Biaya hidup mahasiswa jelas tidak bisa disamaratakan. Kendati sama-sama merantau di kota yang sama.
Mahasiswa dari keluarga mapan tentunya memiliki biaya hidup yang lebih besar. Sementara yang dari keluarga pas-pasan harus seirit mungkin dalam mengelola uang saku, sekalipun jumlahnya tipis sekali.
Sebagai mahasiswa berkantong pas-pasan, Rifai (26), panggil saja begitu, pada akhirnya memang harus hidup “prihatin” selama kuliah di sebuah daerah di Jawa Tengah. Perbulan dia hanya memegang uang Rp800 ribu untuk biaya hidup. Rp250 ribu untuk sewa kos, sementara sisanya untuk makan.
Sialnya, dalam kondisi seterhimpit itu, Rifai harus berteman dengan seorang mahasiswa manipulatif: Punya biaya hidup Rp500 ribu perminggu, tapi malah suka moroti orang lain.
Terpaksa berteman karena kenalan pertama sejak ospek
Sebenarnya Rifai kuliah di kampus Jawa Tengah—per 2018—itu bersama dua teman satu almamter. Namun, mereka beda jurusan. Alhasil, masing-masing harus mencari kenalan baru.
“Nah, sejak ospek aku ketemu sama mahasiswa manipulatif ini. Orangnya asyik. Terus tampak peduli,” ungkap Rifai, Kamis (4/8/2025).
Ospek tiga hari membuat Rifai dan temannya tersebut makin akrab. Dari situ pula, kehidupan sehari-harinya di rantau sering dia habiskan bersama temannya itu.
“Orangnya awalnya memang baik. Aku kan nggak bawa motor, sering diajak bareng. Sering juga tiba-tiba ditraktir makan,” sambungnya.
Mahasiswa boros dengy biaya hidup Rp500 ribu perminggu
Semakin akrab, Rifai akhirnya tahu kalau temannya tersebut berasal dari keluarga mapan. Bayangkan saja, seminggu dia pegang uang Rp500 ribu untuk biaya hidup.
Pilihan kosnya pun tak mau yang biasa saja. Harus mewah. Makan tiga kali sehari. Ngopi harus di coffee shop, enggan ngopi di warkop biasa apalagi angkringan.
“Sementara aku saja makan bisa sehari sekali kalau nggak dua kali. Itupun harus cari yang paling murah. Sering masak sendiri juga biar hemat. Kalau nggak gitu nggak hidup,” tutur Rifai.
Bukan sekali-dua kali si teman mengajak Rifai keluar untuk makan lebih enak dan mahal, ke mall, atau ke coffee shop. Beberapa kali Rifai menolak karena sadar dengan kondisi keuangannya.
Akan tetapi, sesekali dia merasa tak enak. Alhasil, mau tidak mau dia harus mengikuti gaya hidup si teman. Meski ujung-ujungnya Rifai merasa menyesal karena uang yang seharusnya bisa dia gunakan untuk makan dua kali bisa amblas hanya untuk segelas kopi di coffee shop.
“Awalnya dia nggak tahu memang kalau biaya hidup jatahku dari rumah itu cuma Rp800 ribu perbulan. Tapi mungkin dia tahunya, kalau mahasiswa yang masih minta uang dari orangtua itu bisa seminggu Rp500 ribu seperti dia,” ujar Rifai.
Baca halaman selanjutnya…
Tahu temannya miskin malam diporoti hingga lulus
Mahasiswa dengan biaya hidup Rp500 ribu perminggu malah jadi tukang moroti
Sejak semester 3, Rifai mulai melihat sisi manipulatif dari si teman. Rifai heran, kok bisa uang Rp500 ribu bisa habis bahkan sebelum seminggu.
Jika sudah begitu, kerap kali si teman mengiba pada Rifai. Misalnya dengan bilang kalau dia kehabisan uang, orangtua belum kirim lagi, sementara dia belum makan.
“Dia kan rumahnya dekat. Jadi biasanya Sabtu-Minggu pulang. Nah, heranku Rp500 ribu itu sudah habis di Jumat,” kata Rifai.
Sebenarnya juga tak heran-heran amat sih. Sebab, kata Rifai, gaya hidupnya memang sangat boros. Tidak cuma soal makan dan jajan, tapi juga untuk beri barang-barang yang sifatnya sebenarnya tersier belaka.
