Tak semua warga lokal Nganjuk bisa menikmati nasi becek yang digadang-gadang sebagai makanan khas setempat. Harganya tak terjangkau, masih agak mending nasi banting.
***
Masyarakat Nganjuk ketika ditanya apa makanan khasnya, mayoritas pasti akan menjawab: nasi becek. Ya, memang nasi becek ini sebetulnya sudah memiliki branding yang kuat, apalagi di kalangan masyarakat atas. Tapi satu hal yang cukup menggelitik, 21 tahun saya hidup di Nganjuk, belum pernah menikmati makanan yang katanya “khas” ini.
Nasi becek yang disebut-sebut sebagai makanan legendaris di Nganjuk itu katanya punya sejarah sejak zaman kolonialisme. Tetapi, jujur saja setelah kemarin saya akhirnya memutuskan untuk mencoba, bagi saya rasanya tak ada yang istimewa.
Harga tak terjangkau, rasa standar
Hika (21) warga asal Nganjuk sepakat dengan saya. Ia menceritakan pengalamannya saat pertama kali menjajal makanan khas Nganjuk ini, kira-kira tiga bulan yang lalu. Menurutnya, dengan harga seporsi Rp28 ribu, tak membuatnya merasakan sesuatu yang spesial.
Hika bukanlah tipe orang suka dengan masakan gulai. Namun kala itu, ia merasa penasaran dengan kuliner yang digadang-gadang menjadi ciri khas Nganjuk itu. Dengan harga segitu, ia merasa kuliner itu tidak worth it untuk kalangan pelajar atau remaja yang belum kerja. Sesekali jika kepo dengan rasanya tentu boleh. Tapi bagi Hika sendiri, satu kali saja pernah merasakan sudahlah cukup.
“Sampe ibukku bilang ‘wis lah, wis nyoba yo uwis’ (udahlah, kalau sudah nyoba yaudah),” ungkap Hika saat Mojok hubungi pada Selasa (27/8/2024) siang WIB.
Berbeda dengan tempat Hika mencoba kuliner itu, saya sendiri melipir ke Jalan Ahmad Yani untuk mencobanya juga. Katanya, tempat itu adalah lokasi legendaris yang sudah berdiri sejak puluhan tahun.
Namun saya sendiri agak terkejut dengan harganya yang mencapai Rp35 ribu per porsi. Rasanya pun sebetulnya sama dengan gulai kambing yang biasanya saya makan ketika sedang ada hajat. Hanya saja, ada tambahan sate kambing di atasnya.
Malam harinya pun saya menceritakan ini ke teman-teman saya. Lantas, teman saya berceletuk, jika memang nasi becek seharusnya bukanlah makanan khas yang jadi primadona Nganjuk.
“Harganya tak sesuai UMK Nganjuk,” celetuk teman saya.
Seusai membincangkan nasi becek, saya diajak teman saya Yogi (20), untuk menjajal nasi banting, salah satu makanan khas Nganjuk juga. Waktu itu pukul 04.00 menjelang subuh, tepat ketika perut mulai terasa keroncongan setelah nongkrong semalam suntuk.
Nasi banting adalah nasi kucing versi Nganjuk
Saya dan Yogi memutari Jalan Ahmad Yani. Terlihat berjejeran penjual nasi pecel dan angkringan di sana. Tapi, perut saya bilang sedang tak ingin makan nasi pecel.
“Nasi banting, gimana?,” tanya Yogi kepada saya waktu itu.
Saya mengangguk. Sudah lama saya tak merasakan nasi banting. Bergegaslah kami ke angkringan yang sudah menjadi langganan saya ketika ingin nasi banting. Namanya warung kopi Pak Ji, tepatnya di depan Stasiun Nganjuk.
Saya duduk, memesan nasi banting dua bungkus dan secangkir kopi untuk mengganjal mata yang sudah mulai merasakan kantuk. Sedangkan Yogi memesan seporsi nasi pecel dan satu gorengan. Sembari menunggu pesanan, saya mengobrol ringan dengan si penjual. Penjualnya adalah pasutri, diketahui suami bernama Pak Ji, namun saya tak sempat menanyakan nama sang istri.
“Sudah lama jualan, Mas. Puluhan tahun,” ungkap Pak Ji ketika Mojok temui Minggu (18/8/2024) dini hari.
Ketika itu suasana warung masih sangat sepi. Sepertinya memang baru saja buka. Lanjut, saya langsung saja menyantap sebungkus nasi banting yang sudah di depan mata. Nasi banting ini saya pikir mirip dengan nasi kucing di angkringan Jogja. Porsinya kecil, namun jika habis dua bungkus tetap saja kenyang.
Meskipun tak ada daging kambing seperti nasi becek, tapi nasi banting ini sudah memiliki ciri khas kenikmatannya sendiri. Nasi yang pulen dan harum, dilengkapi oleh lauk mie dan tempe orek serta sambal teri. Tak lupa, saya mengambil dua buah tempe gembus agar lebih nikmat. Gorengannya pun juga cukup besar dengan harga hanya Rp1 ribu.
Setelah makan, saya beranjak untuk membayar ke Pak Ji. Pria yang kira-kira berumur 50 tahunan itu tampak sumringah.
“Nasi banting dua bungkus Rp6 ribu, gorengan tiga Rp3 ribu, sama kopi Rp3 ribu. Terus mas yang tadi nasi pecel Rp6 ribu. Jadi totalnya Rp18 ribu,” ucap Pak Ji.
Nasi Banting lebih cocok jadi primadona kuliner khas Nganjuk
Ternyata cuma Rp18 ribu saja saya sudah bisa mentraktir teman saya dengan kenyang. Saya berpikir, jika nasi becek seharga Rp35 ribu tadi saya bawa ke sini, sudah ada tiga teman yang mungkin bisa saya traktir.
Setelah itu saya menikmati nasi banting malam itu, saya bertemu dengan teman saya Habib (21). Saya menanyakan apakah ia pernah mencoba nasi becek yang katanya makanan khas Nganjuk itu.
“Belum pernah, lebih sering nasi banting. Aku sendiri merasa kalau nasi banting ini sebenernya khas e wong Nganjuk, bukan nasi becek,” ungkap Habib pada Minggu (18/8/2024) malam WIB.
Karena jika menurut Habib, nasi becek yang harganya selangit itu tidak mewakili masyarakat Nganjuk. Karena ia merasa kalau makanan khas itu adalah yang mewakili semua kalangan sosial di Nganjuk.
Bagi Habib, nasi banting adalah makanan khas yang seharusnya menjadi primadona kuliner di Nganjuk karena bisa menyasar berbagai kalangan. Sementara jika nasi becek yang digadang-gadang jadi makanan khas Nganjuk, ia yakin pasti banyak masyarakat Nganjuk yang belum pernah mencoba nasi becek seumur hidupnya, termasuk dirinya sendiri.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Hammam Izzudddin
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News