Laki-laki renta ini harus kucing-kucingan dengan petugas demi bisa merebahkan badannya di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Bukan hanya kesulitan mencari tempat untuk tidur, rasa lapar adalah temannya sehari-hari.
***
Seorang laki-laki tua, yang saya taksir berusia lebih dari 60 tahun, baru saja menata tempat tidurnya di pinggiran Jalan Margo Utomo (dulu Jalan Pangeran Mangkubumi), Kota Jogja, Rabu (10/01/2024) dini hari.
Kalian jangan berharap ada bantal, guling, selimut hangat atau bahkan kasur dari yang saya sebut “tempat tidurnya” tadi. Kardus bekas jadi alas tidurnya, dan sarung tua berwarna biru jadi satu-satunya penghalau dingin malam buat dia.
Pintu ruko jadi satu-satunya tempat bersandarnya malam itu. Gerobak berisi plastik-plastik bekas itu juga menjadi barang berharga semata wayang mungkin ia punya. Tak ada teman, tak ada lawan bicara, ia hanya sendiri.
Malam itu sudah amat larut. Waktu telah memasuki pukul 1 dini hari. Saya pun menjadi ragu untuk mendatangi dan mengajaknya berbincang. Dalam kepala saya, ada kekhawatiran kalau itu hanya akan mengganggu waktu istirahat dari harinya yang begitu berat.
Saya pun hanya duduk sendirian di samping Halte Trans Jogja di dekat kantor surat kabar Kedaulatan Rakyat. Cukup lama saya menyaksikan lelaki tua itu. Sebatang kretek dan lantunan lagu “Air Mata Api” Iwan Fals yang mengalun dari earphone yang saya pakai, menambah haru pemandangan malam itu.
Saya tidak tahu apakah lagu ini cukup menggambarkan laki-laki tua yang terkulai di pinggir jalan itu. Sebab, belum habis lirik-liriknya saya hayati, kaki ini memutuskan untuk berjalan menghampirinya.
Koran lawas jadi satu-satunya hiburannya di Sumbu Filosofi
Saya merasa lega karena saat menghampirinya, ternyata lelaki lanjut usia itu belum tidur. Ia hanya duduk bersandar di pintu ruko sambil membaca sebuah koran.
Saya sempat memperhatikan, ternyata surat kabar yang ia baca adalah edisi lama. Terlihat dari tanggalnya, 30 Desember 2023. Entah mengapa dia masih membaca koran lama itu. Mungkin, itu satu-satunya hiburan yang ia punyai.
“Pak, maaf mengganggu. Mohon diterima, ada sedikit rezeki buat Bapak,” kata saya, kulonuwun sambil memberinya beberapa roti dan minuman.
Saya tahu itu tak seberapa. Tapi secercah senyum membinar dari wajahnya. Ia berkali-kali mengucap terima kasih. Lelaki ini juga mengatakan bahwa sudah sejak kemarin ia belum makan apa-apa.
Kami sempat berkenalan dan saya tahu bahwa namanya Wardi. Sayangnya, ia tak mengingat betul berapa usianya. Tahun lahir pun juga lupa. Satu hal yang ia ingat adalah saat terakhir kali ia makan.
“Kemarin [terakhir kal] makan. Ada ibu-ibu yang membagikan nasi bungkus,” katanya malam itu.
Saya juga sempat mengguyoninya, mengapa ia membaca koran edisi 2023, padahal ini sudah tahun 2024.
“Enggak ada apa-apa yang bisa menghibur diri, Mas. Adanya ini gratis,” katanya dengan tawa kecil, sambil beberapa kali suara kecapan roti yang ia kunyah terdengar dari mulutnya.
Kata Wardi, ia mendapatkan koran-koran itu secara gratis. Kadang dari beberapa tukang becak yang ia temui, kadang ada penjual koran eceran yang sengaja memberinya secara percuma, dan tentu yang paling banyak adalah nemu aja di pinggir jalan.
Sumbu Filosofi Jogja bukan tempatnya para homeless
Tempat saya dan Wardi berbincang, terletak di pinggiran Jalan Margo Utomo, secara teknis memasuki kawasan Sumbu Filosofi Jogja.
