Bagi warga asli Malang, khususnya yang tinggal di Kampung Muharto, Babarsari tak ada apa-apanya dalam hal kengerian. Memang, kawasan di SBCD Jogja ini terkenal kelam hingga dijuluki sebagai “Gotham City“. Namun, bagi orang Malang, Muharto bahkan lebih seram ketimbang Gotham itu sendiri.
Buat yang belum tahu, Kampung Muharto merupakan kawasan yang berada di Kecamatan Kedungkandang, Malang, Jawa Timur. Permukiman ini membentang dari perempatan Pasar Kebalen, menuju arah timur Kota Malang–melalui Jalan Ir. Djuanda, Jalan Zaenal Zakse, dan Jalan Kebalen Wetan.
Dalam liputan Mojok berjudul “Mirip Sukolilo Pati, Kampung Muharto Malang Dicap Sebagai Sarang Preman“, diketahui bahwa permukiman ini memang terkenal menyeramkan. Banyak gali di sana. Bahkan, kampung ini sampai di-blacklist oleh leasing saking banyaknya warga yang mengalami kredit macet.
Akibat stigmanya sebagai “kampung preman”, pemuda Kampung Muharto pun jadi kesulitan dalam mencari pekerjaan. Alhasil, mereka terpaksa merantau ke luar kota karena sudah “tersingkir” dari Malang.
Sementara Babarsari sendiri merupakan nama jalan di Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman. Sejak lama, daerah ini ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya geng-geng di Jogja.
Tak jarang, geng-geng ini berselisih hingga mengakibatkan kerusuhan yang berulang. Maka tak heran, warga Jogja sampai menjuluki kawasan ini sebagai Gotham City.
Kalau di Kampung Muharto, debt collector pun dibikin kalang kabut
Ahmad (23), mahasiswa asal Malang yang kini menimba S2 di Jogja, menyebut bahwa di hadapan warga Kampung Muharto, debt collector dianggap sepele.
Padahal kita tahu, di Jogja sendiri debt collector dianggap sebagai kelompok yang amat keji. Banyak kasus penagihan utang berakhir tragis dilakukan oleh mereka. Dan, sudah jadi rahasia umum juga kalau Babarsari adalah rumah bagi para debt collector.
Sementara Ahmad, yang rumahnya di Malang hanya berjarak 5 menit dari Kampung Muharto, berkali-kali melihat warga sana bertikai dengan debt collector. Hasilnya pun bisa ditebak: debt collector kalang kabut meninggalkan permukiman tersebut.
“Kalau di Jogja, setahuku debt collector itu udah nggak ada lawan. Urusannya cuma bayar utang atau dihajar, ‘kan?,” kata Ahmad, kepada Mojok, Kamis (20/6/2024).
“Nah di Kampung Muharto, mereka yang utang, mereka juga yang galak. Pernah aku lihat debt collector nagih utang malah dibawain golok,” ujarnya, menyambung cerita.
Ahmad pun berpandangan, kejadian seperti itu mungkin menjadi penyebab mengapa pada akhirnya kampung ini di-blacklist oleh leasing dan lembaga peminjaman kredit lain.
Kata Ahmad, “kalau debt collector aja takut nagih, bagaimana kalau orang biasa”.
Barang hilang kerap mengarah ke sana, tapi takut buat mengambil
Selain banyak kejadian debt collector tak berani menagih utang ke sana, Kampung Muharto kerap juga dihubungkan dengan barang-barang yang hilang.
Misalnya, Ahmad ingat betul, saat masih SMA teman satu sekolahnya kehilangan HP. Ketika di-track, lokasinya berada di Kampung Muharto–padahal empunya merasa tak pernah main ke sana.
“Yang ada ya cuma mengikhlaskan. Gila aja mau nekat ngambil, yang ada kita dianggap nuduh mereka maling, bisa panjang urusannya,” kata Ahmad , tertawa. “Dan kejadian kayak begitu tak cuma sekali atau dua kali.”
Kejadian yang hampir mirip dengan di Sukolilo baru-baru ini juga pernah terjadi di Kampung Muharto. Menurut cerita Ahmad, …
Baca halaman selanjutnya…
Muharto tak “dikuasai” oleh orang asli Malang, tapi oleh pendatang.
Kejadian yang hampir mirip dengan di Sukolilo baru-baru ini juga pernah terjadi di Kampung Muharto. Ahmad lupa tepatnya. Yang jelas, kala itu ada orang yang mengaku kehilangan motor datang ke permukiman itu.
Benar saja, ia menjumpai motornya di sana. “Tapi nggak sampai bakar-bakaran atau dibunuh kayak di Sukolilo kemarin. Seingatku yang punya motor suruh nebus berapa juta gitu.”
Warga Malang paham, Muharto tak dikuasai orang Malang
Meskipun menurut Ahmad Kampung Muharto telah mencoreng nama baik Kota Malang, tapi ia menyebut kalau “penguasa” kampung tersebut sebenarnya bukan orang asli sana.
“Orang Malang itu udah paham, yang pegang kampung itu siapa. Orang dari mana. Yang jelas bukan orang asli Malang kok,” jelas Ahmad.
Brian Prastya Sudrajat dalam penelitiannya menyebut bahwa sebelum menjadi permukiman, Kampung Muharto dulunya adalah kompleks pemakaman Cina. Awalnya cuma ada beberapa rumah di sana.
Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, masa kontrak pendirian makam Cina di daerah tersebut berakhir. Sehingga, banyak pendatang baru yang menetap di situ. Mulai dari orang Surabaya, Madura, Batak, hingga daerah lainnya.
Dalam penelitian berjudul “Peresepsi Masyarakat di Kampung Muharto Terhadap Stigma Sebagai District Blacklist Zone (Daerah Daftar Hitam) di Kota Malang” (2023) itu juga, Brian membahas aspek lain dari permukiman ini.
Dalam temuannya, ia menjelaskan sebenarnya warga Kampung Muharto sudah melakukan banyak upaya untuk berbenah. Terutama dalam hal menyingkirkan label sebagai “kampung preman”.
Sayangnya, karena stigma itu telah melekat, upaya warganya mengalami hambatan. Ditambah lagi, masih ada okum warganya yang masih kerap melakukan kejahatan, sehingga mempertebal stigma itu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Saya Tinggal di Babarsari, Ngekos Bareng Debt Collector, dan Saya Takut Sekaligus Merasa Terlindungi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News