Seorang perempuan memilih bertahan di Desa Lipursari, Leksono, Wonosobo. Kini kampung itu dijuluki kampung mati Wonosobo, lantaran, penduduknya perlahan pergi.
Ari (50), ibu empat anak memilih tetap bertahan di rumahnya yang berada di tengah hutan. Jalan menuju rumahnya cukup sulit. Bisa dilalui motor, namun medannya cukup menantang.
Ia lahir dan besar di tempat yang kini dijuluki kampung mati Wonosobo itu. Dari kecil hingga sekarang, listrik dari PLN belum mengaliri permukiman tempatnya tinggal.
Kisah tentang Ari saya dapat dari Ibra Muhammad Ijal, pemilik akun YouTube Jejak Bang Ibra yang memang menelusuri permukiman-permukiman terpencil di pulau Jawa. Kami sempat bertemu di Kulon Progo pada 2023 silam. Berbagi kisah tentang kampung mati Kulon Progo yang sempat begitu viral di akun YouTube miliknya.
Setelah itu, ia kembali menjelajah berbagai tempat terpencil di berbagai kota. Salah satunya, terbaru ini di kampung mati Wonosobo.
Jalan terjal menuju kampung mati Wonosobo
Ibra ditemani salah seorang rekannya dalam perjalanan menuju ke tempat tersebut. Jalannya, masih berupa tanah yang cukup licin saat musim penghujan. Sampai-sampai, ia harus turun dari kendaraan.
“Dari batas jalan aspal sampai di titik ini masih ada sekitar dua kilometer,” kata Ibra pada unggahan yang tayang Sabtu (29/6/2024) lalu.
Tiba di permukiman jelang petang, suasana sudah sepi dan senyap. Ada beberapa rumah yang berdiri di tengah hutan tersebut. Namun, sebagian sudah tampak kosong tak berpenghuni. Rumah-rumah kosong itu mulai rusak tak terawat.
Satu rumah yang masih dihuni adalah milik keluarga Ari. Perempuan yang memang lahir dan besar di kampung mati Wonosobo ini.
Saat Ibra berbincang dengannya, Ari bercerita bahwa ia sehari-hari bekerja sebagai petani. Menanam beberapa sayur dan ubi-ubian yang bisa dijual di pasar.
“Ya tiga hari sekali biasanya ke pasar untuk menjual apa yang bisa dijual dari kebun,” kata Ari. Dari jualan hasil kebun itulah ia bertahan dari hari ke hari.
Hidup tanpa listrik, puluhan tahun penerangan hanya pakai lampu minyak
Ketika petang menjelang, suasana permukiman itu berubah menjadi gelap. Listrik, menjadi barang langka di kampung mati Wonosobo.
“Sekarang penerangan pakai panel surya. Dapat bantuan sejak sekitar tiga tahun lalu,” ujar Ari.
Listrik yang dihasilkan pun terbatas. Lampu-lampu menyala hanya sampai jam 11 malam. Setelah itu padam dan permukiman menjadi gelap gulita.
Dulunya, rumah-rumah yang ada di sana hanya diterangi oleh lampu berbahan bakar minyak tanah. Kondisi itu bertahan selama puluhan tahun.
Ketika malam, tak ada bising manusia maupun kendaraan di kampung mati Wonosobo. Hanya ada suara-suara serangga dan hewan malam yang bersahut-sahutan.
Belakangan, selain tetangga yang mulai pada pindah, anak-anak Ari juga mulai keluar kampung. Ada yang sudah menikah dan pindah tinggal bersama keluarga barunya dan ada pula yang merantau kerja di Jakarta.
Tak kuat tinggal di kampung mati Wonosobo, tetangga pada pindah
Ari bercerita, tetangganya mulai pada berpindah ke kampung yang lebih ramai sejak beberapa tahun terakhir. Mencari tempat yang lebih dekat terhadap berbagai fasilitas dan layanan umum.
“Mungkin sudah nggak ada selera tinggal di sini. Nggak kuat juga karena jauh dari mana-mana,” kelakar perempuan ini.
Baginya, tinggal di kampung mati Wonosobo menjadi pilihan satu-satunya. Ia tak punya tempat atau biaya untuk pindah rumah ke tempat lainnya sehingga memutuskan tetap tinggal meski kampung semakin sepi.
Puluhan tahun tinggal di kampung mati Wonosobo, Ari mengaku tak pernah merasakan hal janggal. Hanya saja, pernah ia mencium bau amis yang aneh ketika malam hari. Namun, hal itu hanya jadi pengalaman yang tak sering ia alami.
Hidup dengan berbagai keterbatasan, Ari mengaku sudah lama tidak mendapatkan berbagai program bantuan pemerintah seperti BLT. Ia harap, meski tinggal di tempat nan terpencil, bisa mendapat perhatian dari pihak berwenang.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News