Melansir laman Kemendikbud, kawasan ini merupakan sebuah garis imajiner yang ditarik lurus dari Panggung Krapyak, Kraton Jogja dan Tugu Pal Putih. Sumbu ini merupakan simbol dari keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum minallah), manusia dengan manusia (Hablum minannas), dan manusia dengan alam.
Pada September 2023 lalu, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Sumbu Filosofi Jogja sebagai salah satu warisan dunia dari Indonesia pada Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committee (WHC) di Riyadh Arab Saudi.
Salah satu komitmen Pemda DIY soal Sumbu Filosofi adalah menjamin “tak adanya orang miskin” di kawasan ini. Banyak upaya yang sudah Pemda lakukan. Salah satu upayanya, dan sempat ramai dikritik, adalah patroli para homeless atau apa yang mereka sebut sebagai gelandangan. Sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia, banyak operasi telah dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menertibkan para homeless dari kawasan ini, khususnya di wilayah-wilayah sekitar keraton dan Malioboro.
Baca halaman selanjutnya…
Sudah sering diminta pergi dari Sumbu Filosofi Jogja
Sudah sering diminta pergi dari Sumbu Filosofi Jogja
Saya pun sempat membahas perihal ini kepada Wardi, apa ia tak takut kalau sewaktu-waktu ada operasi dari Satpol PP untuk mengusirnya dari tempat ini.
Dengan nada seolah tanpa rasa takut, Wardi hanya menjelaskan kalau tempat kami mengobrol itu bukan satu-satunya “tempat tidurnya”. Ia berpindah-pindah, meski memang seringnya di kawasan Malioboro, Tugu, dan sekitarnya.
Perkara patroli dari Satpol PP, tentu itu bukan hal baru baginya. Namun, ia tak pernah sampai benar-benar dibawa mobil patroli. Malahan sebelum ia memutuskan untuk tidur di tempat ini saja, ia sempat kena tegur oleh seseorang berseragam.
“Bapak-bapak itu bilang, ‘Pak, enggak boleh di sini ya’,” ujarnya.
“Tapi sepertinya bapak itu enggak tega liat saya. Makanya dia mengizinkan saja, tapi cuma untuk malam ini. Besok kudu harus pergi. Kata dia, ‘kalau sampai atasan tahu, saya pasti kena marah’,” sambung Wardi.
Sempat tinggal di shelter bagi homeless
Selain punya pengalaman selalu diusir saat berada di Sumbu Filosofi, Wardi punya satu pengalaman yang hingga kini masih ia ingat. Beberapa tahun lalu, ia lupa tepatnya tahun berapa, ia punya tempat buat tinggal.
Kata Wardi, saat itu beberapa pemuda membuat semacam shelter di sekitaran Jalan Sudirman. Secara teknis, itu merupakan lahan kosong berpagar seng dengan bangunan rumah kecil di dalamnya. Tempat itu awalnya terbengkalai.
Lantas pemuda-pemuda itu menyulap tempat tadi menjadi semacam shelter bagi para homeless. Wardi jadi salah satu orang yang tinggal di sana.
“Saya sangat lega karena kita juga diemong. Tiap hari mereka juga masak buat kita, kadang kita juga bantu. Paling tidak tempat tinggal sudah ada, kita tinggal mikir mulungnya [kerja jadi pemulung] saja, Mas,” katanya.
Terusir dari shelter karena dianggap kriminal
Cukup lama Wardi dan kawan-kawan sepernasib tinggal di sana. Kalau tak salah ingat, sekitar dua bulanan. Ia juga mengaku sangat senang sebab merasakan kembali hangatnya sebuah keluarga. Ada tempat singgah dan orang-orang yang bisa ia ajak bercengkerama.
Sayangnya, pada satu malam, tiba-tiba ada sekelompok orang datang. Entah, Wardi tak paham mereka siapa dan dari mana. Hanya saja yang ia ingat, mereka menyampaikan kalau para gelandangan tidak boleh tinggal di situ.
“Katanya tempat itu mau dipakai lagi sama yang punya. Kita enggak tahu siapa yang punya, tahunya kami harus pergi saja,” ujarnya.
