Karnaval Sound Horeg Dicap Mengganggu karena Bising, Tapi di Blitar Jadi Sarana Bantu Anak Yatim

Menikmati Sound Horeg di Blitar MOJOK.CO

Ilustrasi - Sound horeg di Blitar, dibenci tapi juga dinikmati. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Karnaval sound horeg di Blitar kerap meramaikan momen Agustusan. Festival adu suara sound tersebut di satu sisi sangat mengganggu. Namun, ada juga yang menyebut kalau karnaval sound horeg sebenarnya punya sisi positif yang tidak terlalu disadari masyarakat.

***

Karnaval sound horeg belakangan memang digandrungi banyak masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur. Seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, hingga Banyuwangi. Terlebih saat momen Agustusan. Tak cuma karnaval dan kirab budaya, sound horeg juga memenuhi jalan-jalan.

Saya sendiri baru menemui fenomena ini ketika sedang melakukan Pengabdian Masyarakat di Desa Sidorejo, Kecamatan Ponggok, Blitar pada Agustus 2023 lalu. Mulanya, saya belum pernah menemui pawai budaya yang diiringi dengan sound system bermusik DJ dan diikuti oleh beberapa muda-mudi berjoget pargoy dengan pakaian “terbuka”. Di Nganjuk–kampung halaman saya–yang biasa saya temui hanyalah pawai sound takbir keliling. Itupun tak sebrutal sound horeg.

Saat pengabdian itulah saya mengenal sosok pemuda yang memiliki hobi otak-atik sound system. Saya kemudian berbincang dengan Miftakul Qoni’an (22), warga Desa Sidorejo, Kecamatan Ponggok, Blitar yang sangat tergila-gila dengan sound system horeg.

Menikmati sound horeg karena ketularan bapak

Miftakul Qoni’an (akrab disapa Tata) adalah salah satu pemuda yang masih menggandrungi karnaval sound horeg hingga saat ini. Sejak kecil, ayahnya memang hobi mendengarkan lagu-lagu lawas dengan menggunakan sound rakitannya sendiri.

Kata Tata, ayahnya lah orang yang pertama kali merakit sound di lingkungan sekitar rumahnya. Jauh sebelum merakit sound system untuk sound horeg menjadi hobi dan tren belakangan ini.

“Biasanya sound bapak ini dipakai pengajian atau dipinjamkan ke tetangga yang punya hajat kecil-kecilan. Tapi kalau nggak ya dipakai bapak buat dengar lagu, atau saya pakai setel DJ,” ungkap Tata kepada Mojok pada Kamis (8/8/2024) malam WIB.

Kebiasaan sang bapak lalu menurun pada Tata. Karena kedekatannya dengan sound system, Tata pun merasa sangat menikmati adanya karnaval sound horeg.

Menurut Tata, karnaval sound horeg bukan sebagai hiburan semata. Melainkan sebagai ajang pamer sound mana yang paling horeg (menggelegar) sebagai promosi para persewaan sound.

Memang ada kontra dari masyarakat: merasa terganggu oleh bisingnya suara sound horeg ini. Menurut Tata, hal itu lumrah belaka. Ia mengaku sering mendapat kritikan dari masyarakat, terutama mereka yang menilai dari sudut pandang agama.

“Ada beberapa orang yang menilai karnaval ini dalam sudut pandang agama, harusnya diisi selawat atau hadroh. Tapi namanya masyarakat kan juga butuh hiburan, Mas,” jelasnya.

Namun, meski begitu, dari kacamata Tata nyatanya tetap banyak yang menonton.

Tak mengandung nilai seni

Mojok juga sempat mengobrol dengan Sugeng (28) yang merupakan pelaku kesenian jaranan asal Blitar. Sugeng mengaku sudah enam tahun berkecimpung di dunia seni tari jaranan. Dan selama itu pula, ia merasa tak begitu tertarik dengan adanya karnaval sound horeg meskipun berkali-kali dipertontonkan di dekat rumahnya.

“Saya sendiri merasa kalau itu kurang ada nilai seni, Mas. Tapi bukan berarti saya menolak, kan karena itu juga ramai yang berjualan,” jelas pria asal Blitar itu saat Mojok hubungi pada Kamis (8/8/2024) malam WIB.

“Saya sebetulnya lebih suka kalau karnaval budaya, pakai kostum adat, reog, gitu-gitu. Bukan mbak-mbak yang berpakaian seksi berjoget pargoy, kan nggak edukatif ditonton anak-anak,” tambahnya.

Sementara Tata sendiri menilai bahwa sebenarnya karnaval sound horeg ini tujuannya bukan edukatif. Hanya hobi, promosi dan hiburan semata. Ia menilai kalau ingin mencari kegiatan yang tujuannya edukatif, tentu tidak akan bisa ditemukan kalau nontonnya malah karnaval sound horeg.

Sound horeg harusnya diakomodir

Berbeda dengan Jeffi Alifian (35) sebagai Pendamping Desa Sidorejo, Kecamatan Ponggok, Blitar yang menilai karnaval sound horeg dari dua sudut pandang. Jika dinilai dari sisi positifnya, tentu hal ini bisa sangat bermanfaat.

“Biasanya kalau di Sidorejo ada karnaval sound horeg, ada organisasi kepemudaan yang muter membawa umplung untuk sumbangan. Nah, kemudian sumbangan itu nantinya akan diserahkan ke panti, atau dibagikan ke anak yatim,” terang Jeffi saat Mojok wawancarai pada Jumat (9/8/2024) siang WIB.

Sementara dari sisi negatifnya, Jeffi menilai kalau banyak yang terganggu dengan suara bisingnya. Apalagi jika karnaval itu melewati rumah warga yang kebetulan ada keluarganya sedang sakit, atau toko-toko yang ada etalase kacanya, itu yang menurutnya berbahaya.

Karena pada September 2023 lalu, sempat ada berita tentang seorang kakek yang meninggal karena kaget dengan bisingnya sound horeg di Malang. Juga baru terjadi awal Agustus 2024 lalu di Malang, viral sebuah toko yang rusak etalasenya akibat getaran dari kerasnya sound horeg.

“Kalau menilai dari sisi negatif, semua kegiatan kan ada sisi negatifnya. Sementara, kalau kegiatan ini diakomodir, maka bisa meminimalisir. Misal dengan pembatasan jam, lalu tempat yang jauh dari pemukiman,” tutur Jeffi.

“Maka hal itu bisa jadi win-win solution, sehingga nggak perlu dilarang juga,” sambungnya.

Jeffi menganggap jika kegiatan ini dilarang total, maka akan banyak pihak yang merasa rugi. Dari penyewa sound yang sudah mempersiapkan sound system dengan biaya yang tak murah, hingga penggemar sound yang tak bisa menyalurkan hobinya.

Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA: Bertahun-tahun Tinggal di Desa Sarang Tuyul, Cuma Bisa Waswas Uang Hilang Setiap Saat karena Tak Punya Banyak Pilihan

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version