Lakarsantri menjadi salah satu daerah yang terbilang kreatif di wilayah Surabaya Barat.
Jamak diketahui, Surabaya Barat selama ini dikenal sebagai sudut metropolis Surabaya. Banyak gedung-gedung pencakar langit dengan lampu-lampu gemerlap di sana. Orang-orang bahkan menyebutnya sebagai kawasan crazy rich.
Namun, di tengah hiruk-pikuk dan gemerlap Surabaya Barat tersebut, ada satu kampung yang “tidak umum”. Sebab, kampung tersebut seolah masih berada di tempo dulu.
Namanya Kampung Legenda. Lokasi persisnya di Lidah Kulon 3 RT 5 RW 2, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya bagian barat.
Suasana Kampung Legenda Lakarsantri Surabaya Barat
Sejak Mei 2024, kampung di Lidah Kulon, Lakarsantri, itu digarap menjadi kampung wisata baru di Surabaya Barat. Suasana di sana dibuat dengan konsep tempo dulu yang dipadukan dengan sentuhan modern.
Meski masih ada sentuhan modernisasinya, tapi suasana kampung di Lakarsantri, Surabaya Barat, itu memang terasa seperti di masa silam.
Memasukinya, orang-orang terasa di bawa “menepi” dari kondisi masa kini Surabaya yang sudah gemerlap. Itulah kenapa kemudian dinamakan Kampung Legenda.
Menjadi sosok legenda di Kampung Legenda Lakarsantri Surabaya Barat
Saat memasuki kampung dengan panjang 400 meter tersebut, orang-orang akan disuguhi dengan sejumlah saung dari sesek dan bambu.
Saung itu digunakan oleh pelaku UMKM setempat untuk menyajikan kuliner dengan nuansa tempo dulu. Misalnya, wedang, ketan, dan makanan-makanan berat khas tempo dulu lainnya.
Semakin masuk ke dalam Kampung Legenda di Lakarsantri, Surabaya Barat, orang-orang akan menemukan hiasan 5 dimensi berbentuk naga, rusa dan merak.
Hiasan-hiasan hewan tersebut merupakan simbolisasi cerita sejarah yang lekat hubungannya dengan Lakarsantri. Yakni, legenda Joko Berek atau yang dikenal dengan Sawunggaling, cerita rakyat asal usul Reog Ponorogo, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa merasakan langsung menjadi sosok legenda dengan bantuan teknologi, serta kostum pendukung yang dapat disewa.
Di Kampung Legenda juga tersedia spot foto menarik. Misalnya spot foto setelah mengenakan kostum-kostum ala tokok-tokoh legenda tadi.
Bahlan hal itu juga didukung adanya jasa pembuatan video konten. Harga sewa jasanya adalah Rp20 ribu per orang dan Rp50 ribu untuk satu kelompok.
Tempat tumbuhnya sosok Adipati Sawunggaling
Inisiator dari Kampung Legenda adalah Sugeng Heri Kuswanto—akrab disapa Wawan—yang sekaligus merupakan Ketua RT 5 RW 2 Lidah Kulon.
Kenapa Kampung Legenda? Wawan menjelaskan, Lakarsantri sendiri merupakan wilayah yang lekat dengan sosok Joko Berek alias Adipati Sawunggaling. Dia dipercaya menjadi orang yang babat alas wilayah Surabaya Barat.
Makam Adipati Sawunggaling pun terletak tidak jauh dari Kampung Legenda. Tepatnya di Lidah Wetan, Lakarsantri. Selama ini, nama Sawunggaling pun telah menjadi ikon bagi Lakarsantri.
Bukan tanpa alasan kenapa masyarakat sekitar begitu bangga menyematkan Sawunggaling dalam identitas kultural mereka. Sebab, semasa hidup, Adipati Sawunggaling dikenal sebagai orang jujur, gagah, dan berani.