Selain itu, orang-orang itu juga bilang, kalau banyak warga sekitar mengeluhkan berbagai pencurian sejak ada shelter.
“Memang mereka tidak nuduh kami. Tapi dari nada-nadanya seolah pemulung seperti kami itu suka nyuri barang-barang sekitar. Dianggap kriminal,” sambungnya.
Menurut Wardi, pemuda-pemuda yang membuat shelter tadi sebenarnya sempat bernegosiasi. Mereka tetap berusaha mempertahankan tempat tinggal Wardi dan kawan-kawannya.
Akan tetapi, tak ada hasil. Akhirnya, mereka hanya punya waktu dua hari untuk pergi. Kalau tidak segera pergi, kata Wardi, orang-orang itu akan mengusir secara paksa. Sejak itu ia luntang lantung di sekitaran kawasan Sumbu Filosofi Jogja untuk mencari tempat tidur.
Awalnya adalah kuli proyek yang enggan pulang ke kampung
Setengah jam lebih kami berbincang di kawasan Sumbu Filosofi Jogja. Tiga batang kretek sudah saya habiskan. Begitu pula Wardi yang beberapa kali izin nyicip rokok yang saya bawa. Namun, saya belum benar-benar tahu bagaimana ia sampai harus hidup di jalanan. Saya beberapa kali mengurungkan niat bertanya, ada ketakutan itu bakal menyakiti hatinya.
Wardi hanya sempat menyinggung kalau dirinya berasal dari “wilayah jauh di Jawa Timur”. Ia tak ingat kapan pertama datang ke Jogja, perkiraannya mungkin sepuluh tahun lalu. Yang jelas, kala itu ia merantau ke kota ini karena ada tawaran jadi buruh proyek.
“Jadi kuli ikut mandor dari kampung,” kisahnya.
Dari kampung, ia datang bersama belasan orang kawan. Di Jogja, ketika satu proyek selesai, akan lanjut ke proyek yang lain. Namun, ada beberapa kawannya yang pulang, ada beberapa juga yang lanjut. Wardi salah satu yang masih ingin terus berada di Jogja, hingga tinggal dia sendiri kuli proyek dari kampungnya.
Karena satu dan lain hal, Wardi mengaku memang sengaja berlama-lama di perantauan. Namun, ia tak menceritakan apa yang ia maksud “satu dan lain hal” itu. Barangkali itu hal yang sensitif.
Sempat ikut juragan rosok hingga akhirnya terkatung-katung
Lambat laun saat tenaganya sebagai kuli proyek tidak lagi dibutuhkan, Wardi masih tetap berjuang mencari beberapa sumber pemasukan. Ia bercerita sempat ikut kerja di salah satu juragan rosok. Tapi karena sering bergesekkan dengan pemulung lain, ia memutuskan berhenti.
Sambil tetap memulung, Wardi terus mencari juragan-juragan lain yang bisa menampungnya buat tinggal. Sayangnya, mereka hanya mau menerima rosoknya saja, tapi tidak untuk tinggal. Begitulah hingga akhirnya ia memutuskan hidup di jalan, menjalani nasib hampa dengan kesepian dan perut yang jarang terisi.
Saya pun teringat dengan liputan kawan saya Hammam Izzudin berjudul “Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari”. Ia memotret kepedihan tukang becak yang mempertaruhkan nasibnya di Sumbu Filosofi. Bahkan, ada yang meninggal di jalanan karena sakit dan lapar.
Saya sempat membahasnya juga dengan Wardi. Katanya, ia tidak takut mati. Baginya kematian tak lebih buruk dari kehidupan hampanya. Untuk orang yang baru mengenalnya sejam yang lalu, kata-kata itu menggetarkan jiwa saya. Air mata rasanya ingin jatuh, kata-kata pun hanya berakhir di ujung lidah tanpa bisa tersampaikan.
Saya pun berpamitan kepadanya sambil terus berharap ada orang-orang baik yang membuatnya bisa tersenyum esok hari.
“Terima kasih sekali lagi ya, Mas, makanannya,” katanya dengan hangat saat saya berpamitan untuk meninggalkannya. Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari saat itu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Di Balik Status Warisan Dunia: Mereka yang Tergusur karena Sumbu Filosofi
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News