanya. Aku bakal ngaku kalau udah mau balik ke Jogja aja.”
Lebaran pun ia jalani seperti sedia kala. Salat ied, lanjut halal bihalal keliling desa, ngasih THR ke saudara dan anak-anak kecil (yang dari hasil ngutang), dan tentunya lek-lekan bersama keluarga besar sambil ngopi dan makan ketupat. Obrolan pun sudah tentu ia isi dengan kebohongan-kebohongan lain.
Bimo sendiri memutuskan untuk balik Jogja paling terakhir, setelah keluarga besarnya sudah balik duluan ke kota. Pertimbangannya agar dia bisa ngobrol lebih intim bersama orang tuanya.
Baca halaman selanjutnya…
Pengakuan Bimo dan penyesalan yang menghantuinya seumur hidup
Seandainya bisa memutar waktu, Bimo ingin menyelesaikan kuliahnya
Sekitar H+5 lebaran, ketika rumah telah sepi, tinggal tersisa dia, kedua orang tua dan dua orang adiknya, Bimo akhirnya mengakui semuanya.
“‘Pak, Bu, sebenarnya Bimo kuliahnya enggak lulus, bahkan DO. Kerja pun belum. Mudik itu semua modal uang pinjaman’,” sekiranya demikian kata-kata yang ia sampaikan ke orang tua.
Setelah menyelesaikan kalimat pengakuannya, waktu seolah berhenti. Matanya tak sanggup melihat apa yang bakal terjadi kemudian. Telinganya seperti tak kuasa buat mendengar jawaban yang bakal terlontar. Namun, semua cacian sudah siap dia terima.
Akan tetapi, alih-alih omelan, hanya tangis tanpa henti yang terdengar di rumah tersebut. Ibunya, seharian menangis di kamar. Ayahnya, memilih menyibukkan diri di sawah, tak menyapanya seharian penuh. Sementara mengobrol dengan adik-adiknya pun penuh kecanggungan.
Perasaan bersalah inilah yang selalu menghantui Bimo. Seandainya ia lulus kuliah, dia tak perlu hidup dalam kebohongan. Kalau saja dia lulus kuliah, senyum lebar ibunya lima hari lalu tak akan terhenti hari itu. Tapi, sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur.
“Kalau bisa mengulang waktu, jujur aku pengen banget kuliah bener-bener sampai selesai,” akunya dengan penuh penyesalan.
Besoknya, saat berpamitan buat kembali ke Jogja, ayah dan ibunya masih hemat kata-kata. Mereka hanya bicara seperlunya. Tapi mereka membekali semua keperluan Bimo di perantauan, termasuk beras, uang saku, dan beberapa lembar baju baru. Hal ini yang bikin Bimo makin merasa bersalah.
Dalam obrolannya bersama saya, Bimo mengaku kalau hubungannya dengan orang tua sudah membaik. Kata Bimo, mereka mungkin sudah memaafkan kesalahannya. Mereka juga tak mempermasalahkan pekerjaan Bimo hari ini, meskipun itu jauh dari cita-cita yang mereka harapkan sebelumnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.