“Sebenarnya tidak hanya sejarah itu saja yang mau kami tunjukan. Tetapi ingin membuat kampung yang bisa menjawab tantangan kegelisahan warganya. Pertama, tentang ekonomi, di mana banyak warga yang berdagang tapi hanya terbeli oleh warga sekitar. Secara ekonomi pendapatannya hanya segitu saja,” jelas Wawan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/1/2025).
Agar orang mengenal sejarah kotanya
Kegelisahan lain, Wawan merasa sarana edukasi terhadap anak muda Surabaya masing terbilang kurang. Maka, harapannya, Kampung Legenda bisa menjadi salah satu ruang itu: membuat anak muda lebih aware dengan sejarah kotanya sendiri.
“Dari kegelisahan itu, kami mengkonsep satu wilayah yang bisa berdikari secara ekonomi dan berkarya di bidang budaya,” terang Wawan.
“Artinya, dengan budaya yang dimiliki memperkenalkan ke anak muda, sehingga mereka bisa belajar dan sekaligus membuat kontennya,” imbuhnya.
Belanja dengan koin tempo dulu
Proses transaksi jual-beli di UKM Kampung Legenda, Lakarsantri, Surabaya Barat, pun dibuat ala-ala tempo dulu.
Wawan menjelaskan, pembeli harus menukar uangnya dengan kepeng (koin tempo dulu). Kepeng itulah yang kemudian bisa digunakan untuk melakukan transaksi selama di Kampung Legenda.
Kampung Legenda benar-benar ingin membawa pengunjung kembali ke tempo dulu. Menepi sejenak dari gemerlap Surabaya. Maka, sistem perdagangan pun harus diikutkan dengan nuansa tempo dulu, tidak hanya pada aspek arsitektural belaka.
“Sebenarnya untuk pembayaran menggunakan kepeng masih kami lakukan uji coba dan evaluasi. Nantinya, apa yang paling baik akan kami terapkan, pembayaran menggunakan uang atau kepeng,” beber Wawan.
“(Sementara) Untuk pasar sendiri dibuka di minggu pertama dan ketiga di setiap bulan,” jelasnya.
Pasar di Kampung Legenda sengaja dibuka hanya di minggu pertama dan ketiga tiap bulan karena lokasi pasar merupakan akses jalan warga. Jika buka setiap hari, maka berpotensi mengganggu mobilitas warga setempat.
Kendati begitu, Kampung Legenda sendiri masih bisa dikunjungi setiap hari. Karena pada prinsipnya memang untuk edukasi.
Karena pasar hanya buka di minggu pertama dan ketika, alhasil ketika buka, kata Wawan, suasananya terkesan sangat ramai dan guyub.
Penghasilan penjual teh bisa Rp500 ribu-Rp700 ribu per hari
Lebih lanjut, Wawan mengatakan, pihaknya berencana akan menambah berbagai spot baru sebagai daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Kampung Legenda, Lakarsantri. Rencana tersebut termasuk mengabungkan wisata antara Lidah Kulon dan Lidah Wetan.
“Kami berharap bisa memiliki Surabaya Barat berbudaya, masing-masing kelurahan menampilkan wisatanya. Kebetulan kampung saya mengangkat Kampung Legenda yang perkembangannya sampai wisata air di Waduk Slamet. Itu projek selanjutnya kerjasama kami dengan Pemkot Surabaya sebagai bentuk intervensi,” papar Wawan.
Selain itu, Wawan berharap perbaikan dan penambahan yang dilakukan nantinya bisa semakin meningkatkan kunjungan wisatawan untuk ke Kampung Legenda. Sehingga ekonomi masyarakat semakin berkembang.
“Setelah berjalan sejauh ini, dampak ke masyarakat sangat signifikan secara ekonomi. Misalnya saja penjual teh, dalam sehari penghasilannya berkisar Rp200 ribu. Tetapi kalau ada acara bisa mencapai Rp500 sampai Rp700 ribu,” tandas Wawan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menganti Gresik bikin Pusing: Tak Mau Disebut Gresik, Tapi kalau Ngaku-ngaku Surabaya Banyak yang Tak Terima atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan