Halal bihalal tahun 2025 ini adalah lebaran paling berat seumur hidup Jeya (22). Setidaknya, begitu kata dia. Perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur itu merasa unjung-unjung ke rumah saudara atau tetangga membuat hatinya miris, lantaran melihat fenomena sosial yang tak jauh dari sekitarnya. Tinggal di Surabaya selama tiga tahun untuk kuliah membuat perspektifnya berubah.
Pernikahan dini di Bojonegoro
Perbincangan bersama keluarga besar membuat hati Jeya semakin gelo karena budaya patriarki yang masih melekat di Bojonegoro. Kadang-kadang mereka bahkan menormalisasi pernikahan di bawah umur.
“Mereka menganggap kalau menikahkan anak perempuannya bisa memperbaiki ekonomi keluarga,” kata Jeya kepada Mojok, Sabtu (5/4/2025).
Saat mudik dari Surabaya ke Bojonegoro dan berkunjung ke tetangga-tetangga, Jeya melihat langsung anak tetangganya yang sudah menikah ketika usianya masih 17 tahun. Anak tersebut terlihat bermain bersama satu anaknya yang sudah berusia tiga tahun, dengan kondisi hamil anak kedua.
Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat terdapat 15.212 kasus dispensasi nikah di Jawa Timur, di antaranya adalah Bojonegoro sebagai kabupaten dengan tingkat pernikahan dini yang tinggi di urutan ke tujuh.
Masyarakatnya nggak melek politik
Kebetulan, skripsi Jeya membahas soal masalah perkawinan anak sehingga ia pun tertarik dengan fenomena tersebut. Menurut dia, masih banyak masyarakat di Bojonegoro yang menganggap anak perempuan sebagai ‘komoditas’ untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
Padahal, kondisi ekonomi yang kurang stabil akarnya berasal dari kebijakan pemerintah akhir-akhir ini. Sebagai mahasiswa Jurusan Politik, ia paham dampak dari penerapan efisiensi anggaran dari pemerintah, program Makan Bergizi Gratis, minimnya lapangan kerja, dan sebagainya.
“Keluargaku mengeluhkan kalau bisnis mereka sempet mandek, hampir terancam gulung tikar yang kalau aku tangkap itu ya karena pengaruh kebijakan pemerintah,” kata Jeya.
Menurut Jeya, beberapa anggota keluarganya di Bojonegoro kurang paham dengan dampak kebijakan pemerintah atau isu yang diangkat oleh mahasiswa ataupun masyarakat sipil. Terlebih, sebagai anak bontot yang lulus kuliah saja belum, pendapat Jeya seringkali diremehkan.
Daripada saling menyalahkan karena pilihan 58,6 saat Pemilu kemarin, Jeya lebih memilih diam dan mendengarkan nasihat dari orang-orang tua yang merupakan pendukung 02 garis keras.
“Jadi selama lebaran di Bojonegoro itu capeknya karena aku harus mendengar hal-hal kayak gitu dan yang bikin aku miris juga karena aku nggak bisa berbuat apa-apa,” kata perempuan asal Bojonegoro tersebut.
“Kayak mau ngomong tuh nggak enak, karena kebanyakan orang-orang yang sudah berumur,” lanjutnya.
Bojonegoro yang ditinggalkan…
Layaknya lebaran seperti biasa, Jeya pun tak terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi saat pulang kampung ke Bojonegoro. Misalnya, soal kapan wisuda? Mau kerja di mana? Bahkan soal perkara pasangan hingga rencana menikah.
“Sebetulnya aku tinggal nunggu wisuda, tapi tetap aja merasa gagal karena dibanding-bandingkan oleh sepupuku yang seumuran,” ucap Jeya.
Lagi-lagi, reuni keluarga atau halal bihalal justru jadi ajang saudara pamer pencapaian. Mojok pernah menulis kisah Dipta (27) yang mengaku jengkel saat lebaran 2025. Ketimbang saudara-saudaranya yang seumuran, ia tak terlihat mencolok.
Lulus kuliah molor, IPK kurang bagus, dan belum bekerja di sektor yang mentereng seperti yang didamkan oleh keluarganya. Meskipun bukan berasal dari Bojonegoro, hal itu juga yang dirasakan Jeya. Saudara Dipta bahkan ada yang sudah kerja di bank, sektor pertambangan, dan polisi.
“Sorotan jelas ke keluarga yang anaknya sukses. Kalau ke aku, hanya basabasi formalitas. Tapi serius, memilih biasa saja ternyata menyenangkan. Tidak ambil pusing. Tidak usah dimasukkan ke batin,” tutur Dipta.
Beruntung, orangtuanya tidak pernah menuntut yang muluk-muluk. Baca liputan selengkapnya di sini.
Momen itu juga yang dirasakan Jeya. Melihat kondisi Bojonogero dan perspektif yang masih melekat di keluarganya, membuat Jeya ingin ‘pergi jauh’ dari sana.
Pengalamannya selama tiga tahun di Surabaya menjadi pertimbangan kuat untuk lebih baik bekerja di Kota Pahlawan, ketimbang tempat kelahirannya di Bojonegoro.
“Jelas aku akan memilih Surabaya karena dari segi fasilitas dan semuanya udah jauh berbeda,” kata Jeya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pacitan: Daerah yang Tak Terjamah Pemerintah, padahal Punya Banyak Cerita Sejarah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