Yang membuat Rifai kesal, tiap si teman mengiba kehabisan uang, Rifai selalu menawarinya untuk ikut makan di kos Rifai. Mengingat, Rifai memang sering masak sendiri untuk menghemat.
“Tapi dia nggak mau. Langsung to the point misalnya lagi pengin nasi padang. Aku nggak enak juga kan. Karena gimana-gimana, dia sering traktir aku. Jadi ya sudah, dengan berat hati aku ajak dia ke nasi padang,” kata Rifai.
Situasi tersebut tak pelak merepotkan Rifai sendiri. Sebab, biaya hidup Rifai sebagai mahasiswa yang seharusnya cukup Rp800 ribu sebulan bisa menjadi kurang. Kalau sudah begitu, dia mau tak mau harus meminta kiriman lebih awal dari orangtua.
Tak ada yang gratis di dunia ini
Tak ada yang gratis di dunia ini. Seiring waktu, Rifai akhirnya menyadari itu.
Pasalnya, kebaikan-kebaikan—seperti mentraktir makan dan ngopi—dari temannya tersebut ternyata tidak cuma-cuma.
“Begini, korbannya ternyata nggak cuma aku. Tapi ada teman yang lain. Dan kami membaca pola kalau kebaikannya itu investatif. Jadi kalau dia mentraktir kami, di lain waktu kami juga harus mentraktir dia,” kata Rifai.
Rifai mungkin sedikit lebih beruntung karena “utang budinya” hanya soal makan dan ngopi. Kalau temannya yang lain lebih besar: rokok hingga bir.
“Pernah ya aku menolak, bilang nggak bisa traktir. Wah langsung dia bilang begini, ‘Biasanya aja kutraktir. Giliran aku yang butuh kamu nggak peduli.’ Aku jadi nggak enak lah,” ujar Rifai.
Padahal saat itu posisi teman Rifai sudah tahu kalau saku Rifai amat tipis. Rifai akhirnya terus terang ke temannya soal jatah sakunya perbulan. Tapi ternyata si teman tetap tak memahami. Karena tidak ada yang gratis di dunia ini.
“Tapi masalahnya, biaya hidup dia saja sebagai mahasiswa Rp500 ribu perminggu. Sementara aku ini Rp800 ribu buat hidup sebulan, loh,” sambungnya. Alhasil, Rifai dan temannya yang lain merasa jadi korban “pemorotan” oleh mahasiswa manipulatif itu.
Tertolong pandemi, tapi pemorotan tak berhenti
Rifai merasa bersyukur saat pandemi melanda. Kuliah beralih menjadi daring sangat panjang: Satu tahun (2020-2021). Sepanjang itu, Rifai merasa aman karena tidak lagi menjadi korban pemorotan.
Setelahnya pun Rifai merasa lebih aman karena dia lulus lebih cepat. Dan setelahnya langsung bekerja di Jawa Barat.
“Di Jawa Barat juga ketemu teman anak orang kaya. Tapi nggak gitu-gitu amat lah. Jadi ya aman, nggak diporoti lagi,” ucapnya.
Namun, ternyata dia salah. Sebab, karena tahu Rifai telah bekerja layak di Jawa Barat, si teman—mahasiswa manipulatif tadi—tetap kerap melancarkan pemorotan ke Rifai.
“Hampir setiap bulan menghubungi, ngutang. Masalahnya, utangnya bukan angka kecil. Utang Rp2 juta sampai Rp5 juta,” kata Rifai dengan nada penuh penekanan bercampur kesal.
Rifai kadang mengutanginya hanya Rp500 ribu. Tapi lebih sering dia tolak. Karena dia juga mengalokasikan uangnya untuk kehidupannya sendiri.
Sifat si teman masih sama. Kalau tidak diutangi, pasti langsung menyindir-nyindir di WA story. Misalnya dengan menulis, “Dulu zaman susah saja ditolong, sekarang sudah sukses lupa sama teman.” Persetan. Lama-lama Rifai memilih tak peduli.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Balas Dendam usai Dapat Beasiswa S1 KIP Kuliah, Manjakan Diri Sendiri dan Abaikan Ortu yang Tak Pernah Beri Hidup Enak Sejak Kecil karena Pemalas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
